" bukankah kita putus? "
***
"Gue mau ngomong"
Kalimat pertama yang dikeluarkan oleh Brian saat matanya bertemu dengan mata Dinda. Dinda melangkahkan kakinya lagi. Mencoba berjalan melewati Brian sebelum tangan besar kokoh itu mencekal lengannya dan menghentikan langkahnya.
Dinda menatap Brian malas. Dan tanpa mengucapkan apa pun lagi, Brian menarik tangan Dinda menuju mobil Brian yang terparkir di dekat fakultas Dinda. Brian membukakan pintu untuk Dinda, matanya mengisyaratkan bahwa Dinda harus masuk kedalam.
Namun Dinda bergeming. Diam di tempatnya membuat Brian kesal setengah mati. "Masuk. Kita ngomong di tempat biasa"
Biasa dalam kamus Dinda adalah tidak ada. Tempat biasa yang terlintas di benak Dinda itu tidak ada. Dinda mengerutkan keningnya menyadari hal itu.
"Masuk din" ujar Brian, dan Dinda hanya bisa menurutinya tanpa berkeinginan membuat tatapan penjuru kampus tertuju padanya lagi.
Dinda duduk lalu Brian memutari mobil menuju kursi pengemudi, lalu mendudukan tubuhnya disana.
Brian melajukan mobilnya menuju pusat perbelanjaan. Memarkirkan mobilnya di bastment. Brian keluar mobil di ikuti Dinda yang tanpa menunggu untuk di bukakan pintunya lagi.
Dinda berjalan mengikuti Brian. Beberapa langkah di belakang Brian. "Gue masih pacar lo, kalo lo lupa" ujar Brian lantas meraih tangan mungil Dinda yang terasa pas dalam genggamannya.
Membuat Dinda mati-matian menahan diri untuk tidak terlalu berdekatan dengan Brian agar detak jantungnya tidak terdengar oleh Brian.
Dinda memang gadis dingin dan cuek. Tapi dirinya tetaplah seorang gadis.
Kenapa cuma pegangan tangan aja bisa kaya gini jantungnya?
Dinda merutuki jantungnya sendiri. Brian membawa keduanya menuju sebuah rumah dengan gaya klasik berpilar tinggi dan besar. Mata Dinda menajam dan otaknya bekerja keras.
Sepertinya aku pernah ke sini...
Brian memarkirkan mobilnya di depan teras besar rumah itu. Lalu membuka pintu mobil, membuat Dinda mau tak mau ikut turun bersamanya tanpa menunggu untuk di bukakan pintu.
Brian melangkah memasuki rumah besar itu, membuat Dinda mengekori di belakangnya. Dinda terus mengekori Brian hingga matanya menemukan sebuah pintu yang menghubungkan dengan taman besar di samping rumah itu.
Dinda berhenti dan memperhatikan tatanan taman yang terlihat sangat elegan, menurut Dinda.
Brian berdiri di samping Dinda. Ikut mengamati apa yang ada di depan mereka. Sampai Dinda membuyarkan keheningan yang mencekam selama beberapa saat itu.
"Bukankah kita putus?" Tanya Dinda membuat Brian menoleh dengan kerutan di dahinya.
"Bisa ngomong banyak, eh?" Balas Brian dengan kekehan kecilnya.
"Saya rasa papa saya sudah jelas mengatakan bahwa saya tidak boleh berpacaran"
"Ya"
"Apa lagi dengan Anda"
"Lalu?"
"Untuk apa Anda membawa saya kesini?"
"Orang tua gue pengen ketemu elo. Ayo ikut"
"Untuk apa?" Dahi Dinda berkerut namun Brian tak sempat melihatnya karena wajah Dinda kembali datar.
Belum sempat Brian menjelaskan, "Ini yang namanya Dinda?" Sebuah suara perempuan yang lembut mengalun di telingan Dinda, mengiterupsi keduanya.
"Ma" Brian berbalik menatap mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parameter | Earth Series #1
Teen Fiction#1 psikologis (11 Juni 2019) #4 gengsi (17 Oktober 2019) #5 perjodohan (19 November 2019) ======= The novel is just a fiction. Is pure from the writer idea. If there are similarities name, characters, storylines, atmosphere, and anything in the stor...