Kartini Bukan Ibuku

453 19 0
                                    

Sungguh berat menjadi perempuan Indonesia hari ini. Kartini masih menjadi simbol emansipasi perempuan yang diperingati dengan menggunakan kebaya khas Jawa.

Perempuan menggunakan kebaya Jawa. Padahal perempuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Beratus-ratus suku di Indonesia. Kenapa harus R. A Kartini? Kenapa harus kebaya yang menjadi simbol perempuan Indonesia. Raden Ajeng, gelar perempuan Jawa.

Hingga aku sangat prihatin melihat Cheria seorang perempuan Kalimantan yang harus menggunakan kebaya khas Jawa. Kenapa Cheria harus menggunakan kebaya Jawa di Acara pelantikan bem fsbk uad (kalau tidak salah). Sungguh dia terlihat cantik dengan kebaya tetapi kegelisahanku ketika ada gadis cantik dari Kalimantan yang dipaksa menjadi Jawa. Gadis Kalimantan yang terlihat "merasa" cantik dengan kebaya Jawa. Dipaksa cantik dengan menggunakan baju kebesaran bangsawan Jawa. Pemaksaan yang dilakukan oleh sejarah. Memang suku Jawa yang memenangkan sejarah emansipasi perempuan di Indonesia. Sebab, emansipasi dengan Kartini tak ketinggalan dengan gelar bangsawannya. Raden Ajeng.

Setelah membelenggu perempuan Indonesia dengan simbol bangsawan Jawa. Perempuan-perempuan Indonesia masih harus terbelenggu dengan jenis kelaminnya sebagai perempuan. Selaput darah dalam vagina perempuan menjadi belenggu perempuan. Kehormatan seorang perempuan ditentukan dari satu pertanyaan yang menurutku sangat tidak masuk akal.

"perawan dan tidak perawan".

Keperawanan membelenggu perempuan kita. Tapi jangan anggap aku sepakat dengan pandangan "liar". Aku hanya prihatin dengan perempuan-perempuan yang pernah punya kesalahan di masa mudanya. Pergaulan anak muda hari ini sangatlah bebas. Tiada batas dalam kebebasan. Aku hanya berpikir, bagaimana dengan perempuan yang dulu dipaksa pacarnya yang brengsek untuk melakukan sex bebas? Bagaimana dengan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan? Bagiku mereka juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.

Laki-laki tidak pernah dipertanyakan apakah dia masih perjaka untuk seorang calon suami. Sementara laki-laki mempunyai pertanyaan untuk perempuan yang akan dinikahinya. Apakah perempuan masih perawan? Adilkah hukum sosial di negara ini untuk perempuan? Aku tidak akan menyelesaikan persoalan yang pelik tersebut. Hanya saja, aku ingin mempunyai titik damai antara diriku dengan hukum-hukum sosial yang membelenggu perempuan Indonesia.

Tulisan ini bermula dari sebuah peristiwa di kampungku. Adik keponakan kawanku tidak pulang selama empat hari. Dia telah menjadi buronan keluarganya. Umurnya sekitar 16 tahun. Umur-umur tanggung yang sedang ingin menunjukkan eksistensinya sebagai manusia. Darah muda yang menggebu-gebu menginginkan kebebasan sebagai individu merdeka. Usia belasan tahun adalah siklus bagi manusia mengalami peralihan dari kecil menuju dewasa. Usia peralihan dimana menuju titik-titik batas. Segala hal selalu ingin dicoba. Kamu, aku, kawanmu, kawanku, dan, kawan-kawan kampus kita pasti pernah punya pengalaman-pengalaman antara masa kecil dan masa muda seperti itu.

Diriku diusia 16 tahun lebih beruntung karena terlahir sebagai laki-laki. Dua faktor yang aku anggap sebagai keberuntunganku sebagai bocah belasan tahun yang mengidamkan sebuah kemerdekaan individu. Pertama, ibuku mencintaiku sebagai anak laki-laki yang sedang mencari jatidirinya. Aku diberi kebebasan memilih apapun keinginanku tanpa embel-embel kehormatan keluarga dan segala tetek bengek yang memberatkanku sebagai anak usia 16 tahun. Ibuku tak pernah peduli dengan omongan orang diluar sana tentang kenakalan-kenakalanku sebagai anak muda. Ibuku tetap merasa sebagai orang yang paling tahu tentang diriku dibanding siapapun di muka bumi. Hanya satu hal yang selalu ibuku tekankan dan selalu aku bawa hingga hari ini. Tanggungjawab dengan pilihanku. Tanggungjawab dengan diriku sendiri. Dan tanggungjawab sebagai manusia yang tinggal di bumi. Tumbuhlah elki yang kamu kenal hari ini, dengan segala keamehan dan keidiotannya. Ibuku tak pernah ingin anak lelakinya menjadi elki yang diinginkannya. Ibuku hanya ingin elki tumbuh secara alami. Menjadi rumput liar, menjadi ulat bulu yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, atau menjadi sebuah ketiadaan. cinta ibuku membuatku menjadi manusia yang beruntung pernah berada di rahimnya selama 9 bulan. Dari ibuku aku belajar bagaimana memperlakukan perempuan. Bukan sebagai lukisan monalisa seharga sejarah peradaban seni lukis eropa. Tetapi hanya berakhir di dinding museum. Ibuku mengajarkanku bagaimana memperlakukan perempuan. Tidak sebagai hiasan permata saja. Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama. Hanya kodrat bahwa perempuan melahirkan dan menyuusui. Dan, hukum Islam yang mengatakan bahwa laki-laki adalah imam dalam sholat (aku sendiri tak tahu alasannya) hanya mengikuti hukum fikihnya saja. Mungkin hanya keberuntungan Nabi Muhammad SAW yang ditunjuk menjadi Rasul adalah laki-laki. Biarkan menjadi rahasia Tuhan kenapa Rasul dilahirkan laki-laki. Aku tak peduli.

Diluar itu semuanya setara. Laki-laki harus mau membuatkan istrinya kopi hitam atau teh jika istrinya sedang malas, memasakkan istri dan anak-anaknya untuk sarapan pagi jika istrinya kesiangan bangun karena capek. Bapak juga mempunyai tanggung jawab untuk mengurus anaknya. Setiap persoalan dalam keluarga harus diselesaikan dengan sistem demokratis yaitu dengan cara musyawarah. Tidak ada kata "keputusan di tangan bapak, karena bapak adalah kepala keluarga". Jika kamu bertanya apakah aku pernah bertemu keluarga seperti itu? Jawabannya aku hanya menemukannya di film India "KI&KA". Jika kamu bertanya apakah aku bisa masak? Aku akan jawab sekedar nasi goreng, indomie, masak nasi dengan magicom, telur goreng, masak air, dan selebihnya resep bisa googling di Internet dan jangan lupa sekedar kopi dan teh aku mampu. Tidak ada kata "tidak bisa" untuk siapapun yang mau belajar, berusaha, dan melakukannya.

Kembali pada faktor keburuntangku, faktor kedua adalah aku lahir sebagai laki-laki. Meskipun ibuku memberiku kebebasan sebagai anak laki-laki yang sedang tumbuh. Fakta lain dialami oleh kakakku yang terlahir sebagai perempuan. Ibuku memperlakukan kakakku sebagai perempuan yang harus bisa berbagai macam hal. Hanya satu yang aku sayangkan dari ibuku saat memperlakukan kakakku. Ibu tidak memberi banyak kebebasan terhadap kakakku. Dia tidak diijinkan berkelana sepertiku. Kakakku hanya menempuh pendidikan D1 di surabaya. Setelah lulus dia harus menemani ibuku di rumah.

Ibuku tidak berperan sebagai ibu yang suka bilang "Jangan lakukan ini", "jangan lakukan itu". Ibuku hanya menggantikan peran sebagai teman sebaya bagiku atau bagi kakakku. Malam-malam terakhir sebelum ibu meninggal. Kakakku pernah bilang

"ibu tidak hanya sebagai orang tua, ibuku adalah teman yang baik untukku. Karena ibu adalah teman curhatku"

Huh... Aku rindu mencium pipi ibuku saat pulang dan berangkat sekolah. Aku rindu bertanya pada kakakku "ibuk nek ndi?".

Aku beruntung mempunyai ibu sepertinya walaupun hanya lulusan SD. Perempuan yang juga tidak beruntung sebagai anak sulung yang harus ikut menopang ekonomi keluarganya dulu. Dikekang oleh nenekku yang beringas.

Aku beruntung dilahirkan sebagai laki-laki karena tidak memiliki rahim dan selaput darah. Seolah apapun kenakalan yang ku lakukan adalah hal wajar. Semakin kesini aku semakin tak suka dengan kewajaran-kewajaran sebagai laki-laki.

Sembari mengenang ibuku sebagai sosok perempuan yang tidak beruntung. Aku kembali teringat Dea. Perempuan kelas 2 SMA yang harus menanggung beban sosial karena tidak pulang selama 4 hari. Dari penuturan kawanku, orang tuanya akan menikahkannya.

Betapa malang nasibnya jika dia benar-benar akan dinikahkan hanya karena tidak pulang selama 4 hari. Keluarga dan saudaranya memberikan cap ke jidatnya bahwa dia adalah perempuan nakal hanya karena dia minum alkohol. Hanya karena dia mempunyai banyak kawan laki-laki. Hanya karena dia bergaul dan mencari kesenangan sebagai anak baru gede yang baru ingin belajar kerasnya hidup di jalanan.

"Mentalnya telah rusak" kata kawanku di warung kopi.

Lantas aku berpikir, jika dia benar-benar dinikahkan. Bagaimana dengan cita-citanya. Bagaimana dengan imajinasi-imajinasi yang ada di kepalanya. Betapa tidak beruntungnya Dea yang mempunyai selaput darah di vaginanya. Aku tak tahu apakah selaput darahnya telah sobek. Tetapi, orang sibuk membicarakan kehormatannya hanya dengan selaput darah di selangkangan. Tak berpikir bahwa Dea mempunyai hak untuk memilih masa depannya sendiri.

Beruntunglah kamu yang mempunyai kesempatan untuk bebas. Menempuh pendidikan jauh ratusan kilometer. Jarak yang jauh membawa kita pada pengalaman-pengalaman baru yang tidak kita temukan di halaman depan rumah. Waktu yang akan menempa kita menjadi pedang tajam. Bangku kampus hanya akan mengajarkan kita tentang bagaimana cara yang baik untuk berharap. Tetapi jalan raya yogyakarta akan mengajarkan bagaimana bertahan memperjuangkan cita-cita.

Terbanglah kupu-kupu baja. Jadilah kupu-kupu yang tidak hanya menghisap nektar bunga. Jadilah kupu-kupu yang mampu mencabik-cabik kenyataan pedih dalam hidup yang membelenggu. Pergilah dari taman bunga dan berkelanalah ke alam liar. Jangan lupa mengucapkan. Welcome to the jungle. Berpestalah bersama hewan-hewan liar tanpa takut dimakan. Karena kamu adalah kupu-kupu baja.

Blitar, awal bulan juli yang menyesakkan untuk Dea.

"Apa Jadinya jika ucapan tak mampu lagi mewakili kata-kata. Hanya perbuatan yang mampu mewakilinya. Seperti Isa Almasih yang harus disalib sebagai penebusan dosa untuk umat manusia"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 18, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kartini Bukan IbukuWhere stories live. Discover now