Epilog-End.

823 103 20
                                    

Hujan seperti lagu.
Mengiring bingkai demi berjalan-jalan dalam kepala.

Dan pada bingkai-bingkai itu hanya ada dua wajah. Yaitu: Aku dan Minhyuk.
Tapi itu dulu.

Sebelum semua berubah dan kami menjadi seperti orang yang tidak saling kenal.

Kini hujan hanya seperti pertanyaan;
Mau sampai kapan aku sendiri sementara Minhyuk telah dipeluk orang lain?

Merindukan Minhyuk dikala hujan merupakan sakit yang hebat.
Entah sudah berapa musim telah ku lewatkan tanpa melihat sosoknya.

Dan ketika lagi-lagi hujan sudah mereda, apa yang tersisa?
Aku, sendirian. Tampa hasrat untuk berharap bisa jatuh cinta lagi.

Pagi ke siang, siang ke sore, sore ke malam. Biasa ku lewati dengan mengenang dan merindukannya.

Dari awal semua memang salahku. Yang berharap lebih pada waktu singkat yang Minhyuk berikan. Dimana waktu singkat itu cukup membuatku bahagia.

Dan ternyata, rasa sakit yang sesungguhnya bukanlah merindukan atau mengenang Minhyuk yang telah menorehkan luka di hati.

Tapi rasa sakit yang sebenarnya ialah ketika aku berdiri disini. Menatap pohon rindang yang sesekali hembusan anginnya menerpa permukaan wajahku.

Ditemani dengan genggaman tangan erat seorang wanita kedai kopi yang sebenarnya adalah adik dari Minhyuk sendiri.

Lee Minah namanya.

Dengan setia Minah menemaniku yang tidak bosan sudah menghabiskan waktu 3 setengah jam berdiam dan berdiri disini.

Hanya menutup mata dan merasakan terpaan angin yang bisa ku lakukan.

Sambil otak memutar kembali bagaimana indahnya senyum Minhyuk ketika saat itu. Bagaimana lembutnya jemari besarnya menggenggam tanganku dengan aman.

Sampai terputarlah satu fakta yang sukses menamparku dengan keras.

Bagaimana bodohnya diriku yang termakan ego sehingga memutuskan untuk menjauhi Minhyuk sebelum bertanya lebih jauh tentang apa yang ku lihat waktu itu.

Hingga semua rasa penyesalan pun terasa sia-sia saja. Semua telah terlambat.

Tidak ada waktu bagiku untuk memperbaikinya.

Sampai Minah melepaskan genggamannya dan menepuk pundakku lemah, aku membuka mata dan terukirlah senyum diwajahnya.

Senyumnya terlalu pedih sampai rasanya aku ingin menangis. Namun lagi-lagi Minah melarangku dengan alasan;

"Jangan nangis. Minhyuk oppa gasuka liat kamu nangis."

Kembali menggenggam tanganku sejenak sebelum dirinya berlalu meninggalkanku sendirian.

Kembali menatap pohon rindang dihadapanku, meskipun sudah terlambat tapi aku mendapat suatu pelajaran.

Bahwa, perpisahan yang paling menyakitkan bukanlah ketika dua orang saling memutuskan komitmen yang telah dibuat dan lebih memilih untuk melangkah sendiri.

Tapi perpisahan yang paling menyakitkan adalah, ketika kematian telah datang diantara dua orang yang sedang menikmati apa itu cinta sesungguhnya yang sayangnya harus tetap ikhlas ketika kematian itu datang untuk menjeput salah satu dari dua orang tersebut.

Minhyuk, tenanglah disana. Simpan semua cintamu. Dan tunggu aku sampai aku berjalan kearahmu lagi.
Terimakasih atas semua cinta yang kau beri dan hanya kekeliruan saja yang ku lihat.

Aku terlalu bodoh untuk langsung menyimpulkan semua keadaan.

Tapi kau tau semua itu beratasnamakan aku cinta kamu, kan?

Selamanya akan selalu seperti itu, Minhyuk.

Akan selalu ku simpan bagaimana cinta itu datang di kala hujan. Dan tidak akan pernah aku kenang bagaimana dengan kejamnya terik matahari membawamu ke dunianya. Dunia yang kini telah berbeda denganku.

Dan sampai saat inipun, ketika hujan turun, aku masih saja bisa melihat dirimu. Tersenyum manis kearahku.

Terimakasih yang udah ngikutin cerita aku yang ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terimakasih yang udah ngikutin cerita aku yang ini. Aku sayang kalian pokoknya 😘😘😘😘

Falling in the Rain; [Minhyuk] ✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang