Tidak ada yang bisa Silvi lakukan, ia hanya diam dalam pembicaraan para ayah ini. Pembicaraan mereka, bermula pada memiliki anak pertama, lalu pekerjaan, sampai akhirnya bernostalgia di zaman mereka masih SMA.
Bukan hanya Silvi yang diam, Bastian atau Jhony itu juga sama. Diam, karena tidak mau mendapat masalah lebih banyak.
Bosan.
Itulah yang dirasakan keduanya, sesekali keduanya menguap, sampai memutar bola matanya malas. Ya ... Sebab pembicaraan mereka, para ayah-ayah yang belum berhenti juga.
Ternyata, yang cerewet itu bukan cewek doang. Batin Silvi.
Silvi dapat menangkap sifat Qairo—Papanya Bastian—. Orangnya humoris, asik, dan ramah. Entah bagaimana ceritanya, Silvi bisa memikirkan Bastian. Cowok aneh yang sifatnya jauh 100% dari sifat Papanya sendiri. Malahan, sifat Bastian lebih mirip pada sifat Malik—Ayahnya Silvi—.
Eh?
Kok bisa mikir sampai sana sih! Sifat itu bukan dari keturunan, Silvi! Tapi dari diri sendiri, bagaimana dia mau menyikapi perasaannya!
Silvi tersentak, dengan Lovesia yang tiba-tiba ke pangkuannya. Setelah Silvi berhasil menetralkan degupan jantungnya, ia mengelus kucing kesayangannya sambil tersenyum. Menikmati lembutnya bulu kucing yang ada pada pangkuannya.
Tanpa Silvi sadari, sedari tadi, Bastian atau Jhony itu menatap Silvi tajam. Ia jadi ingat seseorang setelah melihat Silvi mengelus kucingnya dengan tenang juga senang.
Seseorang yang Bastian tidak ingin ingat, seseorang yang membuat Bastian seperti ini. Seseorang yang ... saat ini Bastian benci.
Tapi ini bukanlah kisah seorang cowok ketus dan dingin yang bernama Jhony Bastian itu, ini kisah tentang Intan Silviana juga Arya Xionandra. Keduanya yang dipertemukan dengan Bastian, cowok yang punya banyak masalah, juga 'si pembuat masalah'.
Silvi tidak bisa seperti ini terus.
Ia tidak bisa diam mendengarkan pembicaraan para ayah, juga tersenyum 'paksa' jika mereka membicarakan dirinya.
Aku butuh kebebasan.
Tanpa izin dari Malik, ia bangkit dari sofanya dan menurunkan Lovesia di sofa yang bekas ia duduki. Ia berjalan keluar rumah, untuk menghirup udara segar. Malik terus memanggil nama Silvi, agar kembali duduk. Tapi Silvi berpura-pura tuli, seolah-olah tidak ada yang memanggil namanya.
Sekali-kali aja begininya, Pikir Silvi.
Baru saja ia melewati pintu utama, ia sudah melihat sosok yang selama ini membuatnya selalu ceria. Andra. Dengan tersenyum senang, seolah-olah lupa dengan kejadian tadi, Silvi menghampiri Andra yang tengah termenung.
"Dra!"
Yang dipanggil tersentak, jantungnya bekerja sepuluh kali lebih cepat. Alasan pertama, sebab ada orang yang mengagetinya. Alasan kedua, sebab Silvi ingin menemaninya sampai Papanya Andra selesai reunian.
"Ngapain kesini?"
Silvi mendesah pelan, "Bosen di dalem, jadinya aku keluar."
Deg
Kok lebih nyakitin dari diejek temen-temen sekelas, ya? Batin Andra, memandang kecewa dengan gadis yang ada pada samping kirinya.
Mereka berjarak lima jengkal, keduanya menikmati hembusan angin. Sesekali, Silvi memejamkan mata sambil menghirup udara segar. Lebih baik, daripada di dalam. Batin Silvi.
Silvi melirik cowok di sampingnya. Wajah Andra entah murung, kesal, ataupun marah, yang jelas ... Silvi tidak bisa menebak.
"Gak suka sama Bastian?"
Andra mengangguk, "Liat mukanya aja udah males."
"Kenapa? Karena aku? Enggak usah mikirin aku Dra ..."
Iya, belum tentu kamu mikirin aku. Jawab Andra dalam hati, ingin dikeluarkan tapi tak bisa. Ya sudahlah, biarkan Andra memendamnya sendiri.
Andra masih belum menjawab pertanyaan Silvi.
Sampai sosok cowok yang mereka bicarakan muncul, "Lagi ngomongin saya ya?"
Ritme jantung Silvi jauh dari kata 'normal', melihat sosok yang sedang di bicarakannya muncul tiba-tiba membuat gadis ini kalap. "E-eng-enggak kok! Gak ngomongon kakak!" elak Silvi.
"Kalau enggak, kenapa jawabnya pake gagap segala?"
Mati! Gak bisa selamet kalau begini mah,
Silvi memberikan cengiran kuda khasnya, bingung harus bertindak apa. "Kalau begitu, kakak harus bersyukur dong! Panjang umur! Hehehe"
"Kamu doain dia, Sil?" dan kini, Andra angkat bicara.
Silvi mengerjapkan matanya berkali-kali, takut apa yang ia ucapkan nantinya malah membuat suasana semakin buruk.
"Emang kamu bener-bener benci banget ya? Sama Kak Bastian? Dia gak salah apa-apa"
Andra menghembuskan nafasnya kasar, "Kalaupun dia gak salah, aku akan benci dia. Dan kalau kamu bela dia, aku juga ikut benci kamu, Silvi!"
Ini sih, lebih rumit daripada benang rajut yang kusut.
"Kita bisa temenan,"
"Kamu anggap dia temen?"
Silvi mengangguk. Di sebelah kirinya, Andra terkejut. Sama halnya, dengan cowok yang berada di sebelah kanan Silvi, Bastian.
"Kamu baru kenal sama dia, dan kamu udah anggap dia temen? Aku, kamu anggap temen juga? Berarti ... Aku sama Bastian kamu samain gitu? Padahal sifat kita jauh dari kata 'sama'. Bahkan kamu sama sekali belum percaya sama orang ini, intinya kamu samain aku sama orang yang belum kamu kenal sepenuhnya."
"Andra!! Jangan bertingkah layaknya kakak di depan aku. Bertingkahlah seperti manusia pada umumnya, ketika berteman."
Kalau udah begini, cuma api yang bisa buat benang rajutnya enggak kusut lagi.
"Kita bertiga sekarang temen, dan cuma itu ... selamanya."
***
A/n :Harapan aku cuma satu, semoga kalian ngerti sama alurnya
😂😂
And ... ini udah masuk ke konflik yaa
Stay tune ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Teman? ✓
Teen Fiction"Jangan bertingkah layaknya kakak di depan aku. Bertingkahlah seperti manusia pada umumnya, ketika berteman." - Intan Silviana. ----------- "Kamu tahu aku menghilang karena apa? Karena kita cuma teman. Teman itu bisa menghilang kapan saja, kecuali s...