Sore itu Azel duduk di kursi malas di ruang keluarga. Tangannya telaten memintal benang wol berwarna baby blue. Azel melanjutkan pekerjaannya merajut kaus kaki bayi. Tinggal sedikit lagi, maka sepasang kaus kaki berbahan wol berhasil ia selesaikan.
Usia kandungan Azel sudah memasuki usia 14 minggu. Mual, muntah, pusing, dan meriang tidak lagi ia rasakan. Nafsu makannya pun sudah kembali, bahkan menjadi lebih meningkat daripada saat kondisi normal.
Namun sekarang Azel sering merasa gerah. Seperti saat ini. Di luar sedang hujan lebat dan berangin. Ia sama sekali tidak merasa dingin. Sementara Kafka yang sedang menonton tv, masih saja mengeluh kedinginan padahal sudah mengenakan hoody.
"Kalo dingin selimutan aja sana di kamar!" respons Azel saat mendengar keluhan Kafka untuk kesekian kalinya.
Sejak pulang dari klinik dokter kandungan, hubungan kedua saudara ini sedikit membaik. Walau tidak bisa dikatakan akrab, setidaknya mereka sudah bisa berkomunikasi dengan baik.
"Pertandingannya lagi seru," tolak Kafka mengusap-usap telapak tangannya dengan pandangan fokus pada layar tv yang sedang menyiarkan pertandingan sepak bola lokal.
"Kalo gitu jangan ngeluh terus. Gue nggak konsen jadinya, nih."
"Emang lo nggak kedinginan."
"Nggak. Akhir-akhir ini gue malah sering kegerahan. Kata dokter ini hal yang biasa dialami ibu hamil. Pengaruh hormon gitu katanya."
Peluit panjang berbunyi. Pertandingan akhirnya berakhir dengan skor seri. Kafka meraih remote tv, lalu mulai mengganti channel mencari siaran menarik. Tapi, setelah melihat semua channel, sama sekali tidak ada acara yang menarik untuk ditonton. Akhirnya Kafka menekan tombol power dan layar tv pun mati.
"Omong-omong," Kafka mengubah posisi duduknya hingga kini berhadapan dengan Azel, lalu melanjutkan ucapannya, "Benang wol lo masih ada?"
Azel mengangkat wajahnya, lalu mengecek benang wol miliknya yang berada dalam kotak di samping kursinya. Benang wolnya masih tinggal dua gulung. Untuk menyelesaikan kaus kaki masih cukup.
"Masih ada, sih," jawab Azel. Kemudian ia menatap Kafka, "Tapi, sepertinya gue mau nitip beliin benang lagi. Sekalian beliin hakpen dan gunting baru. Gunting ini udah nggak tajam lagi," lanjutnya
"Oke! Besok pulang sekolah gue beliin." Kemudian Kafka berdiri dan bertanya, "Gue mau bikin coklat hangat, nih. Lo mau nggak?"
Azel menggeleng. "Lo aja." Lalu tiba-tiba Azel ingat sesuatu. "Oh iya, tadi Mama bilang ada chessecake di kulkas. Nah tolong lo bawain kemari, ya."
"Bukannya baru sejam lalu lo makan?"
Azel tersenyum malu, lalu mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Napsu makan gue lagi bagus. Makanya sering lapar. Bawaan bayi kayaknya."
Kafka ikut tersenyum. "Yaudah lo tunggu bentar. Gue ke dapur dulu."
"Oke."
Lalu Kafka memutari kursi malas dan melangkah ke arah selatan, menuju dapur. Baru beberapa langkah Kafka berhenti. Cowok itu memutar tubuhnya lalu memanggil Azel.
"Ya?" Azel menoleh ke belakang.
"Kalo lo butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan minta tolong ke gue. Oke?"
Azel menatap Kafka tanpa kedip. Ada rasa haru yang memenuhi dada Azel. Akhir-akhir ini, Azel merasa Kafka sangat peduli padanya. Hal itu juga yang mendorong Azel untuk membuka diri. Secara perlahan, hubungan mereka berjalan ke arah lebih baik, sebagaimana mestinya hubungan antar saudara.
Dengan mata berkaca-kaca, Azel mengangguk. Lalu ia tersenyum tipis dan berkata, "Thanks, ya."
Kafka membalas senyuman Azel. "Nggak perlu berterima kasih. Itu udah tugas gue sebagai saudara lo."
Saudara. Satu kata itu begitu bermakna bagi Azel. Mungkin hal itulah yang mereka lupakan hingga membuat hubungan mereka tidak terlalu baik di waktu lalu. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Terlalu menutup diri untuk yang lain.
Lalu Azel teringat janji yang diucapkan Kafka di klinik saat mengetahui dirinya hamil. Gue nggak akan biarin lo sendiri, begitu janjinya. Kafka menepatinya. Azel benar-benar beruntung Kafka selalu ada di sisinya untuk melewati masa-masa sulit.
"Yaudah, gue ke dapur dulu."
Azel mengangguk dan Kafka melanjutkan lagi langkahnya menuju dapur. Selepas kepergian Kafka, Azel menatap ke luar jendela.
Di luar hujan masih turun dengan deras. Disertai angin kuat yang membuat ranting pohon yang tumbuh di dekat jendela bergerak-gerak. Langit masih kelam, awan gelap masih setia bergantungan di atas sana.
Di luar boleh saja suasananya suram dan kelam, tapi tidak begitu dengan suasana hati Azel. Gadis merasa hangat di dadanya.
Azel menarik sudut-sudut bibirnya. Lalu kembali merajut. Dalam hati ia bertekad akan selalu menjaga hubungan baik ini dengan Kafka. Karena mereka saudara, seperti yang Kafka bilang.
YOU ARE READING
Shotgun Wedding
RomanceUPDATE TIAP HARI!!! High Rank #28 (31/03/2018) "Aku ingin membencimu. Tapi, yang terjadi, aku malah semakin jauh jatuh cinta kepadamu." Hanya demi kenikmatan sesaat, Azel kehilangan masa remajanya dan mengorbankan masa depannya. Sekarang Azel harus...