Perfect32

4.1K 308 13
                                    

"Gimana han?" Tanya oom Niccol setelah melihat dokter Hana keluar dari UGD. Sesampainya di rumah sakit Prilly memang langsung dilarikan ke UGD mengingat kondisinya yang kritis.

Dokter Hana menatap kakak beserta kakak iparnya menggelang.

"Apa maksud kamu?"

"Kak, ikut keruangan aku yuk?" Bukannya menjawab dokter Hana malah mengajak kedua kakaknya untuk keruangannya.

"Piyi baik-baik aja kan han?" Sesampainya di ruangan dokter Hana oom Niccol langsung menodong adiknya itu dengan pertanyaan. Saat ini ia benar-benar khawatir, sudah lama Prilly tidak mengalami kolep seperti sekarang ini, terakhir waktu dia masih SMP.

"Prilly koma kak."

Jedarr

Bagai disambar petir ditengah malam, satu kalimat yang keluar dari mulut dokter Hana seperti ribuan beton menghantam dada kedua orang setengah baya itu. Syok sudah pasti. Sesak tentu, putri semata wayangnya kini terbaring lemah ditempat yang selama ini mereka takutkan.

"Kamu jangan mengada-ada Hana! Yang kamu bicarakan itu adalah keponakanmu." Ucap oom Niccol tak terima. Sementara tante Lia sudah lemas tak mampu berkata apa-apa mendengar perkataan dokter Hana.

"Kak nic, aku mengatakan yang sebenarnya. Prilly koma kak!"

"Hana kamu bercanda kan? Kamu nggak serius kan han? Dia kuat han, bahkan tanpa kita pun selama ini dia baik-baik aja." Ucap tante Lia tak percaya sembari menahan sesak di dadanya.

"Dia emang kuat kak, makanya selama ini dia mampu bertahan. Tapi sekuat-kuatnya dia, pasti ada titik dimana dia merasa lelah. Selama ini aku selalu ngingetin kalian supaya memanfaatkan waktu sebaik mungkin, jangan selalu mengedepankan ego kalian. Dan sekarang kalian liat, akhirnya dia menyerah." Ucap dokter Hana panjang lebar dengan air mata tak terbendung lagi. Ketiga orang itu seakan-akan berlomba-lomba mengeluarkan air matanya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya dokter Hana setelah menarik napas dalam-dalam menenang diri.

"Selama lima hari ini dia nggak mau keluar kamar, dia nggak mau minum obat, bahkan dia juga nggak mau makan sama sekali han." Jelas tante Lia sambil terisak.

"Apa? Kalian biarin piyi nggak minum obatnya? Astaghfirullah kak, apa kalian nggak berpikir dampaknya apa?" Dokter Hana terbelalak kaget mendengar penjelasan dari kakak iparnya tersebut. Ia sama sekali tak habis pikir kenapa kakak dan juga kakak iparnya itu membiarkan Prilly tidak meminum obat wajibnya, mereka tidak tahu bahwa obat itu pengaruhnya sangat besar untuk kondisi putri mereka.

"Kita udah berusaha membujuknya han, tapi Prilly sama sekali nggak dengar. Dia begitu terpuruk saat tau Ali bertunangan dengan Amara, dan kemarin mba Ratna datang ke rumah saat Ali ada dirumah dengan Prilly. Mba Ratna sangat marah mendengar pengakuan Ali dan Prilly," jelas tante Lia lagi.

"Pengakuan? Pengakuan apa ka Lia?"

"Mereka saling mencintai."

"Dugaanku ternyata benar." Gumam dokter Hana.

"Ya, dari awal kita memang sudah curiga dengan kedekatan mereka. Kita sama sekali nggak mempermasalahkan kalau ternyata mereka saling mencintai, tapi mba Ratna, dia nggak terima." Sahut oom Niccol.

"Ka nic, ka Lia, pengaruh Ali buat Prilly itu cukup besar. Aku takut kondisinya akan semakin memburuk kalau dia terus memikirkan apa yang terjadi dengannya dan juga Ali saat ini."

"Lalu apa yang harus kita lakukan han?" Tanya oom Niccol

"Bawa Ali kesini, semoga dengan adanya Ali bisa membantu sedikit meringankan beban pikiran piyi saat ini kak."

          

"Itu nggak mungkin Hana!" Tante Lia menyahut.

"Loh kenapa nggak mungkin? Mereka saling mencintai, kalau Ali tau piyi mengalami koma pasti dia akan kesini kan kak."

"Sebenarnya kakak juga udah menghubungi Ali tadi, tapi entahlah kakak nggak yakin dia datang atau nggak. Kamu tau sendiri mba Ratna seperti apa." Balas oom Niccol.

"Iya han, lakukan apapun yang terbaik buat piyi. Kita nggak bisa bergantung sama Ali lagi, sekarang kondisinya berbeda Hana! Jagan pernah samakan dulu dengan sekarang." Ucap tante Lia.

"Saat ini hanya do'a yang bisa kita lakukan kak, aku sudah berusaha yang terbaik buat keponakanku, hasilnya kita serahkan sama Allah." Dokter Hana memeluk kakak iparnya menenangkan. Dalam hati ia berdo'a untuk kesembuhan keponakan semata wayangnya. Prilly Niccollette. Gadis kecil yang dulu sempat ia asuh karena orang tuanya sibuk bekerja dan bekerja.

***

Sementara ditempat yang berbeda Ali mondar mandir mencari akal supaya bisa keluar dari rumah. Di bawah masih tersisa kedua orang tua Amara dan juga kerabat dekatnya, kalau ia nekad menerobos keluar pasti mereka akan bertanya-tanya dan itu akan semakin membuat waktunya habis dengan pertanyaan-pertanyaan orang-orang itu.

Aaakkhh...!

Ali menjambak rambutnya frustasi, kenapa cinta serumit ini ya Tuhan? Bagaimana keadaan pujaan hatinya sekarang?

Setelah mendapat telfon dari oom Niccol tadi Ali benar-benar merasa khawatir. Ingin sekali langsung meluncur kerumah sakit, tapi itu tidak mungkin. Bagaimana dengan bundanya? Kalau dia tahu Ali akan kerumah sakit menjenguk Prilly pasti tidak akan di izinkan.

"Ali mana jeng? Kita mau pamit pulang nih." Bu Desi mommy nya Amara bertanya ketika tante Ratna mengantarkan mereka di depan pintu bersiap pulang.

"Iya bun, Ali mana kok dari tadi nggak keluar-keluar kamar ya?" Sahut Amara

"Tadi Ali bilang dia lagi kurang enak badan, makanya dia istirahat dikamar." Balas oom Kenan menyahuti. Tidak apa lah berbohong sedikit demi putra semata wayangnya, ia kasihan melihat Ali sepertinya tertekan.

"Ooh bagitu? Yasudah, kalau gitu kita pamit ya. Salam buat Ali." pamit pak Irgi sembari bersalaman dengan oom Kenan. Kemudian disusul dengan yang lain, ada yang cipika cipiki, ada yang berpelukan, dan ada yang hanya berjabat tangan saja. Amara pun berpamitan dengan mencium dan memeluk camernya berlebihan, hingga membuat oom Kenan mengangkat sebelah alisnya terheran. Gadis itu segala sesuatunya selalu berlebihan. Gumamnya dalam hati.

Ali melongok kebawah melalui jendelanya melihat orang-orang mulai berpamitan, lalu ia pun segera turun dengan tergesa-gesa.

"Ali, mau kemana tengah malam gini?"

"Ali mau kerumah sakit bun."

"Rumah sakit? Kamu sakit beneran?" Tante Ratna menautkan alisnya terheran. Ia pikir tadi hanya akal-akalan suaminya saja bilang kalau Ali tidak enak badan.

"Eng...enggak bun,"

"Terus ngapain kamu kerumah sakit tengah malam gini?"

"Prilly masuk rumah sakit, Ali khawatir sama dia bun."

Tante Ratna memutar bola matanya jengah. Prilly lagi, Prilly lagi.

"Apa urusannya sama kamu? Dia yang masuk rumah sakit kok kamu yang repot. Saudara bukan, teman bukan, sahabat juga bukan. Lebay banget kamu li!" Ucap tante Ratna mengomel.

"Bunda lupa? Prilly itu perempuan yang Ali cintai. Ali nggak akan tenang disini sementara dia di rumah sakit entah gimana keadaannya." Balas Ali membantah.

"Cukup li! Apa kamu juga lupa barusan abis tunangan sama Amara? Jangan pernah sebut-sebut anak penyakitan itu lagi!" Bentak tante Ratna kesal. Ali menghela napas jengah, ada apa sih dengan bunda? Dulu ketika ia tahu Prilly masuk rumah sakit begini pasti paniknya luar biasa, tapi sekarang? Ah benar kata Prilly jangan samakan sekarang dengan dulu, semuanya sudah berubah.

"Ali mohon bunda, Ali khawatir banget sama Prilly, Ali takut dia kenapa-kenapa." Ali memohon dengan mata berkaca-kaca. Ia berharap kali ini hati bunda sedikit terketuk.

"Nggak akan! Bunda nggak akan ngizinin kamu menemui dia."

"Bunda! Biarkan Ali bertemu dengan Prilly, dia membutuhkan Ali sebagai sahabatnya." Oom Kenan angkat bicara. Ia sudah tidak tahan melihat kelakuan istrinya yang tidak punya hati itu. Apa salahnya menjenguk sahabat yang sakit.

"Ayah ini, bukannya bantuin bunda malah nyuruh ngizinin Ali menemui anak penyakitan itu."

"Sudah lah bun, sekarang bukan waktunya berdebat. Keadaan Prilly lebih penting."

"Ali kamu pergi kerumah sakit sekarang, biar bunda ayah yang urus."

"Ayah!" Tante Ratna mendelik tak suka.

"Ali pergi ya yah, do'ain semoga Prilly baik-baik aja." Ali pamit mencium punggung tangan ayahnya lalu memeluknya erat seoalah-olah meminta kekuatan.

"Pasti, kamu yang kuat, jangan terlihat lemah di depan dia." Oom Kenan membalas pelukan Ali mengusap punggungnya menyemangati.

"Bun, Ali pergi dulu." Meskipun sedang bersitegang dengan bundanya Ali tetap berpamitan mencium punggung tangannya. Semarah-marahnya Ali ketika ingin pergi keluar, berpamitan dengan mencium punggung tangan kedua orang tua itu adalah kewajiban menurutnya.

Tante Ratna hanya diam membiarkan Ali mencium punggung tangannya, meski melengos membuang muka hatinya tetap tersentuh dengan kebiasaan putra semata wayangnya itu. Jujur dari lubuk hati paling dalam, sebenarnya ia tak sanggup bersikap keras seperti ini dengan Ali terus menerus. Namun kebenciannya dengan Prilly membuat ia tak mampu meredam amarahnya ketika mendengar nama gadis itu.

***

Holaaaaaa... aku balik again 😉

Ayo setelah baca jangan langsung kabur tinggalin jejaknya yoo.

Happy 2000++ vote. Makasih untuk yang sudah mengapresiasi karya aku yang tak seberapa ini 😙😁

Love you all 😚😚😚

 

Perfect CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang