Young Sky.
Aku teringat mimpi semalam, teman masa kecilku yaitu Sky tergeletak tak berdaya diantara teman-teman sekolahku. Itu sudah lama sekali, sejak kami bermain bersama di lapangan khusus baseball di stadion Persijam. Kami berpisah saat sebuah klub baseball merekrutnya untuk masuk kedalam klub dan bermain di posisi Pitcher. Aku berpikir, Mimpi mungkin cara lazim untuk mengingat seseorang.
16 Juni 2036. Bulan Ramadhan, tepatnya tujuh tahun yang lalu, seperti biasa aku membeli ta'jil (makanan pembuka puasa) di pasar bedug bersama Ayahku: Fredy Chord. Ayahku bekerja sebagai detektif sekaligus komisaris (sekelompok orang yang mengawasi kegiatan suatu perusahaan atau organisasi), pekerjaan yang menguras tenaga, pikiran, dan bahkan beresiko, jelas terlihat bentuk mukanya yang terkadang serius menghiraukan orang-orang yang berserakan sedang rakus membeli makanan. Aku suka membaca ekspresi seseorang sejak kecil, seperti saat aku melihat seseorang terlihat geli sambil meraba-raba tubuhnya. Dia pasti alergi karena melihat berbagai jenis ikan laut bertumpuk rapi di atas meja.
Aku berpaling, berjalan pelan sambil melihat sekitar, tiba-tiba sendi putar di leherku terkunci melihat kearah stadion yang jaraknya tiga ratus meter dari tempat aku berjalan, seorang anak kecil seumuranku terlihat sedih dan murung, di tangan kananya terdapat pemukul bisbol dan tangan yang lain menggenggam erat softball gloves. Aku menerka situasi yang kulihat, aku yakin pasti ia ingin masuk kedalam stadion itu, tapi aku tidak yakin sepenuhnya. Aku berpikir sebentar, dan aku memutuskan untuk pergi kesana dan menemuinya.
"Pa... boleh aku pergi sebentar?" tanyaku, tetapi Ayahku tidak merespon karena suara pasar mengalahkan suaraku.
"Pa!" Aku menaikkan suaraku.
"Uh... ada apa?" ucapnya sambil melihat binggung kearahku.
"Aku ingin pergi ke stadion itu sebentar" sambil menunjuk jariku kearah stadion.
"Boleh saja, tapi kau harus pulang sendiri," nadanya santai, tapi aku senang ia tak terlalu over protective.
"Ingat, maghrib harus pulang!"
"Oke." Aku berlari menuju stadion.
🌔🌗🌖🌕
Saat aku hampir sampai, anak yang sebaya denganku itu hendak meninggalkan stadion. Aku mempercepat lariku dan berhenti di hadapanya. Dia terbelalak karena aku muncul tiba-tiba ke hadapanya, Aku terengah-engah mengatur napasku agar stabil.
Aku melihat penampilan anak itu, ia memakai tank top warna hitam, celana jeans pendek warna biru laut, dan memakai topi merah berlogo Hiroshima Carp (team baseball professional di jepang). Anehnya, dibagian wajah anak itu tertempel beberapa perban elastis, entah apa gunanya, aku tidak tahu.
Suasana canggung, tidak ada sepatah katapun keluar dari kami berdua, tampaknya ia menungguku untuk bicara.
"Apa ada sesuatu di dalam stadion itu?" tanyaku
"Tidak ada."Aku terkejut, aksen yang khas dan familiar, tinggi-rendahnya, ya, itu Bahasa Jepang.
"Apa kau mau masuk ke dalam stadion itu bersamaku, aku juga mau bermain baseball." tanyaku sambil memohon.
"Tapi, uangku tidak..." wajahnya berubah, sedih.
Sekarang Aku tahu apa yang terjadi.
"Siapa namamu?"
"Young Sky, panggil saja Sky."
"Sky ya namamu simpel, aku Gibralt"
"Gibrart?"
"Gibralt!"
"Namamu ribet" kata Sky dengan nada gurau.
Aku tertawa kecil. "Ayo kita ke stadion Sky!, biar aku yang bayar uang masuk"
Aku dan Sky memutar arah menuju stadion. Saat sampai, Aku melihat tempelan yang memampang harga untuk masuk ke dalam stadion. Aku terkejut, untuk anak-anak saja uang masuk setara dua dolar-tahun 2036 dua dolar sama dengan 20.000 rupiah-Aku megeluarkan uang di sakuku, aku cemas sepertinya uang yang kubawa tak cukup.
"tiga puluh, tiga satu, tiga dua..." Aku menghitung uangku cukup teliti, lebih tepatnya sangat hati-hati karena aku masih anak-anak.
Uangku ternyata tidak cukup lima ribu rupiah,"Aku hanya punya tiga lima Sky" jawabku sedih.
"Daijoubu deshita!" Kata Sky yang berarti tidak apa-apa.
"—Aku punya rima ribu." sambil menunjukkan uangnya dengan semangat.
"Baiklah, dengan ini kita bisa masuk,"
Aku memberikan uang tersebut ke loket dan tak sabar ingin masuk ke dalam stadion untuk pertama kali.Penjaga loket membuka pintu otomatis yang mengarah langsung ke stadion.
"Ayo Sky!" seruku.
"Iku zo!" jawabnya dengan bahasa jepang yang berarti ayo.Aku melihat ke dalam stadion, ternyata stadion tampak lebih besar dari yang kulihat di TV. Udaranya lebih bersih daripada di luar stadion. aku melihat belakang, Sky tidak ada di belakangku. Tiba-tiba sebuah bola baseball melayang di langit dan bola itu akan jatuh ke hadapanku. Aku melompat untuk menggambilnya.
"Gibrart...!" Aku mendengar suara Sky dari kejauhan.
Aku melihat sekitar, rupanya Sky berada di bangku penonton.
"Coba rempar bora itu!" kata Sky sambil memposisikan badan dan tongkat bat layaknya pemain professional.
"Oke, ini!" Aku melempar bola seakurat mungkin, bola melayang parabola.
Muka Sky serius, bersiap memukul bola yang kulempar itu. Tetapi, ketika tongkat diayunkan, bola itu melewati dirinya. Sky mengambil bola itu dan melempar bola itu kepadaku lagi. Aku mengambil ancang-ancang untuk melempar, mata Sky terpusat ke satu titik, kearah bola yang kupegang."Go Sky! Pukul ini" Aku melempar bola sekuat tenaga, aku nyaris terjatuh karena hilang keseimbangan.
Bola bergerak curve. Aku tidak yakin Sky bisa memukulnya. Sky bergeser sedikit dan mengayunkan tongkat layaknya legenda, Aku terkejut, bola itu terpukul sempurna.
'Tak!' bunyi bola terdengar nyaring sampai ke telingaku."Grand slam...!" sahut Sky girang.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Survive On School (SOS) : Bertahan hidup di Sekolah.
HorrorGibralt seorang siswa dari pelita raya tidak mengetahui salah satu gurunya diam-diam melakukan percobaan membangkitkan orang yang telah mati. Bukannya membangkitkan hidup manusia, Yanto Flarizko (Guru Kimia Gibralt) malah menciptakan Zombie (Mayat H...