#3 Sang Balerina

16 0 0
                                    

Diiinnnn dinnn!!!

Suara klakson mobil di belakangku membuyarkan lamunanku. Sudah lampu hijau ternyata. Aku jadi sering melamun akhir-akhir ini. Tadi, aku memikirkan Jani. Kemarin Jani, dan nanti juga Jani. Aku seperti kecanduan rasanya. Kupacu laju mobilku menyusuri jalanan ibukota. Ayah sudah menungguku di Resto Yu Mariam, tempat makan favorit kami berdua. Aku memesan nasi rawon dan es gula asam. Sedangkan ayah memesan nasi soto daging bersantan dan es kopi susu. Makan siang bersama ayah kali ini terasa berbeda. Tidak biasanya beliau terlihat muram. Tak semangat seperti biasanya. Saat aku mengajaknya berbicara, pandangannya tidak fokus padaku meskipun beliau merespon setiap pembicaraan yang aku lontarkan. "Sa, kamu sudah punya pacar?" ayah bertanya tiba-tiba. "Kenapa yah?" tanyaku lalu kemudian menyuap sesendok nasi rawon kesukaanku. "Umurmu sudah berapa sekarang? Ayah lupa? Haha" tawa ayah mulai terdengar renyah. Rupanya beliau mengkhawatirkan aku yang belum pernah sekalipun membawa teman wanita ke rumah kecuali Rana. "Haha, aku sudah 21 tahun yah. Belum punya. Tapi kayanya aku naksir temen kampus deh yah." kataku ringan. "Loh? Kamu naksir Rana? Kenapa baru sekarang nak?" kata ayah sok tahu. Aku tertawa. "Bukan yah, namanya Jani. Juniorku di kampus. Aku baru mengenalnya. Cinta pandangan pertama yah." kataku mantap. "Mustahil, kamu kan tidak pernah naksir siapapun sebelumnya nak. Bagaimana bisa?" ayah mulai penasaran. Belum sempat aku menjawab, ponsel ayah berdering. Dari komandan kata ayah. "Ayah harus segera pergi nak, nanti kita lanjutkan di rumah ya. Jangan tidur dulu. Ayah kepo nih!" aku terkejut  saat ayah berkata kepo. Gaul juga ayahku ini, batinku. "Oke yah. Bawakan makan malam ya. Bosan masakan Bi Nova." aku semangat. "Haha, dasar kamu ini. Oke nanti ayah bawakan. Ayah duluan ya." Tak lama aku melihat mobil ayah pergi meninggalkan Resto Yu Mariam. Begitulah, kadang beliau pergi secara mendadak sehabis menerima telepon. Namanya juga tentara, harus siap siaga. Selalu begitu jawaban dari ayah.

***

Sore harinya di kampus, aku mencari balerina idamanku hari ini. Tapi tak menemukannya. Aku tanya Rama, nihil. Dia juga tak melihatnya. Malah Rana yang aku lihat. Dia sedang duduk di depan Ruang BEM. Anak itu salah satu anggota BEM kampusku. Rana membetulkan posisi kacamata minusnya, ia sedang meneliti sebuah laporan. Aku dekati. "Ran?" aku menyapanya. Dia tersenyum. "Kenapeee? Gue denger dari Rama, lo naksir Jani? Cewek yang di kantin waktu itu. Emang iya? Gimana bisa? Bukannya lo demen menyendiri? Gak mikirin cewek? Gak mau tau soal cewek?" belum sempat Rana melanjutkan pertanyaannya, aku bekap mulutnya agar dia diam. "Berisik, diem dulu. Lo nanya, apa nyelidik? Satu-satu oi nanyanya." kataku. "Hahaha, soalnya gak biasa-biasanya lo gini Sa. Kan gue jadi terharu. Akhirnya, lo bisa naksir cewek juga. Gue kira, lo bakal selamanya naksir papan catur lo itu." Rana berkata diselingi tawa renyahnya. "Gak tau, ngalir gitu aja. Auranya Ran, bikin gue kecanduan. Lebay ya? Biarin ah. Gue baru nih kaya gini. Duh, meleleh Ran. Bener ya kata anak-anak tentang Jani. Bikin gila!" yang seketika disambut pandangan sarkastik dari sahabatku itu. "Astaga, gue laporan ah ke Rama. Biar lo diejek." Rana menggodaku. "Bilang gih, biar sekalian gue mau tau trik pedekate ala Rama." aku tak peduli ancaman iseng Rana. Kami tertawa bersama.

***

"Hei? Esa? Sedang apa disini?" Jani tiba-tiba muncul saat aku di parkiran mobil yang berada di depan gedung kampus. "Mau pulang, abis ketemu temen tadi. Kamu sendiri lagi ngapain disini?" aku balik bertanya. "Oh ini, mau pulang juga. Kebetulan lewat trus liat kamu, jadi aku nyapa deh. Hehe" kata Jani lagi. "Ngos-ngosan gitu Jan kamu, abis ngapain?" penasaran. "Ah, aku abis latian balet. Kegiatan rutin seminggu 4 kali tiap sore. Kadang malah seminggu 6 kali. Liburnya cuma 1 hari. Capek, tapi aku seneng. Sama halnya kalo misalkan kamu punya hobi, pasti seneng ngejalaninnya. Dan gak ada bosennya." Jani antusias. "Wah, butuh komit yang tinggi lho ini. Berarti kamu memang jalaninnya pake hati. Salut." sedikit-sedikit aku mulai menyelami karakter Jani. Dia tipe gadis yang penuh semangat dan memegang komitmen penuh atas jalan yang ia pilih. Bertambah satu lagi alasanku untuk makin menyukainya. "Jan, mau pulang bareng gak? Kamu gak bawa kendaraan kan?" aku menengok ke area parkir yang hanya menyisakan empat mobil berwarna putih, merah, hitam dan abu-abu. "Oh gak usah deh Sa, aku pulang pake ojek online aja. Lain kali aja pulang barengnya." Jani menolak. "Oke Jan, lain kali mau ya. Jangan nolak lagi." aku senyum. "Siap, bos! Duluan ya, Sa." Jani ikut tersenyum dan berlalu. Sekarang yang bisa aku lihat hanya punggung dan rambut coklatnya yang terurai tertiup angin. Sungguh, aku menyukai balerina yang satu ini. Rasanya waktuku berhenti berputar saat bersamanya. Melihat senyum dari bibir merah jambunya. Melihat gigi putihnya berbaris rapi. Serta melihat matanya yang tajam. Alisnya, alami tanpa sapuan pensil alis atau benda yang biasa dipakai para gadis untuk menebalkan alisnya. Ah, aku tak tahu apa itu namanya? Yang jelas, jarang aku melihat gadis seperti dia. Jani, senang bisa mengenalmu. Balerina idamanku.

**************************

Sajani TarikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang