Untuk Mencoba Berbahagia Kembali

172 41 8
                                    

"Kriiiiiing....kriiiing." Aku mendengar suara nyaring jam bekerku. Bunyi lonceng kecil yang terhentak dengan keras dari jam beker berawarna merah cukup berhasil mengganggu tidurku. Okay, aku bilang 'cukup berhasil' karena jam beker tersebut memang belum 'sepenuhnya berhasil' memberikan distraksi pada tidurku. Pada intinya, deringan nyaring itu belum membuatku mau untuk bangun. Aku masih bisa menahan suara itu. Let's continue to sleep. Aku kini masih menutup kedua mataku.

"BANGUN PEMALAS! WOY WOY!" Shits. Sekarang bunyi alarm dari ponselku yang berbunyi nyaring.

Rekaman suara Jena dengan format mp3 yang ia atur sendiri untuk menjadi nada alarmku, kini sedang menggema di seluruh penjuru kamarku. Bukan Jena yang salah, aku yang bodoh telah lupa menghapus setting-an Jena di ponselku.

"BANGUN PEMALAS! WOY WOY!"

God, I can bear with my weker's sound, but not with Jena's scream.

Aku segera meraih ponselku dan segera berlari-lari kecil di kamar. Iya, aku telah melakukan kesalah dengan meng-instal aplikasi alarm yang mewajibkan penggunanya untuk berlari-lari kecil agar suara alarm tersebut diam. Mungkin hanya sekitar tiga puluh detik aku berlari-lari kecil, tapi itu sudah cukup membuat mataku benar-benar terbuka.

"Aduh! Huhuhu." Aku mengaduh ketika menyadari rasa sakit di kakiku. Mungkin karena tadi kesadaranku belum sempurna, aku jadi tidak merasakan nyeri di telapak kaki kiriku.

Aku segera mendudukkan diri di ranjang dan mengecek kedua kakiku yang semalam sama sekali belum sempat kucek kondisinya.

"Wah, kaki kiri ini kayanya memar deh." Aku bermonolog seakan-akan aku adalah seorang dokter. Iya, menjadi dokter untuk diriku sendiri.

"Kaki kanan gak memar, tapi lecet. Seharusnya ini gak masalah sih kalau aku buat jalan." Aku kembali bermonolog sambil beranjak menuju kursi belajar yang berada di depan meja belajar, tempat di mana tadi aku menaruh ponselku.

"Kenapa tadi aku lebay banget ya kaya orang kesakitan?" Aku menoyor kepalaku sendiri sambil kemudian mengambil ponselku untuk mengecek chat yang masuk.

"Tadi aku kan lari-lari, makanya sakit ya. Aduh, bego deh." Aku menyadari kebodohanku dalam monolog Minggu pagiku ini.

7 missed calls from Bima

Aku tersentak mendapati notifikasi ponselku yang menunjukkan beberapa missed calls dari Bima.

Jika ditanya bagaimana perasaanku sekarang, aku mungkin tidak bisa menjawab dengan pasti. Aku merasa senang, karena orang yang kurindukan tiba-tiba keberadaanya muncul kembali. Ya meski bukan secara fisik, sih. Selain senang, aku juga merasa sedih. Sedih mengingat bagaimana dia dulu pergi dengan alasan yang sulit kumengerti. Aku juga merasa takut, takut akan luka yang sudah sakit ini akan bertambah sakitnya setelah kembali merasakan keberadaanya. Aku juga merasa benci mengingat bagaimana aku dibuang dari kehidupannya. Aku pernah mengalami masa di mana aku merasa seperti sampah, atau orang buangan. Ya, ketika Bima menginginkan hubungan kami untuk berakhir. Terlepas dari semua perasaan-perasaan itu, aku juga merindukanya. Ada sedikit harapan tentang Bima. Sungguh munafik jika aku bilang sama sekali tidak mengharapkannya. Entahlah, manusia sungguh penuh dengan kontradiksi. Terkadang ia mengharapkan sesuatu yang juga ia takutkan. Terkadang ia berkata benci untuk kemudian memberikan sebuah pelukan.

Aku terduduk di atas ranjang, memandangi langit-langit kamar kosanku yang berwarna putih. Kemudian aku mengadahkan pandanganku sedikit lebih ke bawah dari sebelumnya. Kini aku memandangi foto-foto polaroid yang menggambarkan beberapa momen yang kualami setahun terakhir. Aku terlihat tersenyum di kebanyakan foto-foto itu. Foto pertama kali menjalani ospek jurusan dan pertama kali berteman dengan Jena. Aku terlihat tersenyum di foto itu, padahal malamnya Bima baru saja mengucapkan selamat tinggal. Bukannya aku memberikan fake smile. Menurutku, aku tersenyum meskipun sedang bersedih adalah bentuk rasa bersyukurkua atas kebahagian-kebahagiaan lain yang kudapatkan. Aku memang baru saja putus, tapi ospek jurusan hari pertama yang berjalan dengan lancar adalah sebuah kenikmatan bukan? Sekarang aku melihat foto di samping foto ospekku. Foto di sampingnya adalah fotoku berasama adik-adik di Rumah Kanker yang biasanya aku datangi. Terhitung dua bulan setelah patah hati pertamaku selama 17 tahun aku hidup, aku memutuskan untuk mengunjungi adik-adik di Rumah Kanker setiap minggu, atau minimal dua minggu sekali. Aku berusaha mati-matian menyibukkan diriku, bahkan di setiap weekend. Semata-mata untuk menutupi sakit hati yang sebenarnya masih bersarang. Melihat adik-adik yang sakit dan masih bisa bernahagia bisa membuatku malu untuk berterus-terusan galau atau menangisi kepergian Bima. Beberapa foto di samping lainnya adalah foto-foto akhir kepanitiaan dan organisasi yang aku ikuti. Aku juga terlihat tersenyum di foto-foto itu.

AntaresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang