"Saya terima nikah dan kawinnya Salmafira Khairania Laksono binti Baskara Harimurti Laksono dengan mas kawin seperangkat perhiasan emas senilai seratus juta dibayar tunai."
Seruan sah dan alhamdulillah memenuhi pendengaran Alvin. Dia melihat ibunya menyeka airmata haru didepan sana. Saat Alvin menoleh ke samping, perempuan manis disebelahnya menunduk, mencium punggung tangannya lama dan khidmat. Tatapan mereka bertemu saat wanita itu mengangkat wajah dan membiarkan Alvin mencium keningnya sekilas. Alvin sadar dia sudah melakukan kesalahan. Ya. Kesalahan besar.
***
"Ini kamar kamu." Alvin membawa koper Salma masuk, menunjukkan sebuah kamar tidur super luas.
"Tapi, mas...."
"Kalau perlu apa-apa, kamu bisa bilang sama mbok Sari. Dan ini..." Alvin menyerahkan dua kartu berwarna emas dan hitam ke tangan Salma. "Untuk memenuhi semua kebutuhan kamu. Pakai aja. Bebas."
"Mas...."
"Selamat beristirahat, Salma."
***
Alvin termenung dibalkon kamarnya. Memandang miris lampu-lampu jalanan yang menghiasi komplek perumahan itu. Beragam warna dan indah. Kontras dengan suasana hatinya. Perempuan dikamar bawah pasti sedang menangisi nasib yang terpaksa ia terima hari ini. Alvin memang gila. Tapi Arkana lebih gila lagi. Adiknya itu justru pergi menerima tawaran beasiswa keluar negeri tanpa mau tahu masalah apa yang tengah dihadapi kekasihnya disini. Perempuan itu hamil anaknya, dan dia pergi. Sialan memang Arkana.
"Mas kok merokok?"
Suara lembut itu berhasil menyentak Alvin kembali dari lamunan panjangnya.
"Siapa yang bolehin kamu masuk?" Sergahnya kasar.
"Pintunya gak dikunci jadi aku..."
"Lain kali jangan masuk sembarangan, Salma!"
Wanita itu terlihat takut. "Maaf, mas. Aku cuma mau ajak mas makan malam, aku tadi masak buat kita berdua."
Alvin menekan batang rokoknya ke asbak. Sial. Baru juga beberapa kali hisap. Dia beranjak dari kursi. "Ayo!" Katanya karena Salma masih berdiri terpaku. "Katanya mau makan."
Salma mengekori langkah Alvin ke ruang makan dilantai bawah. Dengan sigap dia menyendokkan nasi dan semur ayam ke dalam piring dan meletakkannya didepan Alvin. Senyuman selalu menghiasi wajahnya sampai dia duduk didepan Alvin.
"Dimakan, mas."
"Besok-besok gak usah masak. Aku gak biasa makan dirumah."
"Tapi kan sekarang ada aku, mas.... Kenapa gak dibiasakan makan dirumah?"
"Memangnya kamu siapa?"
Salma menunduk. Alvin tahu dia terlalu blak-blakan.
"Begini... Salma..." Ia berdehem. "Aku menikahi kamu supaya anakmu punya status. Aku akan memenuhi semua kebutuhan materi kalian berdua sampai Arkan selesai dengan kuliahnya. Kamu bisa kembali pada Arkan setelah semuanya beres."
"Mas..." Tatapan Salma berkaca-kaca. "Aku.... Anak ini...."
"Sudahlah, Salma.... Aku paham. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu cuma perlu memenuhi kebutuhan gizi kalian, jangan bekerja terlalu berat. Ada mbok Sari yang akan menemanimu mulai besok. Kamu tidak perlu memusingkan aku dan segala urusan juga kebiasaanku. Bagaimana aku hidup, itu urusanku. Kamu paham?"
Salma mengangguk pelan.
"Masakanmu lumayan, lebih bagus lagi jangan memasak."
Enak. Masakan Salma enak. Sejujurnya itu yang ingin Alvin katakan tapi dia tidak bisa. Mengucapkan kalimat manis dan baik hanya membuatnya seolah berselingkuh dengan adik ipar. Salma jauh lebih muda darinya. Mereka terpaut hampir delapan tahun. Wanita ini seusia Arkan. Teman sekolah Arkan sejak SMP. Teman tapi mesra.