24

352 14 0
                                    

Tidak ada keluar kata-kata sepatah pun diantara mereka. Sehingga yang terdengar hanya desahan nafas mereka yang kadang keras kadang lunak.

Sesekali terdengar pula mata parang mereka berdesir di ranting-ranting kayu, ketika mereka memancung dahan-dahan kayu itu dengan keras sekali. Ranting-ranting  itu langsung putus. Karena parang tersebut memang amat tajam.

Ketika telah hampir sampai di tepi ladang, dan hanya berjarak sekitar seratus meter lagi, Bujang Tigo bersorak keras sekali. Gema suara memecah kesunyian hutan bakau itu.

" Terkejut aku karena kerasnya suara kakak ", tutur Pardi sambil tertawa.

" Sorak aku barusan adalah bernama sorak hantu alam sati. Bagi makhluk apa saja yang mendengar suaraku. Kalau dia berniat salah kepada kita, dia akan lari tujuh bukit tujuh pematang karena dikejutkan  oleh sorak tersebut. Nanti kalian boleh menerima do'anya", kata Pendekar Gunung Sangku sambil berjalan beriringan.

Tidak berapa lama kemudian, sampailah mereka di pinggir halaman rumah ladangnya. Baik Pendekar Gunung Sangku maupun Pardi dan Imran agak sedikit khawatir, karena tidak melihat pintu rumah ladangnya terbuka. Mereka khawatir dengan apa yang terjadi dengan ibu mereka.

" Ibu...! Buka pintu bu..! kami telah pulang dengan selamat ", ujar pardi bergegas berjalan mendahului Imran dan Pendekar Gunung Sangku.

Dia berlari menuju tangga dan langsung naik ke rumah, Dipertengahan anak tangga rumah itulah dia memanggil-manggil ibunya.

Tidak lama terdengar lantai rumah yang terbuat dari kayu itu berderak-derak oleh kaki seseorang, kemudian pintu yang terbuat dari kulit kayu itu terkuak.

Seorang wanita berwajah lusuh berdiri di depan pintu itu dengan rambut kusut, badan kurus, memakai kodek lusuh dan kutang usang tanpa baju.

" Kami selamat bu. Ini jelas berkat do'a ibu. Ibu tidak apa-apa di rumah kan ?', tanya Pardi gembira sambil memeluk ibunya penuh kasih sayang.

" Alhamdulillah nak, Allah memang kaya, memang maha adil. Kalian baik-baik saja semuanya kan ?", tanya Ibu Nurani sambil mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air mata.

" Kami baik-baik saja semuanya bu ", kata Pendekar Gunung Sangku.

" Ini jelas krena do'a ibu kepada Tuhan bu", tambah Imran lagi sambil mencium pipi ibunya yang sudah keriput dimakan usia dan digerayangi penderitaan hidup berkepanjangan.

" Semalaman aku tidak tidur. Aku selalu mendoakan sgar kalian selamat pulang pergi.Beberapa kali aku mendengar ada bagaikan orang yang memanggil dari halaman sana. Dia mengatakan, namanya Tian dan Jusni. Aku diam saja, aku khawatir kalau yang datang itu orang yang ingin  berbuat jahat. Begitu aku diam suara itu hilang pula ", tutur Ibu Nurani.

Mendengar nama Jusni itu wajah Pendekar Gunung Sangku berubah. Air matanya meleleh. Darah di dadanya berdegub bagaikan deguban ombak yang menghempas ke pantai karang keras.

Terbayang kembali dimata Pendekar Gunung Sangku, saat kematian Jusni yang demikian sadis, yang tidak mengenal belas kasihan sedikitpun.

Terbayang pula oleh Pendekar Gunung Sangku kematian ibunya yang tak kalah pula sadisnya, bersama-sama dengan kematian Engku Kabanaran, guru yang ia amat sayangi, kagumi dan hormati.

Tak lama Pardi dan Imran juga menangis, sebelum sempat menceritakan bagaimana kejadian yang mereka alami bertiga semalaman di Batang Pudau,  mereka berempat berangkulan dan saling bertangisan.

" Yang penting bagiku kalian selamat. Bagiku tak penting kalah dan menang. Yang penting kalian kembali ke dekatku. Tidak ada lagi kekuatanku untuk hidup di dunia ini, kecuali kelian bertiga ", ujar Ibu Nurani sambil menangis terisak.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang