Satu

64 6 2
                                    

Namaku Kemidia Ghassa. Biasa dipanggil Kemi. Aku masih duduk di bangku kelas 11 di salah satu SMA swasta di Kota Bogor. Aku gadis berkerudung yang dikenal seisi sekolah. Oh, bukan! Aku bukan terkenal karena prestasiku yang terang-benderang bak lampu neon, melainkan karena aku sering telat datang ke sekolah.

Aku satu-satunya siswi peraih rekor telat terbanyak dari seluruh angkatan. Dan parahnya lagi, aku sampai disebut sebagai pentolan siswa-siswi yang datang telat oleh seisi sekolah. Umm.. memalukan memang. Kebiasaan burukku tidur sehabis shalat shubuh memang sedikit sulit aku ubah.

Tapi perlu kalian tau, sudah  2 minggu terakhir ini, aku berusaha membersihkan nama baikku dari label itu. Ya, sudah 2 minggu ini namaku tidak ada lagi di daftar anak telat. Pak Mulyo, kesiswaan di sekolah mulai melebarkan senyum bangganya terhadap perubahanku yang bagus. Seisi sekolah pun sempat heboh melihatku yang akhir-akhir ini sering datang pagi. Dan sayangnya, usahaku selama 2 minggu itu hilang bagai debu yang tersapu angin. Hari ini aku datang telat. Dan ini gara-gara dia, laki-laki yang kini tinggal seatap denganku.

Tadi pagi, untuk pertama kalinya aku bicara duluan padanya. Aku memintanya untuk mengantarku ke sekolah karena sepertinya aku akan terlambat (lagi) jika harus berjalan ke luar komplek dan menunggu angkot.

Kalian tahu apa reaksinya?

Ia menatapku datar sekitar 5 detik lalu berkata "Saya bukan supir kamu!" aku terhenyak. Dia memang bukan supir aku, tapi dia kan suami aku. Ya, walaupun aku nggak suka dengan kenyataan itu.

"Ya emang bukan. Aku cuma minta anter hari ini aja kok! Aku bakal telat kalo ngangkot. Terus, Aku juga masih belum hafal jalan keluar komplek sini."

"Makanya jangan lama siap-siapnya!"

"Tadi aku bongkar kardus dulu nyari kerudung sekolah,"
Dia menghela nafas dengan ekspresi menyalahkan.

"Kamu punya aplikasi ojek online, kan?" katanya santai. Aku mendengus halus.

"Aku nggak punya. Lagian aku nggak bisa kalo naik motor."

"Masa nggak bisa? 17 tahun masih nggak bisa naik motor??"

"Bukan nggak bisa naiknya. Tapi, nggak bisa harus naik motor."

"Loh maksudnya gimana?"

"Nanti deh ceritanya."

"Yaudah pesan taksi online aja. Gimana?" ucapnya santai. Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"Yaudahlah kalo nggak mau." respon terakhirku dan langsung ke luar rumah.

Like please, jangan banyak tanya bisa? Apa susahnya sih anter aku ke sekolah?? Cuma hari ini aja kok. Lagipula dia bukan seorang pekerja yang tiap pagi harus berangkat ke kantor. Waktunya pasti luang. Tau gitu aku nggak mau deh diajak pindah dan tinggal berdua serumah dengannya.

"Duh, panas banget!" keluhku dengan beberapa cucuran keringat di dahi.

Aku menengadah ke langit. Matahari mulai terasa menyengat. Aku menengok jam tanganku hati-hati. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 kurang 16 menit. Sabar Kem, tinggal 1 menit lagi.

Sekarang ini aku tengah berdiri tegap diantara 4 laki-laki berseragam batik sekolah. Kami berlima dengan kompaknya mengangkat tangan kanan kami bersikap hormat menghadap tiang bendera di tengah lapangan upacara.

Yayaya! Sudah aku bilang, hari ini aku telat lagi. Untung saja guru piket hari ini, Bu Rini. Beliau nggak pernah kasih hukuman yang neko-neko. Hukuman klasik udah jadi andalannya. Lagi, aku mengelap peluhku.

Teeeeeet...

"Alhamdulillah" ucap kami berlima hampir bersamaan.

Tidak ada kata lain yang bisa kami ucapkan selain kata syukur. Kakiku lumayan pegal. Belum lagi rasa gerah yang amat sangat. Kami berlima masih dalam posisi kami. Sesekali menengok kanan-kiri mencari batang hidung Bu Rini.

          

Astagfirullah, kali ini justru kalimat istigfar yang terucap dari mulut-mulut kami. Sebab, Bu Rini tak lekas datang untuk membubarkan. Bu Rini itu memang sedikit kemayu. Gerak-geriknya tidak segesit guru-guru yang lain. Aku yakin beliau masih di dalam kelas saat ini. Aku bisa membayangkan langkahnya yang pelan dan hati-hati menuruni anak demi anak tangga dari lantai 3.

Aku menengok ke arah teman-teman seperjuanganku ini. Paling ujung ada Kak Dion, anak kelas 12 IPS 1, troublemakernya Cipta Asa. Dia lagi duduk selonjoran. Aku menggeleng tidak percaya. Di sebelahnya ada Faruq, anak kelas 11 IPA 1 keturunan Arab yang sebelumnya nggak pernah aku lihat ada di barisan anak telat. He's a good boy. Mungkin hari ini hari buruknya. Di sebelah kiriku ada Sultan, salah satu hitsnya Cipta Asa. Selain ganteng dan tajir, Sultan ini anak dari salah satu pendiri yayasan sekolah. Mungkin, karna hal itu dia jadi semaunya berangkat ke sekolah. Dan yang terakhir ada Bobi, anak kelas 10. Bobi ini memang sering ada di barisan anak-anak yang telat. Kami--kecuali Kak Dion-- masih tegap dan hormat.

Disaat kami sedang harap-harap cemas menunggu kedatangan Bu Rini, tiba-tiba segerombolan cewek-cewek rame berlarian ke arah kami. Mereka menghampiri Sultan.

"Sultan, lo haus ga? Mau minum ga?"

"Mau gue kipasin ga?"

"Gue punya tisu nih"

Lontaran-lontaran pertanyaan menghujani Sultan. Aku memperhatikan mereka dengan tatapan tidak percaya. Kok bisa ya? Mereka bersikap begitu menggelikannya pada laki-laki yang jelas bukan siapa-siapa mereka?! Aku memutar bola mataku ketika ada yang bilang "Mau gue gantiin berdiri disitu ga, Tan?" I mean like, why?? Daripada nawarin ke Sultan, yang badannya tinggi besar kayak bule begitu, mending nawarin ke aku. Aku ini kurus, kecil dan keringetan. Ini beneran nggak adil deh.

"Kem, nih minum!" Suara seseorang membuatku berpaling dari pemandangan menyebalkan itu. Kini aku melihat sosok Kak Mada dengan sebotol air mineral di tangan kanannya.

Itu tadi Kak Mada ngomong sama aku atau ngomong sama siapa ya? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Kok lo kayak orang linglung gitu? Gue ngomong bukannya didenger!"

Cewek-cewek yang tengah mengerumuni Sultan menengok ke arah kami. Mereka memicingkan matanya sambil berbisik-bisik. Aku mengabaikan mereka dan fokus pada Kak Mada.

"Ini buat lo! Kok lo telat lagi?" katanya seraya memberikan sebotol air mineralnya. Aku tersenyum malu dan meraihnya.

Kak Mada ini kakak kelasku. Dia juga salah satu hitsnya Cipta Asa. Kalo aku ini terkenal karna kekuranganku, lain hal dengan dirinya. Dia memang pantes banget dibilang hitsnya Cipta Asa. Gimana nggak? Nih ya, selain punya tampang oke, Kak Mada itu kapten basket, kreatif dan pinter pake banget. Dia selalu jadi perwakilan sekolah untuk ajang-ajang olimpiade yang bahkan aku nggak ngerti itu apa. Hampir semua cewek di sekolah kagum dan naksir sama dia. Walau seandainya Kak Mada itu bukan kapten basket dan nggak pinter, aku yakin mereka pasti tetap tertarik. Kenapa? karena tampilan fisiknya benar-benar jempol.

Aku pernah denger kabar dari anak-anak, kalo Kak Mada ini campuran. Bukan! Bukan campuran gula merah, es batu sama cincau! Dia ini katanya campuran Indonesia-Jepang-Rusia-Amerika. Itu menurut kabar yang beredar sih. Belom tentu bener juga. Tapi, yang jelas, Kak Mada ini memang beneran cakep. Nggak kayak cowok-cowok Indonesia pada umumnya, postur tubuhnya tinggi besar, warna kulitnya putih kemerahan, bola matanya coklat terang dan rambutnya agak pirang. Kalo menurutku, wajah Kak Mada memancarkan keramahan dengan sendirinya. Jadi, setiap orang yang melihat wajahnya akan merasa senang, tentram dan menganggap Kak Mada itu orang yang baik.

Dan sudah bukan rahasia lagi, hari-harinya diwarnai dengan beragam modus dari cewek-cewek Cipta Asa. Dari yang cupu sampe yang ngehits, dari kelas 10 sampe kelas 12, dari yang begajulan sampe yang alim, semua tertarik padanya. Dia nggak pernah ngerasa risih ataupun 'sok' dengan hal itu. Sebaliknya, dia tanggepin mereka dengan sangat ramah. Sempurna? Iya. Mustahil ada orang kayak gitu? Nggak! Buktinya dia beneran ada dan nyata. Pokoknya dia the best.

Yap lanjutkan na,, 😍😘💪 ceritanya agak ketebak sih but kalau dikemas menarik. Aku rasa bisa ga ngebosenin kaya may who 😚. Jadi lanjutkan yaa,, aku siap mendorong dr belakang 🙌😺

7y ago

KEKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang