01.

107 46 60
                                    

Jadilah seorang readers yang tidak nyider, sesungguhnya readers yang tidak nyider senantiasa akan di dekatkan langkahnya bertemu bias, sip - Tuwelev, 15, jodoh seluruh bias.

Voment juseyo

•^•


'Halah, semua cewek semua aja'

Dalam kamus besar seorang Hanbin, kalimat itu berada di nomor satu.Sebelumnya mari berkenalan dulu, Hanbin Ardhian namanya, satu-satunya cowok yang selalu memiliki pikiran negatif tentang kaum hawa.

Mulai dari keinginan mereka –kaum hawa– yang selalu ingin di mengerti, ingin di pahami, sampai ingin di prioritaskan kebanding futsal yang sudah mendarah daging bagi para kaum adam.

Egois bukan?

Selama ini Hanbin selalu terpikir tentang bagaimana berkuasanya kaum hawa di dunia ini. Contoh jelasnya saja, Bunda nya.

Ya tentu saja, Bunda dan spesis yang sama dengannya adalah manusia yang paling berkuasa di bumi, setidaknya itu jugalah yang ada di pikiran teman-temannya yang lain. Betapa besar kekuasaan kaum hawa.

Contoh lainnya yang sedang Hanbin rasakan sekarang, Miss El, selaku wali kelasnya meminta nya untuk mengoreksi seluruh ulangan di angkatannya. Sendirian. Alasan utamanya adalah, karna Hanbin ponakannya. Dan Hanbin tak dapat mengelak.

Hanbin membuang nafas kasar. Lalu meletakkan pena yang sejak tadi dia pegang. Perlahan Hanbin merenggangkan seluruh otot-otot tangannya. Hanbin juga menautkan kedua tangannya, lalu menganggkatnya tinggi-tinggi.

Hanbin, aku sayang kamu. Tolong jaga diri kamu baik-baik disini. Aku akan tetap sayang kamu.

Sontak Hanbin mengacak rabutnya kasar. Jantungnya berdetak tak beraturan. Bahkan nafasnya juga sama. Untuk kesekian kalinya, ucapan terakhir dari Veela kembali terngiang di kepala Hanbin. Jika bisa, Hanbin ingin amnesia agar lupa semua tentang Veela. Semuanya. Dan tak tersisa satupun. Sekeping pun. Hanbin ingin itu terjadi.

"Hai Hanbin."

Hanbin menganggkat kepalanya, senyum manis itu, ahh, Hanbin sulit membedakan mana dunia nyatanya dan imajinasinya. Sulit.

"Veel–"

Cewek itu mendengus kesal sambil meniup poni rabutnya yang menutupi sebagian keningnya. Lalu menarik kursi di samping Hanbin.

"Gua Veera."

Ah iya, Hanbin selalu seperti ini. Sejak kejadian tiga tahun lalu. Hanbin jadi sulit membedakan beberapa orang yang memiliki kesamaan dengan Veela. Seperti Veera contohnya, dia memiliki nama serta senyum yang mirip dengan Veela.

"Mbin, kok malah ngelamun?" Veera menjetikkan jarinya beberapa kali di depan wajah Hambin, hingga Hanbin tersadar,"Mau gue bantu ngoreksinya ga?"

Hanbin menggeleng pelan, lalu kembali mengambil pena nya dan merilekskan kedua bahunya terlebih dahulu, barulah kembali mengoreksi lembar jawaban teman-temannya.

"Veer, mending lo balik ke kelas. Ntar gua yang kena. Di sangka minta bantuan lo." Hanbin berucap datar.

Veera mengedikkan kedua bahunya tak peduli, lalu tersenyun manis,"Emang ada guru yang berani marahin gue?" perlahan Veera terkekeh,"Gue harap, ada salah satu dari mereka yang memarahi gue karna gue berbuat salah. Tanpa pandang bulu. Tanpa takut. Kalo gue salah ya gua pengen di tegur kayak yang lain juga." Veera mendengus pelan,"Gue kan murid juga, sama kayak yang lain, bukan pemilik sekolah atau apapun."

Veera mengambil beberapa lembar kertas jawaban dari kelasnya, lalu mulai mengoreksinya dengan tenang.

"Udah, gausah bantuin gua, mending lu balik ke kelas." Hanbin mengambil seluruh kertas jawaban yang ada pada Veera, begitu juga dengan kertas jawaban lainnya yang telah dia pisahkan berdasarkan kelas di atas meja, lalu Hanbin menumpuknya menjadi satu dan diletakkannya di bawah kertas jawaban yang sedang di koreksinya,"Gua mohon lu balek ke kelas."

Veera mencebikkan bibirnya, lalu mendorong kursinya perlahan kebelakang,"Yakinnih gamau gue bantuin?" tanya Veera pelan.

"Hm."

Veera menunduk sebentar, lalu beranjak berdiri,"Nanti jangan lupa makan siang ya." Cewek itu menepuk pundak Hanbin singkat. Lalu pergi meninggalkan majelis guru.

"Hm." Hanbin kembali berdehem setelah mendengar bunyi pintu tertutup,"Lo juga."

•^•

"Ardhi, udah selesai blom?" tanya Miss El saat meletakkan semangkuk soto di depan Hanbin. Aromanya cukup membuat perut Hanbin meronta.

"Bloman, Tan." Hanbin mendengus, lalu meletakkan penanya,"Gantian dong, capek gua Tan." Hanbin menarik mangkuk soto itu mendekat padanya. Tanpa babibu Hanbin langsung saja memakannya.

"Ponakan kurang ajar emang. Yaudah iya, mana lagi yang belum?" tanya Miss El. Hanbin menunjuk asal,"Yang mana sih Ardhi?" Miss El berusaha melihat apa yang di tunjuk Hanbin.

Hanbin berdecak pelan, lalu menganggkat kepalanya dan melirik tantenya, "Yang belum ada centangan ya brarti belun Ambin periksa. Gimana sih Tan," geramnya.

Sontak saja guru bernama lengkap Eliza ini menarik sebelah telinga Hanbin, lalu mendekatkan mulutnya dengan telinga Hanbin untuk berbisik,"Ntar tante laporin Bunda."

Terlihat senyuman puas di sudut bibir Eliza yang sukses membuat Hanbin berdecak kesal.

Status Hanbin memang sebagai keponakan dari Eliza, namun karna umur yang hanya terpaut lima tahun jauhnya, Hanbin jadi menganggap bahwa Eliza ini adalah kakaknya, bukan Tentenya. Karna itu dia selalu berbicara informal layaknya berbicara dengan teman nya.

"Eh Dhi, by the way ya. Kayak nya kamu nanti mau di kenalin gitu deh sama cucu teman Kakek." Eliza terkekeh pelan,"Kayak di jodohin gitu sih jatuhnya."

Hanbin tak peduli, sungguh, soto ini jauh berlipat-lipat lebih menarik.

Yo salken cinggu, semoga suka nde •^•

22-12-17

Locked ;khbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang