01

111 3 3
                                    

Kota hujan,
kota yang penuh kenangan matahari mengeluarkaan sinar redupnya di ufuk barat, awan kelabu menghiasi langit jingga, sang surya yang mulai kelelah memejamkan sinarnya perlahan, gunung yang permai barjajar amat kokoh, pohon pohon yang anggun bergoyang kesanan kemari tertiup angin.
Hujan rintik rintik menambah indahnya pemandangan,suara burung dan hembusan angin menenangkan hati sejenak aku bisa melupakan semua beban di pundak,

Aku menutup mata dengan perlahan,aku berdiri tepat diatas batu besar yang menghadap barat dimana sang surya akan  terbenam, aku melebarkan tangan angin yang bertiup menyibakan rambut hitamku yang tak ku ikat,aku masih memejamkan mata,pipiku merona sebuah senyuman ku kembangkan dengan perlahan, kini aku merasa seolah olah terbang, lebih tepatnya pose ku udah mirip kaya di film taitenik yang pernah jadi buming di jamannya.

AAAAAAAAAaaa,,,,,(sura teriakan)

Aku berteriak dengan kencang, sekejap aku merasa dunia ini milikku
Aku masih mengenakan pakaian seragam sekolah lengkap dibalut dengan belezer berwarna abu, dengan rambut yang terurai,rambut yang berwarna hitam pekat namun tipis menari nari tertiup angin seolah olah bisa merasakan perasaan ku saat ini,

"Sudah cukup isyah, suaramu bisa membangunkan anak burung yang tertidur disana," tiyo menunjuk kearah sebuah pohon yang tak terlalu besar dengan ranting bercabang daunnya tak begitu lebat, tertengger sebuah sayang burung yang di dalamnya ada beberapa anak burung sedang tertidur, dari atas sini aku bisa melihatnya dengan jelas burung burung mungil itu sedang tertidur pulas,ada sekitar 3 anak burung mereka belum memiliki bulu, warna kulitnya yang pink tak bisa di sembunyikan oleh sarangnya yang terlihat nyaman.

Aku membuka mata dan berhenti berteriak karna suara tiyo yang membuatku terkejut,
"Iyah" aku menjawab singkat.

" buru turun nanti kamu bisa terjatuh," dia memegangi tangan kananku dan mencoba menarik turun dengan perlahan,

"Okey baik lah,tiyo bagaimana kalo aku jatuh dari sini,?" aku mengalihkan pembicaraan sambil memegangi tangan tiyo yang berusaha membantuku turun,

Batunya terlalu besar dan licin hingga membuat ku sulit untuk turun, ini yang di namakan naiknya gampang turunnya ga bisa.

"Ngomong apa siiih, ga usah ngaco deeh, kalo kamu jatoh, terus siapa yang bakal nenangin aku,dikala aku terpuruk"
Tiyo melihatku dengan sedikit kesel.

Aku merasa geli melihat ekspresi tiyo dan kata katanya yang so puitis.

"Mia" celotehku
Aku masih sibuk dengan urusannya agar aku bisa turun,karna batunya yang terlalu licin hingga membuat ku was was takut terjatuh.

"Udah deeh mulai gaje ngomongnya,," tiyo memegangi pinggangku agar tak terjatuh,

entah karna apa aku tak sengaja tergelincir,mungkin karna terlalu licin mungkin juga karena tiyonya yang ga ikhlas ngantu, sekarang aku jatuh menimpa tiyo yang ada di bawahku

Aaaa,,
Aku berteriak refleks, kemudian sesaat aku terdiam saat tepat menindih tiyo jantungku serasa tak berdenyut, aku lupa bagaimana caranya bernafas aku hanya memandangi  wajah tiyo dengan bodoh yang ada tepat di bawahku  jaraknya,,kami  tak berjarak hingga hidungku bisa menyentuh hidungnya, dalam hati aku berkata "ini pelanggaran".
Tiyo pun merasakan hal yang sama sesaat dia tak mampu bernafas, dia hanya bisa menatap aku yang terlihat bodoh.
Beberapa detik kami membatu seperti patung, hingga gerimis menjadi hujan yang mencairkan suasana menegangkan itu,

"Kamu tak apa apa,?" Tiyo mengedipkan matanya dengan susah payah,mencoba mencairkan suasana.
hujan yang semakin deras membuat kami basah kuyup,

Aku tersentak segera bangkit, pipiku merah merona seperti tomat masak, jantungku sekarang berdetak begitu kencang,rasanya seperti geranat yang mau meledak, hingga aku bisa mendengar sendiri suara detakan demi detakannya.

Aku tak mengeluarkan sepatah kata pun, lidah ku serasa kelu. aku berjalan menuju moge berwarna merah,  sekarang aku benar benar merasa kikuk aku berusaha mengendalikan perasaan aneh ini,
Aku mengusap wajahku yang basah kuyup karna tersiram derasnya air hujan,

Hujan adalah hal terfavorit dalam hidupku dari kecil aku akan selalu menikmati suara hujan dan akan selalu merasakan damainya bau air hujan,
Namun kali ini aku benar benar mengabaikan dua hal itu,karna satu hal yaitu eric prastiyo

"ayo pulang nanti kamu bisa sakit lama lama kena air ujan," ujar tiyo mendekat

Aku mengangguk dengan kaku,

"isyah,cepet naik,, malah bengong",

" iih siapa yang bengong"aku coba menyangkal dari kenyataan, aku masih membayangkan kejadian beberapa menit yang lalu, jantungku berdebar tak karuan ketika dibonceng oleh tiyo dengan mogenya, ini tidak seperti biasanya.

"Isyah,,kamu ga seperti biasanya kamu kenapa siih, sekarang hujan looh..."? Tiyo melaju dengan cepat menembus hujan lebat, tubuh kami basah kuyup,seperti tikus terjebur ke got.

Aku menatap kedepan dengan kosong,aku  memegangi kedua lututku dengan tangan yang bergetar.
Tiyo melirik ke arah kaca sepion,dia melihat ku yang seperti orang syok menatap kedepan tanpa berkedip,
Tiyo tau bahwasanya ada yang tidak beres denganku,karna tiyo tau betul bahwa aku sangat menyukai hujan, saat ini tiyo bisa merasakan kalau aku tak menikmati hujan.

"Isyah,pegang yang kenceng" tiyo berbicara dengan keras namun tak membangunkan aku dari hayalan gila, tiyo menambah laju kecepatan motornya dengan labih kencang,hingga membuat aku tersengkal kebelakan, sontak membuat aku refleks memeluknya dengan erat,"gila",, kata awal yang di ucapkan aku saat terbangun dari hayal, "tiyo, kamu sudah gila yaa,, kamu pengen mati, pelan-pelan, kamu itu cuma punya nyawa satu",aku berteriak dengan keras agar tiyo bisa mendengar apa yang di ucapkanku,
Rasanya ingin ku jitak kepalanya karna membuatku hampir jantungan.

Tiyo mengembangkan senyumnya dibalik helm merah,bola matanya melirik ke kaca sepion dia melihat mimikku yang ketakutan menutup mata sambil memeluknya dengan sangat erat, "gua harap tiyo masih waras",dalam hati aku berucap,, "awas ajah kalo udah sampe aku tonjok sampe idungnya mindah ke samping"aku mengutuk kesal sambil memejamkan mata.

jalanan menuju lewiliang,
di sini begitu sepi jalannya nanjak turun pemandangan sekeliling  dihiasi pepohonan dan pegunungan yang berdiri gagah,sang surya tak lagi menampakan sinar waktunya sudah habis sekarang saat sang surya terbenam,
gemercik hujan, yang menghiasi malam yang sunyi, hujannya bertambah lebat hingga membuat pengendara beroda dua enggan untuk berkendara menerobos lebatnya hujan kecuali untuk orang yang bener benar punya urusan penting untuk melakukan aktifitas hingga memaksa untuk berkendara.

Aku tersenyum sambil menutup mata aku  terlihat manis,(katanya).
wajahku berkali kali terkena semprotan hujan yang deras namun aku tak mengeluh maupun merasa risih.

Tiyo  memelankan kendaraannya,sudah hampir sampai depan rumahku.
seorang wanita mengenakan daster berdiri di teras rumah dia memegangi payung,wajahnya menggambarkan wajah gelisah nan hawatir, dia bolak balik dari satu arah ke arah sebaliknya seperti setrikaan,

Aku membuka mata dan melihat mamah tengah menunggu, aku segera melepaskan pelukan, yang sudah terasa nyaman.

Aku fikir mamah akan memarahiku namun ketika aku turun mamah berlari mendekatiku dan segera memayungi aku yang basah kuyup.
"astagfirallah,,kaka teh kenapa hujan hujanan?" Dengan logat orang bandung.
"maaf bu, saya soalnya ga bawa mantel," tiyo langsung menjawabnya
"eeh a tiyo,,iyah iyah ga apa apa, enggal masuk heula,neduh dulu di dalem,makasih udah nganterin isyah pulang".
"Sama sama bu, maaf bu tapi saya harus cepat pulang,sekarang sudah malam",
eric menolak dengan halus,
"ayo atuuh a, masuk dulu"aku coba membujuk tiyo untuk meneduh di rumahku, dengan senyuman penuh kepalsuan.

"Asli aku pengen banget nonjok mukanya yang ngeselin itu, 1 dia udah ngejatuhin aku,2 dia udah buat aku hampir serangan jantung, dan yang ke 3 dia bener bener so manis di depan mamah tiriku"dalam hati aku bener bener kesel

"iyah lain kali," tiyo menolak penawaran yang kedua kalinya.
"yaudah atuuh hati hati" mamah mengeluarkan mimik kecewa, " lain kali atuuh main yaah a"
"iyah bu," tiyo mengenakan helmnya,segera melaju secepat kilat seperti pembalap motor rosi.

"ayo masuk" mama mengatakan dengan datar, dan meninggal kan ku yang
kehujanan.

" hari ini adalah hari ke 33 (tiga puluh tiga) sebelum aku benar benar meninggalkan kota ini serta semua orang orang yang baru saja singgah di hati"

Bersambung,
( yang udah baca jangan lupa voce yaah,, ceritanya akan trus di up setiap tiga hari sekali, :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Tentang MelupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang