A/N: Lovelies, sebelum / setelah baca tolong baca kolom percakapan terbaru di profil Duchi ya. It's important karena di situ ada penjelasan kenapa Duchi hiatus lebih lama dari yang diperkirakan. Kenapa nggak ditulis di sini karena Duchi pengen menyampaikan maksud Duchi ke semua pembaca, nggak cuma pembaca RT.
Sorry to keep you waiting, enjoy the chapter!
---
Knowledge is a treasure, but practice is the key to it.
- Lao Tzu -
Badai yang tidak disangka-sangka menghantam Pulau Dewata hari berikutnya.
Petir meraung dengan heboh, layaknya fangirls yang sedang berperang akan idol mana yang lebih baik. Pohon-pohon membungkuk tertiup angin, seakan bersujud pasrah pada yang maha kuasa. Jendela-jendela besar milik bandara Ngurah Rai Bali, tertimpa butiran air sebesar kerikil selama satu jam terakhir. Ganas dan tanpa ampun. Kalau saja jendela itu mahkluk hidup, dia mungkin sudah menangis kesakitan. Dan di baliknya, dua remaja hanya bisa menonton dengan lemas.
Menurut perkiraan cuaca, badai akan berhenti pada pukul dua nanti, tapi untuk lebih efektif, Om Sam menyarankan Kandar supaya menelepon ayahnya dan meminjam jet pribadi yang kemungkinan besar sedang tidak dipakai. Usul tersebut langsung ditolak oleh keponakannya yang (terlalu takut) belum siap menghadapi orang tuanya. Rora melirik Kandar dengan tidak terkesan, mendapat pelototan dari cowok manis itu yang seakan berkata 'kamu juga sama 'aja'.
Mau tidak mau mereka menelepon informan di rumah dan memutuskan untuk mencari solusinya dari situ.
Kenzo, tentu saja, tidak bahagia.
Rora tidak menyukai suara kakaknya yang terdengar kesal dan agak menuduh, seakan dia dan caramel yumyum menginginkan ini terjadi, atau sengaja membuat hidup abangnya menderita. Tapi yah, Kenzo punya alasan yang tepat untuk marah, sehingga gadis itu tidak punya pilihan selain menelan mentah-mentah protesnya sendiri.
"Denger ya, nasib gue bakal buruk kalau kalian nggak dateng! Tau kenapa? Karena Basbung bakal ngebunuh gue dan kalaupun nggak, abangnya yang nyebelin bakal mastiin kalau gue menerima penghinaan seumur hidup karena udah susah-susah ngebelain orang yang nggak kunjung dateng juga!"
Bahkan meski kedengaran konyol, ketakutan Kenzo sama sekali bukannya tak berdasar. Basbung (yang sangat bahagia saat mendengar Iskandar akan menemaninya alih-alih kakaknya yang kalah keren) terkenal menakutkan karena bisa meledak histeris secara tiba-tiba. Penyebabnya? Bisa jadi apapun, tapi kurang lebih saat gadis itu tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Saat si princess kehilangan kendali, semua orang di sekelilingnya bisa menjadi korban cakaran liar atau polusi suara. Sementara Baslung, meskipun sombong dan sama menyebalkannya, bisa mengeluarkan hinaan yang paling menusuk dan menyakitkan hati. Cowok itu tidak pernah bosan melontarkan hinaan pada orang-orang yang tidak ia sukai. Dan yang menyebalkan, tidak ada yang bisa memberinya pelajaran karena pemuda tersebut selalu bersembunyi dibalik tubuh bodyguard mereka yang besar.
Kenapa sekolah tetap mempertahankan keduanya, adalah sebuah misteri. Tapi si ratu dingin curiga hal tersebut dikarenakan dukungan dana yang mengucur deras ke SMA 1 dari orang tua Basuki bersaudara, dan memang, dua bocah itu sama-sama pintar dan membawa prestasi yang mengharumkan nama Indonesia.
"Kita bakal dateng, tenang 'aja," ujar Iskandar, mencoba menenangkan sahabatnya yang terdengar seperti orang dijatuhi hukuman mati.
Untungnya, Om Sam menyela sebelum pembicaraan bertambah parah. Rora menjelaskan kalau Kandar seharusnya melakukan Geladi Bersih sore ini, bersama dengan yang lain, tapi karena badai cowok itu jelas tidak bisa hadir, dan karena itu hidup Kenzo berada dalam bahaya.
Sang paman menertawai mereka bertiga, dan menawarkan solusi setelah sebelumnya meledek remaja-remaja tersebut. Dia bilang, Kandar dan Rora yang seharusnya murid paling pintar di sekolah, sungguh tidak pantas menyandang gelar tersebut karena tidak memikirkan hal ini, dan Kenzo yang berada di telepon, bahkan meski prestasinya rata-rata, seharusnya tidak segaptek yang terdengar.
"Apa susahnya sih, 'kan bisa video call?"
Dan begitulah, masalah selesai.
Kenzo bergerak ke sekolah, meminta kemudahan untuk temannya yang sedang terjebak badai. Sementara si bintang emas kini banjir keringat dingin karena pihak sekolah dan Basbung menyetujui hal itu, dan artinya, Iskandar, akhirnya, benar-benar akan pulang—plus dia takut dimarahi guru-guru dan dewan sekolah, sementara Rora masih bisa menunda takdir tidak menyenangkan (tapi layak mereka dapatkan) itu untuk sementara waktu.
Menonton temannya serius latihan di pojok Bandara adalah hal yang menyejukkan. Hujan yang begitu deras menelan suaranya dari gadis yang duduk dua puluh meter jauhnya, dan orang lain yang juga berada di bandara. Om Sam telah berpamitan setelah meninggalkan keduanya uang untuk makan siang, ada workshop yang tidak bisa ia tinggal.
Dia sempat memeluk Rora dan berbisik mengancam supaya tidak mempermainkan Kandar. Si cabe rawit penasaran, apakah semua orang di keluarga Syahreza adalah kloningan dari Ronggo, atau memang Iskandar yang selama ini bertingkah seperti adik dan keponakan perempuan yang harus dilindungi?
Mungkin dua-duanya.
Memikirkan bagaimana reaksi dari ayah sang debaran hati sekolah membuat Aurora bergidik. Gadis itu belum bertemu boss monster yang sesungguhnya.
"Gimana reaksi papa dan mama pas denger gue nggak apa-apa, kalau gue bakal pulang?" Rora menggeleng, mengusir pikiran itu jauh-jauh dan kembali berbincang dengan Kenzo di telepon.
Kakaknya sedang menunggu waktu geladi sambil teleponan dan minum soda di lorong sekolah yang menuju ke lapangan. "Yah.. mama lega banget dan bahkan sampai nangis. Jelas dia juga marah, tapi lo bakal dimaafin. Papa.." ujar cowok itu, terdengar lebih tenang dari beberapa hari ini. "Dia diem 'aja dari kemaren, cuma ngomong kalau perlu. Gue belum pernah liat dia begini, jadi gue sama sekali nggak tau apa itu hal yang baik atau buruk."
Si ratu dingin menghela nafas, merasa bersalah. "Dia nggak mau ngehubungin gue via lo?"
"Nggak. Mungkin dia pikir kalau dia ngomong lo bakal lari lagi. Mungkin dia takut. Lo tau dia sayang banget sama kita, sama lo." Baik suara maupun apa yang Kenzo katakan tidak terdengar kejam, tapi Rora tetap merasa tersindir, dan merasa kalau ada teguran halus di baliknya.
Untuk sesaat, punggung papa yang nampak kesepian, sendiri menatap bunga mawar di luar, dengan jubah mandinya yang sudah tua, berkelebat di pikiran Rora yang sendu. "Pas gue nggak ada kabar..?"
Abangnya mendesah lelah, dan saat itu juga Rora tahu kalau si bishounen sedang menelan gundah gulananya sendiri, berusaha tidak memarahi adiknya yang sudah keterlaluan. "Dia ngepekerjain detektif swasta buat nyari lo, ngehubungin pihak berwajib yang dia tau, ngegunain semua koneksi buat nyari ke seluruh tempat. Dia beraktifitas kayak biasa, tapi gue dan mama tau kalau dia sama sekali nggak normal," jawab Kenzo dengan tegas. "Lo seenggaknya, berhutang permintaan maaf karena bikin dia khawatir."
"Ken—"
"Permintaan maaf bukan karena lo pergi dari rumah, bedain. Lo lari karena lo mau ngebuktiin sesuatu, dan mungkin lo berhasil. Tapi dalam langkah meraih hal tersebut lo harus bikin dia khawatir setengah mati, dan itu yang harus lo minta maaf."