Memoar Rain

199 5 4
                                    


Tuk, tuk

Rintik air mengenai atap. Menimbulkan bunyi yang seolah membentuk orkrestra. Seperti alunan melodi yang selalu kau tuturkan lewat mulut mungilmu. Terutama ketika kita tengah berjalan bersama. Aku tidak merasa terganggu, tentu. Aku hanya heran mengapa setiap kali bersamaku, bibirmu selalu produktif mengeluarkan nyanyian. Padahal kan kau tau. Aku itu buta nada. Tidak bisa memainkan alat musik apapun. Selalu jadi bahan tertawaan ketika sekolahan karena ketika guru seni musik memberikan tugas untuk memainkan recorder atau pianika di depan kelas, nada yang aku hasilkan menjadi tidak jelas arahnya. Tapi kau selalu bilang, bahwa musik itu bebas. Bahkan tidak hanya terbatas pada mereka yang mendengar karena senyatanya Beethoven pun bisa menciptakan musik yang saat ini masih dinikmati dengan menempelkan telinganya pada piano. Nah jadi musik juga masih layak dinikmati olehku meskipun tingkat buta nada ku sudah tidak termaafkan. Yah kira-kira begitulah statement yang kau katakan. Dan seperti biasa. Aku hanya bisa memasang senyum maklum karena aku tidak akan pernah menang untuk berdebat denganmu, Luna.

Ah iya. Sebelum berbincang terlalu jauh. Bagaimana kabarmu? Semoga disana kamu masih sering tersenyum. Kalau tidak, maka aku yang akan bersedih. Asal kau tahu ya, senyummu itu lucu. Ya, ya. Aku tahu kalau aku berbicara seperti ini, kau akan memakiku bahwa aku hanya menggombal. Kau selalu malu-malu jika tersenyum lebar karena deretan gigimu yang tidak rapi. Dan saat itu aku hanya bisa tertawa kecil. Dasar bodoh.  Deretan gigimu yang tidak rapi itu malah menjadi daya tarik utamamu. Karena itu pula, banyak yang menyangka kau lebih muda dari usiamu yang sebenarnya. Dan bahkan banyak pula yang menyangka kalau kau itu adikku. Ya kali. Kau saja tiga tahun lebih tua dariku. Tapi sialnya kau malah seolah menikmati disebut seperti itu. Tidak jarang kau malah bergelanyut di tanganku dan memanggilku kakak. Seolah membenarkan pernyataan dari mereka. Memang kamu itu suka seenaknya.

"Sudah siap Frans?" sebuah suara membuyarkan lamunanku tentangmu. Aku menoleh. Sosok di hadapanku tengah memasang senyuman sedih yang seolah kontras dengan warna dress yang tengah dikenakannya. Dress selutut berwarna putih

"Masih hujan"aku menjawab pertanyaanya sambil tersenyum. Dia mengangguk. Kemudian duduk disebelahku. Seolah mengerti bahwa aku tengah memintanya untuk menunggu sampai hujan reda.

"Apa kau tengah memikirkannya?" Aku hanya diam. Tidak bisa menjawab. Bohong pun percuma karena dia pasti tahu semuanya. Pasti. Bagaimana tidak? Observer diam-diam yang hanya bisa mengamati dari jauh. Peran yang amat tragis, menurutku. Tapi siapa sangka karena perannya itulah, dia tahu bagaimana cara membuatku merasa nyaman. Sama seperti ketika aku bersamamu.

"Tidak usah khawatir. Aku juga masih memikirkannya. Semalam aku malah memimpikannya" lagi-lagi aku hanya bisa diam. Sebenarnya aku hendak bilang bahwa aku juga selalu memimpikanmu. Memimpikan apa saja. Dimulai dari pertama kali aku bertemu denganmu misalnya. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Hari itu hujan tengah turun dengan deras. Kau tengah berteduh di halte. Dengan jaket yang kelihatannya lebih besar dari ukuran asli tubuhmu dan mukamu yang tengah pucat. Aku yang saat itu baru tiba di halte untuk berteduh tentu saja langsung menoleh begitu melihatmu. Ya aku mengenalmu. Siapa pula yang tidak kenal dengan kamu, Luna? Gadis yang ceria, aktif, ramah dan selalu dikelilingi banyak teman. Seolah seperti matahari. Kontras dengan namamu yang berarti bulan. Kehadiranmu seperti magnet. Menarik siapa saja untuk mendekat.

Dan saat itu, aku mencoba menyapamu. Kau tersenyum dan aku sangat terkejut karena aku tidak menyangka bahwa kamu mengenalku. Tapi kemudian kamu malah tertawa mendengar perkataanku. Kau bilang, siapa yang tidak mengenal Frans? Si murid teladan yang sering mengarumkan nama sekolah karena prestasinya di bidang Biologi. Saat itu aku hanya tertawa. Aku kira perempuan sepertimu tidak akan tertarik dengan laki-laki yang hanya unggul di bidang akademis sepertiku. Dari situlah awal pertemuanku denganmu. Pertemuan sederhana yang kemudian membuatku dekat denganmu.

Pojok Cermin (Cerita mini)Where stories live. Discover now