PART 3: LEBIH DEKAT

16.5K 845 11
                                    

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸

Sebelas menit sebelum alarm kebutuhan rohaninya berdering keras, Daffa sudah terbangun karena kedinginan. Lelaki itu mengucek matanya, tidak sadar jika wajah Kamila berjarak sejengkal dari wajahnya. Kedua netra Daffa menilik wajah dihadapannya sembari mengumpulkan kesadaran. Bibir perempuan itu sedikit terbuka dan mengeluarkan dengkuran halus.

Rasanya dingin sekali, padahal tidak ada AC di kamar Kamila. Kipas angin di sudut kamar juga mati. Jendela tentu masih tertutup pagi-pagi begini. Dia mengusap wajahnya kasar, lekas duduk dan meraih ponsel. Dia mematikan alarm yang hendak berbunyi itu. Turun dari ranjang, menuju kamar kecil yang ada di kamar Kamila.

Lantai tak kalah dingin. Kamila, perempuan itu sudah biasa merasakan hawa dingin di rumahnya ketika pagi hari. Terlebih di luar sedang hujan, hawanya jadi semakin dingin. Lantai rumah yang berasal dari kayu ulin itu akan ikut terasa dingin. Rumah Kamila dekat dengan dermaga, itu mungkin juga alasan mengapa setiap pagi rumahnya seakan menggigil.

Zaman Daffa masih mengenakan seragam putih abu-abu, pria itu susah sekali bangun disepertiga malamnya, yang katanya ingin lolos seleksi perguruan tinggi negeri di Jogja malah malas berdoa pada Tuhan. Hanya mengejar ibadah wajib saja. Itu sih semua orang juga bisa, kata ibu. Lantas ibu bilang, kalau mau dilirik Tuhan harus mau jadi beda. Melangkah dijalan yang tidak biasa untuk menjadi luar biasa. Awalnya memang sukar sekali karena ya dia memang tidak terbiasa melakukan yang tidak biasa. Namun, lelaki itu diselimuti keinginan kuat, dia berusaha mengambil jalur 'yang tidak biasa' orang-orang lewati. Dalam pikiran Daffa yang ketika itu masih 17 tahun, dia akan mencolok di mata Tuhan karena 'berbeda'. Dia tidak mau lagi sekadar melakukan yang wajib, maka dia ikut mengejar sunnah-sunnah Nabi. Itu adalah bentuk pendekatannya pada Tuhan yang sekarang orang lain bisa lihat hasilnya.

Suara merdu dari lisan Daffa yang menguraikan ayat-ayat suci al-qur'an memenuhi kamar Kamila. Perempuan itu nyenyak sekali tidurnya. Usai menunaikan ibadan sunnah, tahajud empat rakaat, dia lekas mengambil ponsel dan membuka aplikasi Al-Qur'an.

"Inna haza lahuwa haqqul yaqin..."

"Fa sabbih bismi rabbikal azim.."

Tak lama setelah menyelesaikan surah Al-Waqiah, azan subuh berkumandang. Daffa biasanya mandi dulu sebelum menunaikan salat subuh, kebiasaannya yang seperti itu agak memberatkannya karena air di kamar mandi Kamila sangat dingin. Dia tetap melakukannya. Bibirnya sampai sedikit bergetar karena hawa dingin yang menusuk saat air menyentuh seluruh tubuhnya. Berikut dia kembali mengambil wudu.

Dia berdiri di depan cermin yang ada di satu sisi pintu lemari pakaian Kamila, lelaki itu sudah mengenakan sarung dan baju kaus berwarna gelap. Sembari menyisir surai pekatnya dengan sisir yang berwarna senada dengan nuansa merah muda kamar ini. Segar sekali wajahnya. Rambut Daffa yang setengah basah, sudah disisir ke belakang hingga wajahnya bersih tidak terhalang poni. Bening banget kayak ubin masjid kalau kata remaja sekarang. Dia tadi perlu mundur dua langkah karena cermin itu tidak memantulkan seluruh tubuh bagian atasnya, kanan kiri bahunya yang lebar terpotong jika selangkah lebih dekat dengan cermin.

Daffa menengok pada Kamila. Cewek itu masih tidur. Sudah azan loh. Dia berjalan mendekat dan duduk di pinggir ranjang.

"La, Kamila."

"La, bangun yuk uda azan loh." kali ini dia sedikit mengguncang salah satu bahu Kamila.

"Ngh..." mata Kamila menyipit memandang Daffa, nyawanya belum benar-benar terkumpul.

DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang