Chapter 34

3.3K 414 59
                                    

Ciuman yang diciptakan Ahseul di tengah keramaian itu sempat mengagetkan beberapa orang, membuat mereka semakin menjadi pusat atensi.

Jimin yang sama sekali tak terkejut akan hal tetap menikmati manis bibir gadisnya ini. Tak perduli dengan orang-orang yang melihat ke arah mereka. Beruntung, Ahseul memang dengan sengaja menarik hoodie-nya hingga wajahnya cukup tertutup.

Selang beberapa detik kemudian, orang-orang yang tadinya terkejut kini mulai pergi dan melanjutkan aktivitas mereka. Bagai hal biasa melihat tersebut, keberadaan Ahseul dan Jimin kembali tak menjadi pusat saat wajah Jimin benar-benar tertutup dengan Ahseul yang menciumnya. Merasa keadaan sudah mulai kembali kondusif, Ahseul mendorong dada Jimin untuk melepaskan tautan mereka.

“Kau benar-benar!” jelas Ahseul mengatupkan kedua giginya itu menunjukkan kegeraman dengan emosi yang semakin memuncak. Jimin masih menatapnya tanpa ekspresi dan berharap kesalahannya dimaafkan.

“Aku minta maaf ....”

“Kau tahu salahmu di mana? Jangan hanya mengucap maaf dan kau——“

“Aku tahu, karena aku sangat mengetahuinya makanya aku menderita seperti ini. Aku tahu jelas apa salahku, aku tahu bagaimana cara menyelesaikannya denganmu, tapi ... aku tidak bisa melakukannya ....” Jimin berlirih di akhir kalimatnya, masih tak beralih dari kedua manik Ahseul yang tetap indah bahkan saat dikuasai emosi seperti ini.

“Kau tidak bisa karena kau masih belum bisa memilih. Bibirmu mengatakan kau memilihku, tapi hatimu masih di sana, bersama mimpimu!” Ahseul masih belum melepas nada tingginya, ia masih ingin meluapkan emosinya pada Jimin yang sedari tadi tetap merendah dihadapannya.

“Aku juga tahu itu!! Makanya ... co-coba ... coba untuk mengerti diriku dulu. Melepas mimpiku tidak semudah itu, ia sama sepertimu. Aku mengenal mimpiku lebih dulu dibandingmu, sulit untuk—“

“Kalau kedudukan mimpimu sama sepertiku, kenapa kau tidak merelakanku saja, kau bisa—“

“KARENA KAU YANG LEBIH BERHARGA!!” Jimin tak pernah meninggikan suaranya setinggi ini dihadapan Ahseul, kefrustasiannya telah membawanya pada tindakan diluar kendalinya.

“Bag-bagaimana bi-bisa aku ... aku melepasmu ....” Jimin melemah, tanpa sadar menurunkan wajahnya tak sanggup menatap Ahseul yang mulai terbungkam dari segala ucapan yang hendak ia potong dengan cepat pada Jimin. Ahseul terbungkam kala mendengar dirinya seberharga itu bagi Jimin.

Tunggu! Tubuhnya bergetar, desahan napasnya semakin tak beratur dengan wajah yang tertunduk itu. Jimin menangis. “Jim ....” selangkah, Ahseul kembali mendekat seraya membawa tangannya masuk kembali ke daerah hoodie Jimin guna menyentuh wajah lelakinya itu. Ya, lelakinya kini menangis. Basahnya pipi yang dulunya gembul itu, menjadikan keyakinan bagi Ahseul bahwa Jimin menangis.

Kepala Jimin terdongak dengan sentuhan Ahseul yang mulai menaikkan derajat wajahnya, manik mereka kembali bertemu. “Aku marah bukan karena kau sibuk dengan segudang jadwalmu itu. Itu aku coba mengerti, karena aku juga bekerja dan tentu saja kau juga seperti itu. Tapi, yang membuatku marah ialah karena kau pergi di saat waktu kita berdua demi jadwalmu. Kau pergi meninggalkanku, yang kau anggap aku lebih berharga darinya.”

“Ak-aku tahu itu, maka——“ kini bukanlah sebuah ucapan yang memotong kalimat Jimin, melainkan sebuah tindakan di mana Ahseul kembali memberikan langkah mendekatnya pada Jimin. Meraup pinggang Jimin seraya menyandarkan pula salah satu sisi wajahnya di dada bidang milik Jimin. “ Jangan lakukan itu lagi, aku seperti ini karenamu ....” lirih Ahseul dengan suara yang terdengar cukup parau dalam dekapan Jimin.

Ah, sesungguhnya inilah yang Jimin rindukan. Dekapan hangat Ahseul yang terasa begitu tulus, untuk sesaat Jimin lari dari dunianya ke dunia penuh kenyamanan yang diciptakan Ahseul. Jimin membalas pelukan Ahseul yang semakin erat itu, “Aku minta maaf ....” ucapan itu seolah menjadi penutup dari pertengkaran terhebat mereka selama 7 tahun terakhir.

          

***

Entah mengapa malam itu terasa begitu hangat, salju dengan intensitas ringan itu pun tak menghambat ataupun mengurangi kehangatan yang tercipta malam ini. Setelah Jimin debut, ini pertama kali keduanya berjalan di tengah ramainya orang seraya tangan yang saling menggenggam. Menikmati pemandangan malam dengan barisan pohon di kedua sisi mereka yang semakin menambah suasana romantis. Bukan hanya mereka sepasang kekasih di sana, hampir dari setengah yang berlalu-lalang adalah sepasang kekasih, sama seperti Jimin dan Ahseul.

“Ah!” seruan tanpa sadar itu dikeluarkan oleh Ahseul yang tiba-tiba memegangi kakinya. Langkahnya terhenti kala kakinya enggan bergerak, bahkan kini Ahseul mulai kehilangan rasa pada kakinya.

“Kenapa? Kakimu sakit?” Jimin sudah berjongkok di sana, memegangi kaki Ahseul dengan hati-hati takut melukai gadisnya lagi. “Apa kita berjalan seauh itu?” Jimin memandang jalanan yang mereka susuri tadi, belum begitu jauh. “Sakit?” Jimin kembali menjatuhkan perhatiannya pada Ahseul, melirik gadisnya yang mulai merubah raut wajahnya.

“Ti-tidak ... hanya kram. Di kantor tadi cukup banyak berjalan.” Kalimat itu terucap sesaat ia berpikir dengan cepat, tak lupa mengontrol ekspresinya yang mulai takut sejak kaki kanannya itu tak merasakan apa-apa.

“Ah, kau selalu berlebihan jika bekerja.” Jimin memang terdengar mengomeli di sana, namun gurat kekhawatiran lebih tampak bagi Ahseul. Tak butuh waktu lama, Ahseul sudah berada di punggung Jimin. “Kita duduk dulu.” Jimin yang sudah menggendong Ahseul itu kemudian menepikan langkah mereka menuju ke seretan bangku yang tersedia di sana.

Sesaat mendudukkan Ahseul, Jimin tak langsung duduk di sebelah gadisnya itu. Ia memilih berjongkok dan memegangi kaki kanan milik gadisnya, “Sakit?”

Tak terasa. Ahseul sama sekali tak merasakan sentuhan apapun kala tangan Jimin menggengam betis kecilnya. Pupil Ahseul mulai mengecil, reaksi dari keterkejutan saat kakinya kini mati rasa secara tiba-tiba.

“Seul-ah, sakit? Kenapa hanya diam?”

“O-oh? Ah, iya ... sedikit sakit ....” bergetarnya suara Ahseul seharusnya sudah menjadi petunjuk besar bahwa ia sudah sangat tidak tenang dan dikuasai ketakutan saat ini. Namun, Jimin yang disibukkan dengan kaki Ahseul membuat ia tidak terlalu memusatkan perhatiannya pada wajah Ahseul.

Keringat dingin mulai sedikit mengalir di pelipisnya, mengiringi ketakutan bahwa ia tidak akan bisa berjalan lagi mulai saat ini. Nyatanya, saat ini pun ia berusaha menggerakkan kakinya sekuat tenaga yang ia bisa, tanpa Jimin sadari.

“Jimin-ah, aku lapar.” Tanpa sadar kalimat itu terucap, Ahseul terlalu takut jika Jimin mengetahui kondisinya saat ini. Pengalihan diperlukan saat Jimin terlalu fokus dengan kakinya.

“Iya 'kah?” Jimin berdiri, membawa pergerakan pelan pada lehernya menelisik wilayah sekitar. Ada sebuah truk yang menjual ddeokbokki di suatu sudut di tengah keramaian itu.

Ddeokbokki?” Jimin kini beralih menatap Ahseul meminta persetujuan gadisnya, dan anggukan pelan dengan siratan keyakinan menjadi jawaban dari Ahseul.

“Tunggu sebentar, ya.” Belum jauh langkahnya, Jimin kembali dan membuat Ahseul sedikit terkesiap kembali saat ia tadi sudah menunduk hendak menggerakkan kakinya.

“Ke-kenapa ...?” Ahseul mendongak pada Jimin dengan ketakutan yang semakin menguasainya.

“Aku tidak bawa uang tunai, dengan kartu kredit tidak mungkin ‘kan?” senyuman Jimin menjadi penghangat kalimat candanya dan hanya dibalas senyum simpul oleh Ahseul sebelum memberikan sling bag-nya pada Jimin sebelum kekasihnya itu kembali berbalik meninggalkan dirinya dengan segela ketakutan yang hendak ia lepaskan.

BEHIND THE SCENE (B.T.S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang