***
"Azkaaaaa, bangun!"
Azka tidak butuh waktu lama untuk menyadari pemilik dari suara yang mengganggu tidurnya. "Apa, sih?"
"Bangun!"
Dina menggoyang-goyangkan badan Azka. Mencubit-cubit wajah laki-laki yang masih tertidur itu.
"Kenapa?"
"Zidan mau jenguk aku."
Mendengar nama yang disebut barusan, Azka langsung terbangun dari tidurnya.
"Jenguk?"
"Iya." Dina memperlihatkan isi pesan teks dari Zidan padanya.
"Disini?"
"Ya nggaklah, di rumah Bi Nah."
"Yaudah, gih."
Dina melotot,"Gih? Naik apa? Dari sini kesana kan jauh."
"Terus?"
"Anterin aku."
Azka membenahi posisinya dan menatap Dina dengan tatapan sebal.
"Kenapa harus? Kenapa gue harus ngikutin kata lo?"
Dina terdiam sejenak,"Karena aku istri kamu."
Satu ucapan, dan ini mematikan aliran darah yang ada di tubuh Azka.
Ia terdiam sepersekian detik.
"Suami harus nurut apa kata istri," lanjutnya lagi.
Azka mendekatkan wajahnya ke Dina.
"Istri macam apa yang nyuruh suaminya nganterin dia buat ngdate sama orang lain?"
Dina kikuk. "Ya 'kan kita gak beneran ada perasaan, jadi ya gak apa-apa."
Dan, satu ucapan barusan mampu membuat emosi Azka naik pagi-pagi.
"Oke, oke, lo gue anter kesana."
"Asik."
-
Enaknya jadi Dewa, gak perlu waktu bermenit-menit untuk sampai di tempat tujuan. Tinggal cling dan, ta-da!
Udah sampe.
"Ngapain masih disini?"
Azka bersender pada tembok putih. Memperhatikan Dina yang justru sibuk merapihkan rambutnya.
"Ini modus lo doang ya sakit? Biar bisa dijenguk terus berduaan?"
Dina melotot. "Maksudnya?"
"Dijenguk aja harus banget dandan?"
Kesal, Dina akhirnya mengusir Azka. "Pergi kamu."
"Pergi? Setelah gue capek-capek nganterin lo kesini, lo bilang pergi?"
Dina melengos. Tak perduli.
"Wah, gak tau terimakasih, ya."
Dina tetap tidak perduli.
Tak lama, terdengar suara mobil di halaman rumah. Membuat Azka mau tidak mau harus segera pergi.
"Iya, gue pergi."
Sesaat setelah Azka menghilang, Zidan masuk ke dalam rumah yang pintunya tidak terkunci.
"Pintunya –"
"Iya, gak dikunci emang."
Zidan mengangguk.
"Nih, aku bawain kamu bubur."
"Wah, terimakasih." Dina menerima makanan pemberian Zidan dengan antusias.
Zidan yang sibuk menyiapkan piring beserta minumannya untuk Dina.
"Mau disuapin?"
"Bo-boleh."
Zidan dengan sabar menyuapi Dina. Meski kadang perempuan itu lebih memilih untuk tertawa dibanding menelan bubur yang ada di sendok.
Zidan menunjukkan rasa perhatiannya yang luar biasa pada Dina. Membuat perempuan itu merasa berharga dibuatnya.
Zidan juga tidak sungkan untuk membuatkan wedang jahe hangat untuk Dina.
"Kamu gak apa-apa direpotin kayak gini?"
Zidan menggeleng. "Yang penting kamu sehat."
Laki-laki itu mengelus pucuk kepala Dina.
Dina tersenyum. Keduanya saling melempar tatapan mesra.
"Aku suka kamu. Dari pertama kita ketemu."
Pernyataan Zidan yang tiba-tiba itu, membuat pipi Dina memerah. Ia tertunduk malu.
Tangan kanan Zidan menyentuh dagu Dina dan mengangkatnya. Zidan mendekatkan wajahnya ke arah Dina. Jarak mereka benar-benar dekat sekarang.
Keduanya bisa sama-sama merasakan hembusan napas dari masing-masing. Zidan memiringkan kepalanya dan perlahan semakin mendekat ke arah Dina.
Dan....
Pyar.
Tiba-tiba saja sebuah gelas pecah. Membuat keduanya terkejut. Dan, tentu saja menggagalkan sesuatu yang seharusnya sudah terjadi.
Dina berdecik,"Si brengsek pasti."
-
Azka tertawa terpingkal-pingkal setelah berhasil menjahili mereka berkali-kali.
Dina kesal. Ia ingin sekali marah.
Tapi, sayangnya, marahnya berubah jadi tangis.
Azka terdiam. "Kenapa?"
"Kenapa? Aku yang harusnya nanya kenapa? Kenapa sih sama kamu? Selalu ngejahilin aku sama Zidan. Kamu bilang tadi mau pergi waktu Zidan dateng. Terus, buktinya apa? Kamu bohong."
Azka menelan ludahnya.
"Waktu di restaurant, itu kamu juga, 'kan? Tapi kamu gak ngaku."
"Gue –"
"Pembohong."
Deg.
Satu kata, dan itu mampu menembus jantung Azka detik itu juga. Terasa pedih seketika.
"Jangan-jangan, kamu bilang aku pegantin kamu ini juga bohong? Ini semua akal bulus kamu, 'kan?"
"Gue gak bohong soal itu."
"Udahlah, Azka. Kamu tau gak, Zidan itu cowok pertama seumur hidup aku. Aku gak pernah diperlakuin sebaik itu sama cowok sebelumnya. Terus, kamu dengan seenaknya ngegagalin semuanya. Mau kamu apa, sih?"
Azka mematung. Tak bergeming. "Gue kan juga cowok. Kok gue gak masuk itungan?"
"Kamu mending pergi, deh. Aku gak butuh perlindungan kamu."
Azka kesal.
Tanpa kata dan pembelaan, Azka langsung mengiyakan ucapan Dina. "Oke. Gue anter lo kembali ke rumah Bi Nah."
Aneh. Semakin Azka mengiyakan ucapannya, justru airmatanya semakin deras.
Seakan ada sakit yang tertahan di dalam sana. Tapi, tak mampu untuk bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azkadina
FantasySegala bentuk cerita, penokohan, dan tempat adalah fiktif dan kebutuhan jalan cerita belaka. Tidak bermaksud untuk menyinggung salah satu agama/ras rertentu. •••••••••••••••• "Satu hal yang tidak boleh dilanggar dari pernikahan terlarang ini. Salah...