Dari dekat, Sera bisa melihat binar kebahagian pada wajah Gibran. Mengamati bibir Gibran yang sesekali tersenyum dengan wajah menghadap bawah, meratapi langkah mereka yang berjalan beriringan. Bukannya tidak senang, hanya saja, seorang Gibran bisa berubah seperti remaja kasmaran adalah hal aneh. Apalagi, Sera tahu benar bahwa Gibran bukanlah orang yang bisa tersenyum tanpa alasan.
Untuk beberapa saat, Sera berusaha tidak peduli dan meluruskan pandangan. Meratapi sepanjang jalan yang sepi dan hanya ditemani pijaran lampu jalan. Angin berembus tenang, menciptakan suasana nyaman tersendiri bagi Sera. Namun, malam ini belum sempurna karena bulan tidak tampak. Pekatnya langit tidak secerah malam sebelumnya. Awan terlihat mendung menutupi sang raja malam dan anak-anaknya.
Lambat laun, Sera merasa risih dengan keadaan ini. Terjebak situasi yang aneh bersama Gibran, bukanlah hal bagus. Mengingat tingkah Gibran yang tiba-tiba saja mengajaknya ke bazar dan mengamit tangannya tadi, membuat Sera bertanya-tanya, ada apa dengan Gibran?
"Gib?"
Gibran mengangkat kepalanya dan melihat Sera langsung. "Ya?"
Tuh, kan, senyum-senyum, batin Sera.
"Kok, sepedanya lo tinggal lagi?" tanya Sera.
"Emangnya kenapa?" Gibran balik bertanya.
"Ya ... gak papa."
Hening lagi-lagi menyapa saat Gibran kembali menunduk dan memperhatikan langkah. Sera jadi salah tingkah sendiri melihat kelakuan nyentrik Gibran. Anehnya, mengapa ia manggut-manggut serta diam saja saat ditarik dan dibawa entah ke mana.
"Oh ya," Sera mencekal tangan Gibran untuk berhenti. Memutar tubuh Gibran menghadapnya agar dapat menaruh perhatian. "Gue masih kepikiran sama yang kemarin," ujar Sera. Tentunya dengan nada serius.
Alis Gibran menaut sebelah. "Emangnya kemarin kenapa?"
"Muka lo. Ngeselin tau gak. Sok serius. Gue jadi ngerasa bersalah padahal gue gak salah apa-apa."
Bibir Gibran membulat penuh. "Oh, yang kemarin. Kenapa emangnya?"
Sera berdecak. Padahal sudah jelas dirinya sedang memberi kode meminta penjelasan, tapi masih saja bertanya kenapa.
"Biar gue tebak, gue salah paham sama lo?"
Gibran menimang-menimang. "Mungkin."
"Hah?"
"Soal gue bolos upacara dan nangkring di belakang sekolah sambil megang rokok, itu adalah seratus persen fakta. Tapi kalo mikir gue orang buruk dan punya topeng yang kebagusan, persepsi lu terlalu jauh. Karena nyatanya, lo baru tahu gue sekedar nama. Kita kenalan aja lewat perantara Dafa, gimana lo bisa nyimpulin kalo gue orang gak bener padahal belum liat ke dalamnya? Gue tau, ini bukan first impression lo, mengingat lo pernah suka sama gue. Jadi, lo hanya belum kenal gue terlalu jauh."
Dari sekian banyak kata yang Gibran jelaskan, kepala Sera hanya menangkap satu makna; yaitu dirinya pernah menyukai Gibran.
Duh, emangnya gue yang nentuin mau suka sama siapa? Lagian, itu bukan suka, tapi jatuh cinta.
Sera mendengkus dongkol. Melihat Gibran melebarkan cengirannya, menerangkan cahaya lampu jalan yang seakan menyorot wajahnya dengan cerah, ia malah merasa dipojokan lantaran ketangkep basah pernah menyukai cowok di depannya ini. "PD banget sih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TLS [1] : Somehow
Teen FictionJangan pernah berpaling, karena siapa tahu takdir hanya berjarak 3 centi. Atau bisa jadi, mereka yang dihindari adalah orang-orang yang memberi warna berbeda dan kesan mendalam. Bagi Sera, 3 Serangkai hanyalah 3 laki-laki yang jauh dari kata "teman"...