"Kamu ingat kalau nanti malam di rumah ada acara makan malam?" Tanya Fattah setengah berbisik khawatir mendapat teguran dari guru di depan yang tengah menjelaskan.Tak terasa satu minggu telah berlalu dengan begitu cepatnya. Hari ini Alin tidak masuk sekolah karena sedang ada acara keluarga, itulah mengapa Fattah dan Fazila hari ini bisa duduk bersama.
Fazila menganggukkan kepalanya malas, bukan malas karena Fattah mengajaknya bicara, tapi dia malas mendengar penjelasan guru itu. Fazila bertanya-tanya dalam hati apakah guru kimia itu tidak merasa lelah sepanjang hari berbicara terus menerus? Apakah guru kimia itu tidak merasa kasihan pada murid-muridnya? Apakah guru kimia itu tidak tahu bagaimana rasanya melihat unsur-unsur kimia yang berpadu dengan nomor atom di saat-saat jam sekolah terakhir?
Akhirnya cukup lama menggerutu dalam hati, bel pulang pun berkumandang. Fazila bersiap-siap dan segera meluncur ke parkiran bersama Fattah. Jam telah menunjukkan pukul tiga sore, entah mengapa matahari tidak bersahabat sore ini. Sore rasanya seperti siang, panas sekali.
Motor Fattah berhenti sempurna di halaman rumahnya yang luas, untungnya jalanan ibukota sedang tidak macet jadi mereka berdua tidak terlalu lama terpapar teriknya matahari sore.
"Rumah sepi, mama kamu dimana?" Tanya Fazila ketika sudah meletakkan tas sekolahnya yang hanya berisikan dua buku tulis dan satu buku paket di sofa.
Fattah mengedikan bahu, "Mungkin di dapur, coba aja cari sana."
Fattah menapaki kakinya menuju lantai dua, di mana kamarnya berada, sedangkan Fazila melangkah gontai menuju dapur berharap menemukan Lidya di sana. Dan benar saja, Lidya ada di dapur tengah mengeluarkan semua bahan-bahan masakan dari kulkas. Fazila menghampirinya.
"Eh Fazila, kapan sampai?" Tanya Lidya yang sadar kalau Fazila ada dibelakangnya.
"Baru aja, tante." Jawab Fazila seadanya sambil melihat-lihat kantong plastik yang berisi banyak sayuran.
Tangan Lidya dengan telaten mulai memotong-motong bawang beserta sayurannya, Fazila juga ikut membantunya.
"Papanya Fattah sangat menyukai telur balado, setiap makan harus ada telur balado di meja." Lidya angkat suara.
"Kalau Fattah, tante?"
"Sama, dia juga suka telur balado tapi dia lebih suka tongseng ayam yang kuahnya kental. Jadi kita harus masak dua menu utama itu."
"Kalau boleh, Fazila aja yang masak tongseng dan telur balado itu, tante?" Tanya Fazila berharap Lidya mengizinkannya.
"Tentu boleh dong sayang tanpa kamu tanya, biar tante buat dessert sama ikan bakarnya." Ujar Lidya sambil membersihkan ikan yang ada di tempat cuci piring.
Fazila mulai mengambil alih tugas Lidya untuk membuat makanan kesukaan Fattah dan papanya, sedangkan Lidya mulai membersihkan dan membumbui ikan yang akan dibakarnya nanti.
"Memang papanya Fattah sudah pulang, tante?"
"Sudah, tadi beliau tiba jam sepuluh pagi lalu istirahat sejenak dan tadi jam tiga sore beliau pergi ke kantor untuk meeting. Tapi tante minta dia pulang cepat untuk makan malam bersama karena ada kamu." Fazila tersipu malu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Lidya.
"Fattah mirip banget sama papanya ya, tante?"
"Banget, bahkan kesukaan dan tingkah laku mereka juga mirip." Fazila mendesah lirih mendengar jawaban yang Lidya lontarkan.
Fazila ingat betul dengan omongan Anastasya yang mengatakan kalau dia dan ayahnya sangat mirip sekali; mulai dari wajah, makanan kesukaan dan tingkah laku. Tiba-tiba saja hari ini dia merindukan ayahnya. Ralat, bukan cuma hari ini bahkan setiap hari Fazila selalu merindukan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN ITS RAINS
Teen FictionFazila Almeta, sang bad girl SMAN 35 Jakarta. Dia mempunyai tubuh ideal dan wajah yang cantik, dia wanita pujaan setiap kaum adam. Mendadak dia dipertemukan dengan seorang lelaki rajin dan alim yang amat pendiam dan juga cuek. Dalam sehari lelaki cu...