"Ayo dek," Gaga membukakan pintu mobilnya sambil nengulurkan tangannya ke hadapanku. Aku menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyambut uluran tangannya ragu-ragu.
"Kita ke sini menemui siapa kak?" tanyaku ketika Gaga menutup pintu mobilnya. Setelah memastikan bahwa mobilnya telah terkunci, Gaga memegang kedua bahuku sambil menatapku dengan senyum sumringah, "kakak mau memperkenalkan kamu sama seseorang," jawabnya. Seperti mengetahui kegelisahanku, Gaga melanjutkan perkataannya, "tenang aja dek, kamu nggak bakalan kenapa-kenapa kok."
Aku mengangguk tanda mengerti. Gaga lalu tersenyum sambil mengelus-elus rambutku. Aku lalu menepis tangan Gaga sambil menatapnya dengan seringaian. Kenapa dia begitu suka mengelus-elus rambutku. Dia cuma tersenyum.
"Yuk dek," ujarnya sambil meraih tanganku. Aku menatap ke arah kos Reza yang tepat berada di depanku saat ini. Aku menggigit bibir, harap-harap cemas bahwa Gaga tidak akan mempertemukanku dengan Reza, mantan pacar yang telah mencampakkanku. Gaga akan memperkenalkanku dengan seseorang yang tidak aku kenal sebelumnya, bukan Reza yang aku kenal. Aku menoleh ke arah pos satpam tempat mas Agus bermarkas. Semoga dia sudah lupa denganku.
Gaga tiba-tiba berhenti, membuatku membentur punggungnya. Sekelebat ingatanku tentang Reza menari-nari di fikiranku. Mengingatkanku dengan punggung Reza yang selalu menjadi sandaran kepalaku ketika ada di atas motornya. Aku terkesiap ketika Gaga menanyai keadaanku dengan cemas. Aku menggeleng mengatakan bahwa aku tidak apa-apa, sambil berusaha mengenyahkan memori-memori indah sekaligus menyakitkan itu dari fikiran.
Pria Fakultas Ekonomi yang akan berusia kepala dua itu berdehem sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar yang persis berada di samping tangga menuju lantai dua, tempat kamar Reza berada.
Gaga kembali mengetuk-ngetuk pintu kamar lebih keras dari yang sebelumnya hingga si empunya kamar menyahut dari dalam, sambil menghidupkan lampu kamar. "Siapa?" sahutnya. Ia terdengar krasak krusuk mencari sesuatu sebelum terdengar suara kunci kamar yang tengah dibuka.
"Ini gue kak," jawab Gaga. Gaga melirikku sekilas lalu kembali menatap ke dalam kamar yang pintunya telah dibuka oleh seseorang yang Gaga panggil dengan sebutan kakak itu. Aku tersontak kaget melihat seorang pria dengan tubuh basah yang hanya berlilitkan sehelai handuk di pinggangnya keluar dari balik pintu. Aku langsung mengalihkan pandanganku dari tubuh sempurna pria tampan yang ada di depan Gaga.
"Nando?!" ujar pria tersebut sambil memeluk erat Gaga, "tumben lo ke sini," ujar pria itu setelah melepaskan pelukannya. Dia menepuk-nepuk bahu Gaga yang dia panggil Nando seperti kawan lama yang telah lama tidak berjumpa.
"Emang gue nggak boleh ke kosan kakak gue sendiri heh?" tanya Gaga yang membuat pria yang Gaga panggil kakak itu tertawa, "sebaiknya lo pake baju deh kak, adik gue risih lihat lo nih," lanjut Gaga sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke arah pria sang empunya kamar. Pria itu menatap tubuhnya yang hanya memakai sehelai handuk lalu mengalihkan pandangannya kepadaku yang risih dengan tubuh menggodanya. Pria gay mana yang tidak tergoda melihat tubuh yang terbentuk dengan rambut lebat yang menjalar dari pusar hingga tenggelam di balik handuk bewarna coklat tua.
"Oh ini adek lo itu?" pria itu menggosok-gosok dagunya menatapku menelisik, "manis juga," gumamnya. Dia menepuk keningnya seperti tersadar dengan apa yang telah dia katakan. "Astaga, maaf ya dek, silahkan masuk," ujarnya mempersilahkanku untuk masuk. Dia berbalik lalu bergegas masuk ke dalam kamar.
Aku menatap Gaga meminta penjelasan lebih lanjut sebelum suara pria yang mungkin tengah berpakaian itu terdengar dari dalam, "Ndo, lo ajak adek lo itu untuk masuk, jangan dibiarin diluar aja," ujarnya sambil menekankan kata adek kepada Gaga. Gaga menatapku memohon sambil mempersilahkanku untuk masuk.
"Masuk yuk, udah di suruh tuh," ujar Gaga. Aku menghela nafas sambil mengangguk menyetujui permintaan Gaga. Aku melepaskan sepatu lalu masuk ke dalam kamar sesopan mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER YOU GO [boyxboy]
Teen FictionIni kisah aku ketika tengah sayang-sayangnya dengan sang pujaan hati harus menerima kenyataan bahwa dia malah berselingkuh dengan pria lain. Sakit, patah hati, kecewa, itu pasti. Waktu terus berlalu dan aku tetap terus berupaya melupakan sang puja...