Bagian terberat dari berpisah bukanlah rindu, melainkan harapan agar dapat kembali bertemu. Aku tersiksa oleh rindu, tapi aku lebih takut apabila tidak bertemu Kak Fajar selama-lamanya.
Tidak ada komunikasi di antara kami. Aku tidak punya sosial media, aku juga tidak sempat bertukar kontak dengannya. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah berharap. Berharap dapat kembali berjumpa di kemudian hari.
Bulan pertama terasa sangat berat. Di mana pun aku berada, pikiranku hanya tertuju padanya. Secercah memori datang silih berganti. Senyum manisnya selalu menghantui. Alam pun seolah mendukung, rinai hujan membuatku semakin teringat pada kenangan-kenangan bersamanya.
Bulan-bulan berikutnya sedikit lebih baik. Ujian semester berhasil membuat pikiranku terfokus pada tumpukan buku. Aku belajar sebagaimana mestinya, menghafal dan memahami setiap materi yang ada. Beruntung semua berjalan dengan lancar, sehingga aku dapat naik kelas dengan nilai yang tidak mengkhawatirkan.
"Ma, Rara mau daftar jadi anggota OSIS, boleh?" Aku meminta izin pada Mama beberapa minggu setelah semester baru berlangsung.
"Mama nggak melarang kamu mau berbuat apa aja, asalkan itu tidak merugikan orang lain dan juga diri kamu sendiri."
Aku tersenyum tulus. Mama selalu saja memberikan kebebasan untukku. Awalnya aku malas mengikuti organisasi seperti ini, namun Kak Fajar pernah berkata, "Jadi anggota OSIS bukan untuk mencari ketenaran, tapi untuk belajar. Belajar bersosialisasi, berlajar bertanggung jawab, dan belajar untuk saling menghormati."
Keesokan harinya, aku mendaftarkan diri menjadi anggota OSIS. Semua persyaratan aku penuhi, hanya tinggal menunggu waktu seleksi dan pengumuman anggota terpilih. Tak butuh waktu lama, aku lolos dan resmi menjadi anggota OSIS.
Mungkin aku terpisah berkilo-kilo meter darinya, namun aku yakin, Kak Fajar pasti sangat mendukung keputusanku ini. Tidak, aku melakukan ini bukan semata-mata demi Kak Fajar. Aku berubah hanya karena ingin menjadi lebih bermanfaat bagi orang-orang sekitar.
Di kelas sebelas ini, aku masih tetap memanfaatkan bus sebagai alat transportasi. Papa pernah menawariku motor, tapi dengan cepat aku menolaknya. Teman-teman bilang, setiap belajar bermotor pasti akan mengalami yang namanya terjatuh. Tentu saja itu menjadi alasan utamaku untuk menolak. Sejak dulu, aku sangat membenci darah.
Pulang sekolah, aku segera berjalan menuju halte. Tidak terlalu jauh jaraknya, namun tetap saja menguras tenaga. Ada satu hal yang membedakan hari ini dengan hari-hari sebelumnya. Langit terlihat cerah. Tak ada gumpalan awan hitam yang menjadi tanda-tanda kedatangan hujan.
Satu hal yang akan tetap sama; aku sendirian. Akan tetap seperti ini. Selamanya.
***
Tahun 2019 terasa panas. Suhu meningkat dengan pesat. Pendingin ruangan seakan tidak berfungsi. Aku mendesah, orang-orang pintar itu benar, kemarau panjang akan dimulai pada awal tahun ini. Ah, aku kurang beruntung karena tinggal di ibu kota. Menurut data, Jakarta menempatkan posisi pertama sebagai kota terpanas di Indonesia.
Pikiranku mendadak terarah pada Bandung. Bagaimana dengan Kota Kembang? Apakah sama panasnya dengan di sini? Sepertinya tidak, Bandung tergolong kota yang dingin--dulu. Aku tersenyum getir. Kak Fajar ada di kota Bandung. Dia sudah tamat SMA dan aku yakin dia pasti segera melanjutkan pendidikan ke universitas.
"Percaya sih nggak, tapi masa bodo jangan. Gimana kalo beneran terjadi?" Satu tahun yang lalu Kak Fajar pernah mengatakan itu. Ya, sebelum keesokan harinya, sifat pemuda itu berubah 180 derajat.
Aku mengembuskan napas, kembali fokus ke layar televisi. Acara yang kutonton telah usai, digantikan dengan acara berita. Presenter bersurai sebahu itu mulai membuka acara, lantas memberi alih kepada rekannya di luar studio.
Reporter dengan seragam hitam tampak berkeringat. Matanya memicing, berusaha melindungi matanya dari terik sinar matahari. Lokasinya saat ini adalah Bandung. Kebetulan sekali, pikirku.
Reporter muda itu mulai melangkah. Jika aku tidak keliru, tampaknya dia tengah mencari warga untuk dimintai pendapat. Dia berhenti di dekat perkiran--entah parkiran apa itu. Kemudian menghampiri seorang laki-laki yang baru saja memakai helm di kepalanya. Laki-laki berkaos merah itu menoleh, dia bersedia untuk diwawancarai.
"Boleh saya tahu namanya?" tanya sang reporter.
Merasa tidak sopan, pemuda itu kembali melepaskan helm-nya. "Muhammad Fajar."
Aku terbelalak. Waktu seakan berhenti bergerak. Sudut bibirku tertarik tanpa dikomandan. Aku tersenyum. Tanpa aku sadari, pandanganku mengabur dikarenakan gumpalan air yang mengahalanginya. Muhammad Fajar, orang yang sama dengan pria yang kurindukan. Dia tidak berubah, hanya terlihat lebih dewasa. Ah, senyumannya, Tuhan.
"Di sini memang panas, tapi saya tetap bersyukur. Saya justru merasa khawatir dengan warga Jakarta. Menurut data, ibu kota berada di posisi satu sebagai kota terpanas. Saya benar-benar menyayangkan hal itu." Bicaranya terdengar gopoh, namun aku dapat menangkap nada kecemasan di dalamnya.
"Bukan apa-apa, saya pernah tinggal di sana. Teman-teman, sahabat, guru, dan orang yang saya rindukan. Mereka pasti menderita dengan suhu sepanas itu." Dia tersenyum simpul.
Astaga, bisa-bisanya Kak Fajar menghawatirkan kami. Teman-teman, sahabat, guru, semua itu hanya bagian dari masa lalunya. Mengapa dia tidak khawatir dengan keadaannya sendiri? Juga orang yang dia rindukan. Eh siapa orang yang dia rindukan?
Baru saja aku hendak meraih remot untuk menambah volume suara, siaran telah dikembalikan menuju studio.
Aku mendengus kecewa. Cepat sekali? Tidakkah reporter itu bertanya tentang orang yang Kak Fajar rindukan? Atau bagaimana kabar Kak Fajar beserta keluarganya? Apakah sehat? Dia kuliah di universitas mana?
Aku menggeleng, itu hanya pemikiran bodoh. Menyeka ujung mata, lantas aku tersenyum.
Tidak perlu bertemu, cukup dengan mendengar suaranya pun rindu ini mulai berkurang. []
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Membuatku Rindu
Short Story[ARME COMPETITION] Sebuah tragedi di masa lalu menjadikan hujan sebagai hal yang paling Rara benci. Kehadiran hujan di sore itu menciptakan penyesalan yang teramat dalam baginya. Hujan menyebalkan, Rara sungguh membenci hujan. Hingga satu tahun kemu...