Warisan

9 1 0
                                    

Terpaku diriku dalam kebingungan dan keresahan tetapi tidak sepenuhnya bahagia pula, di depan teras rumah, sendirian hanya ditemani kunang-kunang kecil berkerumun disekitarku, menatap langit hitam yang seharusnya biru, tetapi sayang tertutupi oleh pikiran dan niat jahat orang lain. Iya, tak sebagian sedih ataupun senang diriku telah bertambah usianya satu tahun. Bagian senangnya mungkin karena saja hari ulangtahunku bertepatan dengan hari kemerdekaan bangsa ku ini, serasa hari ulang tahun kali ini dirayakan oleh masyarakat dari seluruh pelosok tanah airku ini. Bagian sedihnya mungkin saja datang dari keprihatinan diriku atas bangsaku sendiri, umurnya yang sudah berkepala tujuh masih saja sulit, masih saja bimbang, masih saja belum dapat mengatasi penyakit jiwa para pemijak negeri ini. Penyakitnya sudah pernah Aku rasakan sendiri, tepat didepan mataku, dan detik itupun pula penyakit tersebut mulai merasuki tubuhku. Penyakitnya dapat kubilang sepele, bukan suatu hal yang serius, tidak mematikan dan tidak pula memberi harapan kehidupan. Tapi sayangnya, penyakit itu mendarah daging, merasuki hati dan otakku untuk seolah-olah meninggalkan seluruh moral dan nilai baik yang telah ditanam oleh orang tuaku sejak diriku masih muda. Hatiku tiba-tiba berubah, berubah begitu saja setelah mendengar godaan dari penyakit tersebut. Pemicunya hanyalah sebuah hal yang bukan milik diriku, tapi nampaknya akan membahagiakan diriku jika kuambil untuk diriku sendiri. Nampaknya pula diriku-pun akan bersedih jika melewati kesempatan tersebut, sayang sekali jika kesempatan ini tidak datang dua kali. Ya, penyakit yang kumaksud adalah korupsi. Dapat kutebak diri kalian semua tidak terkejut-kejut, kejang-kejang ataupun berbahagia mendengar kata tersebut. Okelah, dapat kuterima dengan baik, tentunya hal tersebut sudah biasa kudengar, sudah biasa kita saksikan sendiri, tak perlu kujelaskan panjang lebar lagi karena Ibuku baru saja memanggilku untuk makan malam bersama.

Langsung saja dengan langkahku yang pelan, berjalan sedikit demi sedikit, mendekati ruang makan. Tak terpikirkan apa yang telah disiapkan oleh Ibu ku untuk dijadikan santapan kita malam ini. Iya, Aku hanyalah tinggal bersama Ibuku di gubuk yang kecil ini. Gubuk yang telah dititipkan oleh Ayahku dahulu, 15 tahun yang lalu, sejak beliau memutuskan untuk menelantarkan diriku dan Ibuku. Aku senang Ayahku telah melakukan hal yang amat buruk untuk kita berdua, biarkanlah saja dia bersenang-senang sendiri, mungkin dia kira diriku dan Ibuku tidak senang menghadapi kehidupan seperti ini. Padahal itu salah, Aku masih senang berada dijalan yang benar, walaupun pahit, tidak enak, tidak memuaskan hati, hanya meninggalkan dendam dan luka hati. Makanan tidak terasa sudah dimulutku saja, rasa asin dan hambarnya kombinasi nasi putih dengan garam merupakan kebahagiaan untuk diriku sendiri. Mengajarkan suatu pengorbanan begitu luar biasanya dari Ibuku yang selalu setia memberiku makan. Hampir setiap malam hanya itulah yang Aku makan. Tapi, aku cukup merasa kenyang, cukup saja ditambah dengan memonton televisi. Iya, pelengkapnya hanya televisi itulah, setiap malam kumelihat berita-berita tentang korupsi, itupun sudah membuatku kenyang, diperut dan tidak lupa dihatiku. Enak sekali bukan? Selama diriku menonton televisi, Aku pastinya merasa selalu kenyang. Aku hanya khawatir jika diriku terlalu kenyang, semua yang telah kutelan akan dimuntahkan menjadi butir bibit penyakit disekitarku.

Ibuku menyuruhku untuk membersihkan piring makanku setelah setiap diriku selesai makan, sekaligus mendengarkan dirinya mendongengkan kisah yang terus akan terulang itu. Ibuku setiap malam pasti saja tidak dengan rasa bosan dan tetap penuhnya dengan semangat untuk mengingatkan diriku akan kejadian tersebut. Jujur memang diriku bosan untuk setiap malam mendengar cerita itu, tapi apa boleh buat, semua hal ini dilakukan oleh Ibuku agar diriku tidak terjerumus kembali kedalam lubang yang sama. Ya, cerita yang kumaksud adalah cerita awal dari semua ini, semua ini yang diawali oleh Ayahku, mengapa dirinnya bisa terjerat kasus tersebut, mengapa dirinya mencoba untuk mengajak Aku untuk berpijak di jalan yang sesat tersebut. Walaupun, memang diriku saat itu masih bocah, masih terlalu naif, dan dengan mudahnya diriku untuk menerima segala bisikan yang menggoda itu. Semua itu diawali oleh kesempatan, semuanya itu diawali oleh niat, semua itu diawali oleh tindakan. Terkadang setiap kali Aku mengingatnya, air mata ini pun ikut menyaksikan perasaan hatiku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 27, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

WarisanWhere stories live. Discover now