Aku sudah terbiasa menerima sikap orang-orang saat pertama berkenalan, mereka mencuri pandang kearah leherku yang tergantung liontin salib. Kemudian berkata pelan "Ai...syah?".
Memang aneh, untukku juga. Terlahir sebagai keturunan China penganut ajaran Kristen yang ta'at, tapi Ayah memilihkan nama itu untukku.
Entah mungkin saat itu sudah ada setitik cahaya Islam yang masuk kedalam nurani Ayah. Dia adalah seorang ahli sejarah, bertumpuk buku menjadi teman sehari-harinya.Beberapa waktu lalu Ayah berterus terang kepadaku dan juga Ibu.
"Ayah ingin masuk Islam. Tak apa jika kalian belum siap, tapi mohon jangan halangi niat Ayah," ucapnya penuh harap.
Aku dan Ibu hanya mengangguk. Bukankah memilih keyakinan adalah hak setiap orang?Suatu sore yang hangat. Aku, ayah dan ibu berkumpul di beranda bersama menanti senja. Ayah berkata "Asiyah, besok kita akan bertamu ke rumah Fajar. Gunakan baju yang sopan dan pakailah penutup kepala, begitu juga Ibu".
Rumah Mas Fajar memang lumayan jauh, perlu satu jam lebih untuk sampai kesana. Tak lain Ayah berniat bersyahadat dan mengislamkan diri dalam bimbingan Mas Fajar.Sepanjang jalan ia terus menghafalkan kalimat itu. Pelan aku dan Ibu mengikuti setiap kata yang Ayah ucapkan, rasanya sangat asing namun juga akrab dan menentramkan hati.
Andai saja sopir truk itu tak mengantuk saat berkendara, aku menjerit kemudian gelap.
"Syah, bukan seperti itu caranya" ucap Fatimah sambil membantuku mengenakan jilbab.
"Apakah aku terlihat aneh?"
Sebenarnya aku sudah berjilbab sejak satu tahun lalu, namun tentu saja hanya ketika tak ada Ibu. Dan jangan kira yang kugunakan adalah jilbab lebar macam milik Fatimah, hanya kain panjang yang menutupi kepala dan dililitkan ke leher menghalangi kalungku dari pandangan orang.
"Aneh? Aisyah, kau cantik sekali!" Fatimah memelukku.
"Fatimah, terimakasih". Aku terharu mengingat begitu gigih usahanya membantu belajar tentang Islam.
"Aisyah. Sampai kapan kau akan membohongi ibumu?" Pertanyaan Fatimah membuatku terdiam. Sampai kapan? Aku juga tak tahu.
"Apakah Ibu akan menerima keputusan ini begitu saja? Aku ragu Fatimah. Mengingat kondisinya saat ini. Dia masih sering datang ke gereja dan berlama-lama disana".
Setelah kepergian Ayah akibat kecelakaan mobil dua tahun silam, Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di gereja bersama para biarawati.
Kondisinya tak kunjung membaik, kadang ia menangis dan berteriak tak jelas. Trauma.Fatimah tersenyum melihat kegelisahanku.
"Seperti katamu, Aisyah. Setiap orang berhak memilih keyakinannya. Jangan biarkan imanmu goyah".Hari ini aku mengantar Ibu ke gereja untuk berdoa, hanya sampai pintu gerbang lalu Ibu melambaikan tangan menyuruh menunggu entah pergi.
"Ibu, Aisyah mau menemui seorang teman didekat sini. Nanti kembali lagi setelah Ibu selesai berdoa." Aku pamit.Kumandang adzan begitu menggetarkan hati, runtuh sudah segala keangkuhan diri. Ya Rabb! Bantu aku agar tetap dijalanMu.
Fatimah sudah melepas jilbabnya di area wudhu khusus perempuan. Dia mulai membasuh beberapa area secara berurutan."Bagaimana caranya, Fatimah? Ajarkan aku juga" pintaku lirih.
Kemudian Fatimah menuntun gerakan tanganku.
"Basuh wajahmu seperti ini Aisyah" dia memberi perintah pelan-pelan.
Perlahan air wudhu menyentuh kulit yang gersang hidayah. Masya Allaah! Kesejukan tak terkira menjalari setiap inci tubuh.
Tak terasa air mataku berlinang, Ya Allaah. Begitu indah kasih sayangmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AISYAH HIJRAH
Short StoryKisah seorang penjemput cinta, yang ketika dia meraih cintaNya, maka cintanya datang tanpa dicari. Namaku Aisyah, dan menurutku agama bukanlah warisan abadi.