“SINTA,” panggilan Ravi membuyarkan lamunan Sinta.
“Hah?” Sinta langsung menoleh ke Ravi dengan sedikit bingung.
Ravi tersenyum. “Kakak udah selesai bayar.”
“Oh? Udah selesai?” Sinta tersenyum sedikit canggung. Sinta baru sadar kalau dirinya dan Ravi baru saja selesai memilih kado yang cocok untuk ulang tahun Omanya Ravi. Sinta mengusap-usap wajahnya. Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia masih memikirkan Alfa bahkan saat bersama Ravi? Bagaimana perasaan Ravi nanti?
Ravi meraih tangan Sinta yang menutupi wajahnya dan menggenggamnya. Sinta sedikit terkejut dengan tindakan Ravi, sedangkan Ravi hanya tersenyum dan berjalan membawa Sinta ke sebuah kafe. Mereka berdua duduk dan memesan minuman.
Ravi menarik napas dalam-dalam lalu memegang tangan Sinta. “Kakak nggak akan ganggu urusan Sinta sama Alfa. Sinta berhak menyelesaikan masalah Sinta sendiri. Kakak yakin Sinta akan baik-baik aja. Dan Kakak akan selalu baik-baik aja. Nggak usah merasa bersalah.”
Ravi menatap Sinta teduh. Ucapan Ravi benar-benar menenangkan hati Sinta. Ravi mengusap-usap kepala Sinta lembut. “Kakak bakal tetep di sini. Kakak nggak akan ke mana-mana.”
Sinta tersenyum sambil memejamkan matanya. “Makasih, Kak, udah ngertiin Sinta.”
Jari telunjuk Ravi menyentuh hidung Sinta. “Gitu dong, senyum.”
Ravi tersenyum.
Lo nggak tau kan, Sin, seberapa penginnya gue nonjok Alfa karena udah bikin lo nangis?
***
Alfa pulang lebih cepat dari biasanya karena ia merasa kepalanya sedikit pusing. Pusing memikirkan masalah yang sama. Ia bahkan bingung bagaimana cara agar bisa berhenti memikirkan Sinta. Ia masuk ke dalam rumahnya dan menuju dapur untuk sekadar mengambil minum di dispenser. Ia meneguk air hangat itu sambil berdiri di depan pantry.
“Al, kalo minum duduk,” ucap Wangsa sambil melihat anak sematawayangnya yang tengah bersandar pada pantry.
Alfa menoleh ke Papanya yang duduk di kursi dekat dispenser. “Tanggung, Pa,” Alfa menghabiskan semua air di gelasnya.
“Tumben pulang jam segini?”
“Pengin aja.”
“Jadi, Al udah nembak Sinta?” tanya Wangsa jahil bermaksud menggoda anaknya. Namun respon Alfa tidak seperti biasanya kali ini ia hanya menghela napas.
“Pa, udah lama kan kita nggak main basket?”
***
Ravi membukakan pintu mobil untuk Sinta. Sinta keluar dari mobil dan berdiri di samping Ravi. Ravi melirik ke rumah Sinta yang tampak sepi. Hari telah malam, sekitar jam 8 namun rumah Sinta terlihat seperti tidak berpenghuni.
“Sinta sendirian di rumah?”
Sinta melihat rumahnya sendiri lalu kembali melihat Ravi sambil menggelengkan kepala. “Ada Mama sama Papa kok di rumah. Bang Sandy juga biasanya jam segini kalo nggak main PS ya ngapel ke rumah Kak Bella.”
Ravi manggut-manggut. “Sinta ati-ati ya masuk ke dalam rumahnya.”
Sinta tertawa. “Kak Ravi dong yang ati-ati pulangnya.”
Ravi mengusap-usap puncak kepala Sinta. “Masuk, gih.”
“Kak Ravi juga,” Sinta tersenyum. Baru saja ingin melangkah masuk melalui gerbang, namun Ravi memegang tangan Sinta hingga membuat Sinta kembali ke posisi semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
MLS (2) - Fibonacci Love
Teen FictionMath Love Series (MLS) 2 - Sinta Feranda sudah berteman sejak kecil dengan Alfarid Fernandaka. Mereka satu SD, SMP, bahkan satu SMA. SMA Airlangga. Alfarid atau lebih akrab disapa Alfa sekarang berprofesi sebagai artis saat memainkan satu sinetron y...