Yang belum ngaji nggak boleh baca🙊🙊
👆🏻👆🏻 judulnya The Flood, yang nyanyi Joshua Hyslop
***
Sejak menikahi Nadhira, aku selalu menunggu hari ini. Alurnya tersusun rapi, di dalam kepalaku yang tak bisa berhenti membayangkan hari-hari saat aku mendapat kebebasanku lagi. Aku sudah melakukan yang Mama minta: menikah. Kami hidup bersama, lalu mencoba menjalani kehidupan sebagai suami-isteri, tapi ternyata pernikahan tidak semudah yang kami bayangkan hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah baik-baik. Kupikir, skenario itu bisa mengurangi kekecewaan Mama atas perceraianku nanti. Dan saat itulah ... hidupku kembali.
Harusnya begitu.
Namun, bukan itu yang terjadi.
Sialannya, aku tidak tahu apa yang kulakukan sekarang di Loewy, ditemani dua botol kosong bir dingin dan sebotol lagi yang masih kunikmati. Aku tidak pernah setuju konsep alcohol can help sewaktu keadaan memberi terlalu banyak tekanan. Tapi nyatanya, tidak ada hal lain yang terlintas untuk meredam keanehan yang menyembul keluar—perlahan-lahan, melahap pikiranku yang tak jelas ke mana arahnya. Ada jarak yang terus melebar antara aku dan diriku sendiri. Cukup lebar untuk memunculkan satu pertanyaan: apa ini yang kuinginkan?
Pahit dan asam dengan aroma khas berkat hops yang terkandung dalam bir baru saja melewati tenggorokan. Hawa panas kembali menjalar, membuat dadaku seperti terbakar. Aku makin haus lalu menenggak lebih banyak lagi, berharap sanggup meredam suara-suara yang makin lantang: apa yang sebenarnya kuinginkan?
Sampai botol ketiga habis, keanehan muncul lagi. Kali ini, jawaban datang tanpa proses berpikir sama sekali: aku tidak tahu.
Dan saat itulah, sekelebat bayangan seorang gadis kecil dengan senyum tersembunyi di balik lili putih hadir. Bibir merah alaminya bergerak ingin menyampaikan sesuatu. Tapi belum sempat otakku menerjemahkan, suara telepon meniup bayangannya yang setipis serabut kapas. Kenyataan menyeretku pulang, bersama sebaris nama di layar: siluman ular.
***
"Maaf...," aku mengulang lagi. Entah sudah berapa kali aku mengulangnya hari ini. Tapi aku tahu, sebanyak apa pun kusampaikan, mungkin sampai ludahku kering, tidak akan cukup.
Terdengar desah napas kasar di seberang. Cuma begini saja, aku bisa membayangkan ekspresinya: mata coklat lembut yang sayu, bibir yang memaksakan senyum, serta dada yang naik turun.
"Berhenti minta maaf. You have nothing to do with me."
"I was ... lying to you."
"You were lying to her!" Bimala menyentak.
Ada jeda sejenak, sebelum dengan pengecutnya aku menjawab, "Dia yang suruh."
Bimala menarik napas panjang, sekali lagi. Bertahun-tahun mengenalnya, aku tahu pasti dia sedang menahan kesal. Dan aku benci, akulah yang jadi alasan. Tapi kalau aku jadi dia, aku mungkin akan merasakan hal yang sama.
"What were you thinking, Randu?"
What was I thinking? Aku harap aku bisa menjelaskan, tapi sayang sekali aku sendiri tidak tahu harus bagaimana melakukannya. Aku kesal dengan rengekan Mama. Aku kecewa karena Bimala tidak pernah melihatku lebih dari seorang teman. Aku benci dengan sikap Nadhira yang seenaknya. Aku marah karena cuma bisa jadi pecundang. Dan aku masih punya sederet alasan yang membuatku mengutuk diri sendiri karena menerima tawaran Nadhira. Papa benar, harusnya sejak awal aku menolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadhira
RomanceNadhira mencebik pelan, "Berapa banyak ular yang lo tahu?" "Satu! Ular kobra. Manipulatif. Bahaya. Berbisa" Aku berjalan mendekat ke arahnya. Punggungku sedikit membungkuk, membuat wajah kami cuma berjarak beberapa senti, membuatku bisa menghidu ar...