12. Jangan Pernah Kejar Orang Lain

203K 22.3K 3.8K
                                    

Caca benar-benar tidak sadar tujuannya membawa Gerlan. Sepanjang perjalanan menuju Cafe, Caca melupakan sosok cowok yang belakangan ini membuat hatinya merana. Kehadiran Gerlan yang sudah lama tidak bersamanya untuk sementara menghapus sosok Edgar dari pikirannya.

Bukannya tidak ada tujuan lain, mungkin itu hanya ucapan refleks saja ketika Gerlan meminta untuk ditemani keluar. Karena pada kenyataannya, memang Cafe Edgar lah yang selama tiga bulan ini selalu Caca kunjungi. Caca sampai lupa, banyak tempat yang lebih menarik daripada duduk sembari memakan cake di Cafe.

"Ini tempatnya?" Gerlan bertanya ketika mobil yang dia bawa berhenti di sebuah Cafe yang sudah sangat ramai.

Caca mengangguk semangat. "Iya, yuk masuk!"

Gerlan tersenyum lalu mengangguk, keluar dari mobil berbarengan dengan Caca di sebelahnya. Melangkah masuk beriringan, sifat manja Caca semakin terlihat kentara. Caca masuk sambil menggandeng sebelah tangan Gerlan.

Ketika kakinya sampai di depan pintu Cafe, Caca tertegun. Matanya langsung menangkap sosok pria yang sibuk di meja barista tengah membuat kopi sembari memasang senyum ke arah beberapa cewek yang memperhatikannya membuat kopi.

Caca meringis, ia baru tersadar kalau dirinya salah masuk tempat. Bukan karena Kopi yang tidak bisa diminumnya., tetapi karena Cafe ini milik pria yang mati-matian dia jauhi di dalam pikiran juga hatinya.

Gerlan yang berdiri diambang pintu bersama Caca mengerutkan kening, menunduk menatap adiknya. "Kenapa? Gak jadi masuk?"

Caca mengerjap, tersadar dari lamunannya. Ck, apa boleh buat? Ia sudah terlanjur sampai di tempat ini. Lagi pula, Gerlan belum pernah mencicipi kopi dan cake di Cafe ini. Sekelebat ucapan Budi kembali terdengar.

Kalo lo ngehindar, berarti lo gak niat move on!

Caca menghela napas, batinnya sedang berdebat sekarang.

"Baby, jadi masuk atau cari tempat lain? Lagian kayaknya ramai banget di sini," Gerlan kembali melemparkan pertanyaan.

Caca langsung menggeleng kencang. "Gak usah, kita udah jauh-jauh ke sini. Kalo nyari lagi, lama di jalan. Ini malam minggu, semua tempat pasti ramai," balas Caca malas.

Gerlan mengangguk saja, matanya kembali menengadah ke sekeliling. "Tapi tempatnya ramai, kita mau duduk di mana?"

Caca ikut mengedarkan pandangannya ke sekeliling Cafe. Matanya berbinar ketika mendapati kursi kosong. Meski kursi itu berada di pojok, dan sangat jauh ke tempat di mana Edgar berdiri. Caca tidak peduli, dengan ini dia bisa belajar menghindari Edgar.

"Ada, yuk."

Caca langsung menyeret tangan Gerlan, masuk ke dalam Cafe dan duduk di tempat yang masih tersedia. Tempat duduk di pojok dekat jendela itu cukup nyaman untuk melihat pemandangan malam.

Setelah duduk, Caca langsung membuka menu.

"Bang Ge, mau pesan apa?"

Gerlan mendengus lalu mencubit hidung Caca. "Gayanya kayak yang mau bayarin aja."

Caca cengengesan. "Aku baik loh, Bang, nawarin. Kalo masalah bayar, masa iya nyuruh adeknya yang bayar."

"Sekali-kali dong, masa Bang Ge terus yang jajanin kamu."

Caca menggeleng kencang. "Gak! Lagian, uang jajan yang di kasih Mami gedean punya bang Gerlan daripada Caca."

Gerlan lagi-lagi mendengus. "Karena Bang Gerlan hidup mandiri di negri orang. Nah kamu, enak satu rumah sama Mami."

"Tapi Mami kasihnya gak banyak."

Gerlan kembali mencubit hidung Caca. "Bisanya nyalahin Mami, kamu aja yang boros."

Bukan Stalker [TAMAT]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu