Lea? Datang jam setengah tujuh?
Itu adalah sebuah keajaiban.
Tapi nyatanya gadis itu benar-benar datang ke sekolah jam setengah tujuh hari ini. Dan pagi-pagi sekali, ia sudah berdiri didepan kelas Arkan dengan wajah kesal, marah, namun juga khawatir.
Semalam hanya ada suara kakak laki-laki Arkan yang mengangkat telponnya, sementara pacarnya sendiri sama sekali tidak bisa ia dengar suaranya. Atau memang tidak ada Arkan disekitar sana.
Tapi, kenapa ponselnya bisa berada ditangan kakaknya? Padahalkan semua orang juga tau kalau ponsel adalah barang pribadi.
Atau semalam Arkan sudah tidur jadi kakaknya yang mengangkat telponnya? Tapi kenapa Arkan tidak menghubunginya lebih dulu kemudian tidur?
Berbagai pertanyaan terus berkecamuk dalam benak Lea dan ia akan menanyakan pertanyaan itu satu persatu kalau sosok semampai itu sudah berada disana.
Lea duduk dibangku yang berada dikoridor depan kelas Arkan, menunggu lelaki itu sampai datang. Seluruh murid yang juga berada dikelas itu dan hendak masuk satu persatu menatap Lea bingung, ada angin apa gadis yang berstatus sebagai pacar murid terpintar, terrajin, dan terdisiplin dikelas mereka pagi-pagi sekali sudah duduk disana?
Lea memilih untuk tidak menghiraukannya dan tetap memindai sekitar, kalau-kalau Arkan sudah datang tapi sengaja tidak menemuinya.
Dan matanya membulat diiringi tubuh mungil itu berdiri tegap saat sosok yang dicari-carinya melangkah kearah kelas dengan tatapan datar. Lea mengerutkan keningnya, wajah Arkan nampak lelah sekali.
Memangnya lelaki itu habis apa?
"Arkan," panggil Lea pelan.
Tapi Arkan tidak tuli, meskipun pelan sekali ia menoleh saat seseorang menyebut namanya dan sedikit terkejut melihat gadisnya berdiri didekatnya dengan raut khawatir.
Ia membentuk sebuah senyuman dan mendekat pada Lea, "Sayang, kamu kok tadi enggak ada dirumah? Kenapa enggak ngabarin aku kalau mau berangkat sendiri?"
Entah kenapa Lea kesal mendengar pertanyaan itu, "Ngabarin kamu?" Ulangnya dengan nada sinis.
Arkan mengangguk tak bersalah, merasa bahwa ia memang tidak melakukan hal apapun yang pantas disalahkan.
"Semalam aja aku telpon bukan kamu yang angkat, gimana mungkin aku ngabarin kamu yang seolah enggak butuh kabar dari aku?!" Bentak Lea marah, mengejutkan lelaki itu.
Arkan tidak bodoh untuk menyadari suasana seketika hening dan kini seluruh murid yang juga berada di koridor tersebut langsung memperhatikan mereka. Senyumnya luntur, wajahnya terarah pada Lea tanpa ekspresi.
Dengan gesit, ia menarik gadis itu menjauh dari sana. Menghindari kemungkinan adanya gosip tak sedap tentang mereka. Sampai di belakang sekolah, Lea langsung menghempaskan tangan itu dari lengannya.
"Kemarin kamu pulang duluan tanpa bilang ke aku, kamu tau enggak aku nungguin kamu?! Dan kenapa kamu enggak ada sedikitpun ngehubungin aku?! Apa ngasih kabar ke aku itu sulitnya kayak nguras air laut?!" Lea terengah, menatap wajah Arkan penuh amarah. Tadinya ia tidak mau marah, tetapi ketika Arkan menunjukkan senyum lembutnya membuat ia tidak bisa menahan rasa kesalnya.
Senyum itu menyembunyikan segalanya dari Lea, membuat ia harus menelan rasa curiga yang teramat dalam.
"Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu aneh, kamu sibuk ngapain? Kenapa kemarin pulang duluan tanpa nungguin aku? Kenapa enggak ngehubungin aku juga seharian? Kamu marah sama aku? Aku ada bikin salah sama kamu?" Tanya Lea bertubi-tubi dengan suara yang lebih lembut daripada sebelumnya.
Sedangkan Arkan hanya diam, beberapa saat kemudian mendengus dan mengusap rambutnya kasar. Entah kenapa, ia menjadi dalam posisi serba salah. Memberitahu Lea bukan hal yang baik, tapi menutupinya tidak akan membuat keadaan juga membaik.
"Jawab," kata Lea singkat meski terkesan memaksa lelaki tersebut.
"Aku enggak bisa cerita sama kamu," ucap Arkan kemudian, bernada lemah lengkap dengan iris datarnya.
"Kalau gitu," Lea menggantung kalimat, menarik nafasnya dalam-dalam sebelun melanjutkan, "Kamu mau kita sampai disini aja?"
Mata lelaki itu sedikit melebar, terkejut sekali dengan ucapan gadisnya.
"Buat apa kita pacaran kalau kamu enggak mau jujur sama sekali ke aku, hah? Kalau aku emang udah enggak penting buat kamu, lebih baik kita udahan aja."
Jauh dilubuk hatinya, Lea merasa sakit sendiri mengucapkan kalimat tersebut. Ucapan itu keluar sendiri dari bibirnya, bukan kemauan gadis itu.
"Terserah sekarang mau kamu apa," Lea masih belum mau berhenti melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan untuk lelaki dihadapannya, "Silahkan sembunyiin apa yang mau kamu tutupin dari aku. Urus aja urusan kita masing-masing."
Lea berbalik, lalu pergi begitu saja. Diam-diam menahan air matanya ketika Arkan hanya diam tanpa berniat untuk menjelaskan ataupun mengejarnya.
Apa dirinya memang sudah tidak penting untuk lelaki itu?
Dan Arkan menyadari, hidupnya seperti hancur saat itu.
•••
Aduh aduh aduhhh! Jangan gebukin saia:D
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect [✓]
Short Storyhanya penggalan cerita usaha Lea menjadi gadis yang sempurna untuk berdamping dengan Arkan.