RUBAH BERBULU JINGGA

39 2 0
                                    

Sebelum kau membaca apa yang akan kutuliskan dalam lembaran kertas ini, aku harus meyakinkanmu bahwa tidak ada yang salah dengan diriku. Aku hanyalah seorang manusia dengan emosi yang terkadang melebihi batas kendaliku. Apa yang membuat kita berbeda hanyalah, aku tidak mencoba mengendalikan apa yang tidak bisa kukendalikan.

Di bulan kasih sayang ini, semesta sepertinya tidak menyertaiku dengan berkahnya. Suara badai petir yang nyaring disertai gemuruh angin membuat kepalaku lebih pening dari sebelumnya saat itu. Entah benar atau tidak, tapi kurasa semesta benar-benar ingin mengutukku minggu ini. Tenggat waktu untuk pengumpulan naskahku kurang tiga hari lagi, kotak imajinasiku kosong dan kering, kantung mataku memiliki lipatan yang tidak lagi elok untuk dipandang. Setiap aku berusaha untuk tidur dan memiliki mimpi yang indah, (barangkali aku bisa memetik satu, dua ide dari bunga tidurku) aku selalu gagal. Ditambah lagi pihak editor tidak berhenti menelponku, menanyakan sudah sampai mana naskah yang sudah kutulis.

Beberapa naskah yang sudah siap untuk kukirimkan pada editor membumbung tinggi di sebelah kanan laptopku. Saat melihatnya, aku bertanya-tanya bagaimana bisa aku menulis begitu banyak bualan dan tidak sekalipun merasa ingin menyudahi semuanya seperti sekarang.

Kutarik selimut merahku, kusembunyikan tubuhku dari semua kekacauan harfiah dan kiasan yang ada di sekelilingku. Tapi terasa sulit jika kekacauan yang hakiki berada dalam kepalaku sendiri. Aku memejamkan mataku untuk beberapa saat, mencari sebuah kedamaian atau pelampiasan sejenak dari tekanan batin yang kurasakan saat ini.

Kau tahu saat kau memejamkan matamu, kau akan melihat satu atau dua titik cahaya redup yang seakan-akan melayang di dalam kelopak matamu ? Cahaya yang padam sesaat setelah kau membuka matamu. Hal kecil itu terlihat sepele namun nyatanya bisa membuatku merasakan sedikit ketenangan di dalam sana. Mataku terbuka perlahan, melepas cahaya itu dari genggaman mataku, tapi aku tidak akan keberatan jika kehangatan yang fana itu sirna begitu saja. Karena dengan melepaskan mereka, aku mendapatkan apa yang telah kunanti.

Pintu rumahku mengeluarkan rintihannya saat tubuhnya didorong pelan oleh sosok berbahu besar dan basah kuyup itu. Senyumku terukir terlampau lebar saat mendapatinya berjalan mendekatiku dan meraih rambutku dengan telapak tangannya yang membeku. Kakak Beruang tersenyum hangat, telapak tangannya yang dingin menghangatkanku. Aku menatap objek kemerahan yang mengukung tubuhku itu sekian lama. Gemuruh hujan seakan teredam saat bahu lebarnya mendekat dan bibirnya menyentuh hidungku yang mengeluarkan udara memburu dari dalam tubuhku. Jemarinya membuka selimut rubahku perlahan. Saat aku tidak lagi menatap matanya, aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang menuntut di ceruk leherku. Jemarinya yang masih basah menggelitik pergelangan kakiku lalu merabanya samar. Jemarinya yang lain membuatku mengeluarkan suara pekikan tertahan di antara aura violet yang menguar di sekeliling kami berdua. Pekikan itu terdengar semakin putus asa saat Kakak beruang tidak lagi menggunakan jarinya, dan karet celana piyamaku tidak lagi melingkar di pinggangku. Harus kuakui bahwa badai di malam itu menjadi simfoni yang membalut indah suara kemenanganku.

Tirai yang terpasang apik di jendelaku basah pagi itu. Rupanya beberapa tetes air hujan merembes masuk ke dalam dan membasahinya. Yah, setidaknya bukan hanya aku yang mengotori pakaianku pagi itu. Kepalaku menyentuh permukaan lengan sofa dan lenganku menutup kedua mataku. Aku tersenyum pagi itu. Hal yang patut dirayakan karena entah sudah berapa lama aku bersikap murung pada embun pagi dan temannya, si biasan mentari.

Senyuman itu tidak berlangsung lama, sendi kepalaku secara egois bergerak ke kanan dan membuatku menyadari bahwa aku sedang berada dalam kejaran penerbit dan editorku. Tebak apa yang kulakukan setelah itu ? Aku pergi keluar. Atau dengan kata lain, meninggalkan tanggung jawabku. Percaya atau tidak, dengan menuliskan ini aku menodai reputasiku sebagai seorang penulis yang selalu tepat waktu.

Pagi itu aku memutuskan untuk menggayuh sepedaku mengunjungi temanku Téo yang memiliki café di tengah kota. Kau akan dengan mudah menemukannya, café temanku ini diapit oleh toko celana dalam pria dan lingerie. Menawan bukan ?

Rubah Berbulu JinggaWhere stories live. Discover now