48 hari kami berada di Tirtanan.
Pagi itu, Aku, Rendra, Annelies, Sitaresmi, dan Alesya duduk bersantai di atas balkon lantai dua rumah Jacquess Van Delberg. Om-om di usia senja—yang ingin menjadi seperti komandan Maresose—yang tempramental itu tampaknya sedang baik hati, ketika kita meminjamnya setelah mengasoh selepas kerja bakti memperbaiki keadaan desa.
"Akhirnya, perang dapat dihentikan. Kedamaian pun tercipta kembali," ujarku sembari merenggangkan kedua tanganku ke atas.
"Apa yang dikatakan oleh Prof. Abram memang benar. Mereka kembali saling membantu, seolah tidak terjadi apa-apa sepekan lalu," sahut Rendra.
Lalu, ada para manusia-manusia licik, yang seenak udel mereka, main klaim mengenai hubungan romantisku dengan sang Putri Sitaresmi. Ternyata tiga orang ini sudah berkomplot untuk menyerangku dengan sindiran-sindiran mematikan.
"Ciee ... first kiss-nya seorang Tuan Putri. Bakal calon ratu, pula! Gila gila gila!" seloroh Al.
"Wiih ... selamat yaa! Ingin punya berapa putra mahkota?" tambah Ann.
"Weh, hebat. Naik kasta kamu, cowok paling ganteng Se-Tirtanan!" timpal Rendra seraya menyikut-nyikut pinggangku.
"Aaah berisik-berisik! Aaah! Tidak dengar! Aaah! Icik! Icik! Aaah!" Aku menutup kedua telingaku dan menggeliat layaknya kelinci terperosok dalam karung goni yang kena bakar. Sementara di sisi lain, sang tuan Putri tidak kalah heboh.
"Aaah! Tidaaak! Kenapa aku harus menjalin hubungan dengan laki-laki aneh! Tukang lawak! Tingkahnya menyebalkan! Potongan rambutnya aneh! Hitam pula! Kenapaaa!" Jerit Sitaresmi sembari menutup mukanya yang memerah.
Ini membuatku gusar dan gempar. Cukuplah siksaan ini! Saya lelah! Saya melambaikan tangan!
"Hoo ... lantas kenapa kau menciumku waktu itu, Tuan Putri ambigu!" ledekku.
"I-itu! Itu ... Aarrgh! Kenapa kau begitu menyebalkan! Kau terlalu lemah sebagai seorang laki-laki! Dasar kau jejaka loyo!" Sitaresmi berusaha melayangkan tendangan ke tulang keringku. Hampir saja siksaan lain datang menyerbu jika aku tidak segera mengelak dari tendangannya.
"Whoaah! Omongan tidak berdasar! Tidak berteori! Dasar tuan putri jadi-jadian! Kucing liar! Kakean polah!" sergahku.
"Dasar pria jereh! Maju di garis depan aja sudah gemetar! Gitu mau sok jadi pahlawan!" sungut Sitaresmi. Lalu acara ledek-meledek berlangsung selama sepuluh menit ke depan. Setelah itu, kami berdua lelah sendiri dan duduk manis sembari malu-malu kucing saling menolak untuk berhadapan.
Lalu ... kami menyaksikan lagi pemandangan di atas balkon.
"Setelah pertempuran itu ... Raja Wijayatirta kembali melakukan perbaikan hubungan dengan Tirtanan. Dalam waktu seminggu, Tirtanan telah pulih dan sebagian aktivitas masyarakat kembali seperti semula," ujar Rendra.
"Yah, jangan lupakan dua negosiator andalan kita, Adrian dan Ferdyan. Hebat juga mereka, bisa mempertahankan Tirtanan agar tetap eksis," tambahku.
Sitaresmi mengangguk, seraya berkata, "Ayahanda membangun hubungan baik lagi dengan Tirtanan. Segera setelah kekacauan di Tirtapura dapat diatasi, kami kemudian turut membantu warga Tirtanan untuk membenahi desa dan tempat tinggal mereka lagi. Jalur Timur kembali dibuka. Diperbaikinya fasilitas-fasilitas desa, rumah-rumah para warga, ladang dan peternakan yang rusak karena konflik. Ini sebagai bentuk permintaan maaf dan balas budi karena telah mengusir tirani dari tempat ini."
"Apakah ini nyata? Para warga Tirtanan memang benar-benar naif, ya? Padahal mereka sudah direpotkan oleh warga tetangga mereka. Namun, mereka masih menerima dengan baik Tirtapura. Akankah mereka benar-benar menghindari konflik yang serupa terjadi kembali?" celetuk Rendra.
"Hah, gayamu, Rendra. Lihat. Bahkan prajurit Tirtapura rela untuk membantu membenahi rumah-rumah warga, menanam kembali kebun dan sawah yang rusak, membantu mengamankan rombongan pedagang," sahutku.
Kami menikmati angin sepoi-sepoi di atas balkon tersebut, sesekali mengamati hiruk-pikuk masyarakat komunal ini bekerja seperti biasanya.
"Aku dengar, gudang-gudang penyimpanan dijarah, kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk. Sebagian besar logistik dan kebutuhan pangan juga dikirim ke Tirtanan, untuk mengganti kerugian gagal panen sejumlah sawah akibat pertempuran," ujar Al.
Sitaresmi mengangguk, lalu berkata,"Yah. Adiguna banyak menimbun harta benda, pajak, dan bahan pangan untuk warga. Dihambur-hamburkannya untuk kepuasannya sendiri. Kini, barang-barang yang berharga itu dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan, atas titah dari ayahanda sendiri. Selama Tirtanan memulihkan diri, Tirtapura akan membantu."
"Aku dengar, kini Jalur Timur sedang diperbaiki agar lebih mudah diakses oleh kedua wilayah. Banyaknya kereta kuda dan kendaraan yang semakin lalu lalang. Apakah Tirtapura akhirnya memutuskan untuk membuka gerbang mereka?" sahutku.
"Tentu saja, Pria lucu! Kami ingin membuktikan, kalau kita ini satu kesatuan yang sama. Sama-sama manusia yang hendaknya sudah semestinya tolong-menolong, tanpa memerhatikan kotak-kotak atau tembok-tembok kota kita sendiri. Bukankah itu yang sudah seringkali dititahkan oleh Kepala Suku Kaum Bersarung?" jawab Sitaresmi.
Kemudian, kami hening sejenak dari percakapan. Kami mengamati bagaimana para warga kembali ke sawah, kembali berkebun, kembali menggembalakan domba dan sapi, kembali membariskan bebek, kembali berburu ke dalam hutan, kembali berdagang, dan kembali melaut untuk mencari ikan. Sesekali para anak kecil kembali bermain-main riang di jalanan desa. Para anak-anak Kaum Suku Bersarung duduk melingkar mendengarkan cerita dari pendongeng. Beberapa orang yang merawat kuda mereka. Masjid kembali mengumandangkan Azannya. Gereja kembali membunyikan loncengnya. Para ibu-ibu sibuk untuk menyiapkan makan siang. Mereka seolah-olah melupakan begitu saja pertempuran sepekan lalu. Seakan-akan itu hanyalah debu pertempuran yang tertiup angin.
"Terkadang, aku berpikir, apakah kami, orang-orang yang paling modern di tempat ini, memberikan sebuah perubahan besar pada Tirtanan? Pada tempat ini? Akankah perlahan Tirtanan sanggup meluncur bersama peradaban yang jauh pesatnya berkembang layaknya laju peluru?" ujar Rendra memecah keheningan, justru malah memberikan keheningan lain bagi yang lain untuk berpikir.
"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu, Rendra?" tanya Sitaresmi.
"Misalkan saja, konsep mengenai revolusi yang kemarin kita jalankan, sebagai upaya untuk menggulingkan kekuasaan tirani. Bahkan, setelah mereka tahu bahwa raja bisa digulingkan dengan mudah, bukankah justru itu menjadi ancaman bagi raja selanjutnya yang menggulingkan pemerintahan sebelumnya? Apakah kalian sanggup menghadapi revolusi yang sewaktu-waktu dapat meletus kapan saja, menikam Dinasti Wijayatirta dari belakang?" sahut Rendra dengan muka yang berubah serius.
"Kami tentunya akan berusaha memerhatikan masyarakat," sanggah Sitaresmi.
"Tuan Putri. Revolusi dan rakyat adalah pisau bermata dua. Mereka layaknya senjata yang ampuh dalam menjalankan sebuah negara, tetapi juga dapat menjadi ancaman bagi penguasa itu sendiri. Rakyat memiliki corak yang beragam, sekalipun itu berada di satu daerah dan satu budaya yang sama. Pemikiran tiap rakyat berbeda. Bisa saja, orang-orang yang tidak menyukai pemerintahan Wijayatirta, akan sewaktu-waktu menyerang keluargamu dari belakang." Rendra menyanggah juga dengan cepat, menambahkan keraguan-keraguan lain.
"Lantas, kenapa kaupilih sebuah metode revolusi untuk menggulingkan Adiguna, jika nantinya akan berbalik pada pemerintahan Wijayatirta?" Aku mencoba ikut menyanggah.