47. Debu Konflik Beterbangan

113 19 11
                                    

48 hari kami berada di Tirtanan.

Pagi itu, Aku, Rendra, Annelies, Sitaresmi, dan Alesya duduk bersantai di atas balkon lantai dua rumah Jacquess Van Delberg. Om-om di usia senja—yang ingin menjadi seperti komandan Maresose—yang tempramental itu tampaknya sedang baik hati, ketika kita meminjamnya setelah mengasoh selepas kerja bakti memperbaiki keadaan desa.

"Akhirnya, perang dapat dihentikan. Kedamaian pun tercipta kembali," ujarku sembari merenggangkan kedua tanganku ke atas.

"Apa yang dikatakan oleh Prof. Abram memang benar. Mereka kembali saling membantu, seolah tidak terjadi apa-apa sepekan lalu," sahut Rendra.

Lalu, ada para manusia-manusia licik, yang seenak udel mereka, main klaim mengenai hubungan romantisku dengan sang Putri Sitaresmi. Ternyata tiga orang ini sudah berkomplot untuk menyerangku dengan sindiran-sindiran mematikan.

"Ciee ... first kiss-nya seorang Tuan Putri. Bakal calon ratu, pula! Gila gila gila!" seloroh Al.

"Wiih ... selamat yaa! Ingin punya berapa putra mahkota?" tambah Ann.

"Weh, hebat. Naik kasta kamu, cowok paling ganteng Se-Tirtanan!" timpal Rendra seraya menyikut-nyikut pinggangku.

"Aaah berisik-berisik! Aaah! Tidak dengar! Aaah! Icik! Icik! Aaah!" Aku menutup kedua telingaku dan menggeliat layaknya kelinci terperosok dalam karung goni yang kena bakar. Sementara di sisi lain, sang tuan Putri tidak kalah heboh.

"Aaah! Tidaaak! Kenapa aku harus menjalin hubungan dengan laki-laki aneh! Tukang lawak! Tingkahnya menyebalkan! Potongan rambutnya aneh! Hitam pula! Kenapaaa!" Jerit Sitaresmi sembari menutup mukanya yang memerah.

Ini membuatku gusar dan gempar. Cukuplah siksaan ini! Saya lelah! Saya melambaikan tangan!

"Hoo ... lantas kenapa kau menciumku waktu itu, Tuan Putri ambigu!" ledekku.

"I-itu! Itu ... Aarrgh! Kenapa kau begitu menyebalkan! Kau terlalu lemah sebagai seorang laki-laki! Dasar kau jejaka loyo!" Sitaresmi berusaha melayangkan tendangan ke tulang keringku. Hampir saja siksaan lain datang menyerbu jika aku tidak segera mengelak dari tendangannya.

"Whoaah! Omongan tidak berdasar! Tidak berteori! Dasar tuan putri jadi-jadian! Kucing liar! Kakean polah!" sergahku.

"Dasar pria jereh! Maju di garis depan aja sudah gemetar! Gitu mau sok jadi pahlawan!" sungut Sitaresmi. Lalu acara ledek-meledek berlangsung selama sepuluh menit ke depan. Setelah itu, kami berdua lelah sendiri dan duduk manis sembari malu-malu kucing saling menolak untuk berhadapan.

Lalu ... kami menyaksikan lagi pemandangan di atas balkon.

"Setelah pertempuran itu ... Raja Wijayatirta kembali melakukan perbaikan hubungan dengan Tirtanan. Dalam waktu seminggu, Tirtanan telah pulih dan sebagian aktivitas masyarakat kembali seperti semula," ujar Rendra.

"Yah, jangan lupakan dua negosiator andalan kita, Adrian dan Ferdyan. Hebat juga mereka, bisa mempertahankan Tirtanan agar tetap eksis," tambahku.

Sitaresmi mengangguk, seraya berkata, "Ayahanda membangun hubungan baik lagi dengan Tirtanan. Segera setelah kekacauan di Tirtapura dapat diatasi, kami kemudian turut membantu warga Tirtanan untuk membenahi desa dan tempat tinggal mereka lagi. Jalur Timur kembali dibuka. Diperbaikinya fasilitas-fasilitas desa, rumah-rumah para warga, ladang dan peternakan yang rusak karena konflik. Ini sebagai bentuk permintaan maaf dan balas budi karena telah mengusir tirani dari tempat ini."

"Apakah ini nyata? Para warga Tirtanan memang benar-benar naif, ya? Padahal mereka sudah direpotkan oleh warga tetangga mereka. Namun, mereka masih menerima dengan baik Tirtapura. Akankah mereka benar-benar menghindari konflik yang serupa terjadi kembali?" celetuk Rendra.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang