"Lo punya pacar, ya?"
Ucapan spontan itu membuat Seokmin hampir saja tersedak minumannya. Matanya lantas menatap Cipa yang tengah membereskan obat-obatan yang ia bawa ke kamar atas. Seokmin menggeleng. Dia menyanggah ucapan sahabatnya itu dengan lantang.
"HAH, DARIMANA, CUY! EMANG ADA YANG MAU SAMA GUE? AHAHAHAHA!"
Cipa menaikkan sebelah alisnya. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Siapa yang mau menjadi kekasih orang bodoh seperti Handika Seokmin? Meskipun terbilang tampan, tapi kelakuan laki-laki itu terlampau over dan bahkan mendekati tidak normal. Dia sering melakukan hal-hal bodoh dan memancing orang lain untuk menertawakannya.
Cipa meringis pelan. "Yang bener? Meskipun lo bloon, tapi lo ganteng, Seok."
Dan Seokmin lagi-lagi hampir tersedak minumnya. Ucapan Cipa itu bisa membuatnya melayang seketika. Dia langsung tersenyum amat lebar dan merapihkan penampilannya agar terlihat lebih keren di mata sahabatnya itu.
Cipa mendengus pelan. "Huh, lagi sakit aja kebanyakan gaya! Pantes kalo lagi sehat kayak uler dikasih garem!"
Seokmin terkekeh. "Berarti menurut lo, gue itu keren, ganteng, menawan, dan rupawan?"
"Gue tarik ucapan gue sebelumnya."
Seokmin berkali-kali menggoda Cipa untuk berterus terang tentang penampilannya. Dia terus menerus mendesak Cipa untuk membantunya dalam menarik pasangannya kelak. Seokmin amat antusias dalam hal ini.
"Demam lo belum turun, jadi jangan kebanyakan gaya!" seru Cipa. "Sakit lagi gue tinggalin di rumah lo sendiri, ya! Pintu rumah gue terkunci buat lo!"
"Ih, kok lo gitu sama calon lo sendiri?"
"Calon?"
"Yoi, calon majikan maksudnya."
Cipa menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia tidak boleh emosi dengan humor tingkat rendah seperti itu. Selera humor Seokmin memang benar-benar buruk. Awalnya, gadis itu sudah mulai berburuk sangka ketika Seokmin mengatakan kata calon. Memangnya siapa yang ingin dipinang oleh pemuda penuh semangat seperti Seokmin?
Cipa mulai merasakan topik yang mereka bicaran keluar dari jalur. Dia kembali menatap Seokmin dengan intens, berbicara lewat pandangan mata yang bisa membuat Seokmin terdiam seketika.
"Lo serem, Cip. Sumpah!" pekik Seokmin. "Lo kenapa, sih?"
Cipa diam saja ketika Seokmin menaikkan sebelah alisnya menunggu gadis itu membuka suaranya. "Lo punya pacar, kan, Seok? Kenapa lo nggak jujur sama gue, hm?"
Cipa bisa melihat bulir-bulir keringat yanh jatuh di dahi Seokmin. Laki-laki meneguk salivanya kasar, dia bahkan bingung dengan apa yang harus ia jawab nanti. Apa dia harus mengelak? Atau mengatakan yang sejujurnya?
"Ceweknya siapa, hm? Apa salah satu temen gue?" tanya Cipa. "Gue nggak pernah permasalahin lo mau deket sama siapa, Seok. Tapi, kenapa lo nggak cerita sama gue. Gue sahabat lo bukan, sih?"
Seokmin malah menunduk. Dia tampak seperti seorang bocah yang sedang dimarahi oleh ibunya. Tidak mampu menjawab sepatah kata pun, dengan wajah yang tertunduk mengalihkan wajahnya sendiri agar tidak terlihat oleh Cipa.
"Bukannya gue nggak mau cerita, tapi gue belum siap aja kalo lo tau."
"Kenapa? Ceweknya orang yang deket sama gue? Jangan-jangan itu Nida?" Cipa menutup mulutnya. Merasa terkejut dengan apa yang sudah ia dengar sebelumnya. "Inget, heh! Dia udah punya Soonyoung. Soonyoung itu sahabat lo sendiri. Lo mau nikung sahabat lo sendiri apa?"
"Kagaklah, nyet. Siapa sih yang suka sama cewek kayak Nida? Gue nggak suka sama dia."
Cipa kembali penasaran dengan hal ini. Apa yang membuat Seokmin enggan untuk bercerita padanya? Apa dia bukan orang yang tepat untuk diberi tahu?
"Gue bukan sahabat yang baik, ya? Lo jadi nggak mau cerita gitu sama gue." Cipa menunduk lesu. Ia merasa sedih karena Seokmin seolah tidak mempercayainya sebagai seorang sahabat. Pasti Seokmin mempunyai alasan tersendiri kenapa ia tidak bercerita masalah ini pada Cipa.
"Bukan gitu, Cip. Gue cuma-" ucapannya menggantung, "gue cuma takut lo kaget dengernya. Gue belum siap untuk ngasih tau lo yang sebenarnya."
"Kenapa?"
Kini, giliran Seokmin yang menggigit bibirnya. "Karena gue sedikit berbeda sama lo. Kalo gue udah siap, gue pasti cerita, kok!"
-Ciao Seokmin-
"Kalo gue cerita, lo mau denger, Cip?"
Seokmin tampak mantap ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa merasakan hal-hal buruk yang akan terjadi. Dia sudah sangat siap dengan semua konsekuensi yang akan ia dapatkan dari Cipa.
Kondisinya mulai membaik dan dia pulang ke rumahnya sendiri untuk membersihkan rumahnya sendiri. Meskipun terkenal jorok, tapi Seokmin tak pernah lupa membersihkan rumahnya sendiri walaupun hanya sekedar menyapu atau mengepel lantai.
Cipa pun langsung melempar bantal miliknya hingga mengenai wajah Seokmin. "Kalo mau masuk kamar cewek, ketuk dulu, goblok."
Seokmin hanya memamerkan senyum lebarnya. Dia malah masuk ke kamar Cipa lebih dalam. Duduk di atas sofa kecil yang ada di kamar tanpa rasa bersalah. Semua itu ia lakukan untuk menyembunyikan rasa gugupnya sekarang. Dia harus terlihat tanpa beban di depan Cipa.
Dia sudah memikirkan hal ini matang-matang. Entah kenapa, dia menjadi sangat kepikiran dengan Cipa jika ia mengetahui hal ini. Seokmin hanya takut gadis itu akan menjauhinya jika ia tahu fakta yang sebenarnya. Dia langsung salah tingkah ketika Cipa turun dari ranjangnya dan menghampiri Seokmin lebih dekat.
Seokmin langsung menarik tangan Cipa agar duduk di sebelahnya. Wajahnya yang berbinar, dengan senyum cerah khas kuda itu membuat Cipa hendak menampar wajah konyol itu dengan gemas.
"Kalo mau cerita, ya, sekarang! Gue mau tidur." Cipa mendengus.
Seokmin menunjukkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah benda yang mampu membuat Cipa membelalakkan matanya. Akhirnya, yang Cipa harapkan sudah tiba di depan mata. Seokmin akan bercerita tentang perasaannya pada seorang gadis!
"Surat cinta?"
Seokmin mengangguk. Tangannya mulai mendingin. Dia berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Lo lagi suka sama orang?"
Seokmin kembali mengangguk.
Cipa melonjak kegirangan. Dia lantas menampar wajah Seokmin saking gembiranya. Seokmin sendiri malah ikut tertawa lebar, padahal Cipa sudah menampar pipinya tadi. Seokmin menangis di dalam hatinya. Apa jika Cipa tahu yang sebenarnya, gadis itu akan menjauh? Dan Seokmin tidak akan melihat senyum lebar itu lagi?
Cipa hendak membuka surat itu. Namun, Seokmin menahannya. Wajah konyol Seokmin kini berganti dengan mimik serius yang membuat Cipa bertanya-tanya. Seokmin harus mengatakannya saat ini juga!
"Ini bukan sekedar surat cinta, ini penting buat gue. Dan lo juga harus tau, Cip."
Cipa mengangguk. Dia tidak banyak berkomentar jika Seokmin sudah memasang mimik yang serius. Apalagi, tangan Seokmin yang menahannya tadi mulai tampak dingin. Cipa bisa merasakan keringat disana. Seokmin pasti merasa gugup. Ya, Seokmin memang gugup. Wajar, bukan?
"Lo mau bilang apa, Seok? Mau minjem duit sama gue buat kencan?"
Seokmin menggeleng. Dia masih memaklumi humor rendah Cipa yang tidak berbeda jauh darinya.
"Mau ketemu kak Seungcheol biar dikasih kiat-kiat ngegaet perempuan?"
Seokmin kembali menggeleng. Dia kembali berkeringat dingin. Apalagi, dengan salah satu kata yang tadi Cipa ucapkan.
Seungcheol?
Bukan, itu bukan Seungcheol. Seokmin memang segan dengan kakak kandung Cipa yang sedang pergi keluar kota untuk mencari ilmu. Tapi, bukan Seungcheol yang membuatnya takut.
Cipa pun mulai merasa khawatir. Seokmin tidak biasanya seperti ini. Pasti masalah ini sangat penting hingga Seokmin enggan membuka suaranya.
"Lo mau cerita apa? Jangan bikin gue takut, deh!"
Wajah bangir itu mulai layu. "Tapi, lo jangan marah sama gue, Cip. Janji?"
Seokmin mengulurkan kelingkingnya. Membuat Cipa kembali kebingungan. Namun, gadis itu dengan cepat melingkarkan kelingkingnya di kelingking Seokmin. Cipa benar-benar khawatir dengan kondisi Seokmin. Apa dia tengah patah hati sekarang ini?
Seokmin menghela napas. Dia menyiapkan hatinya untuk mulai berbicara. Namun, rasa khawatir masih tergores di sana. Dia takut, Cipa akan menjauhinya jika mengetahui hal ini. Dia takut, Cipa akan pergi dari sisinya.
"Lo jangan marah sama gue, jangan jauhin gue, dan tetep mau sahabatan sama gue, harus pokoknya!"
Cipa mulai tidak sabar. "Iya, Seok. Mau lu kayang di bulan juga, lo tetep sahabat gue."
Seokmin tertawa. Atau lebih tepatnya, dia berpura-pura tertawa. Dia tidak ingin menunjukkan kekhawatirannya lebih banyak.
"Kalo gue agak sedeng, lo masih mau sahabatan sama gue?"
"Mau lah, lo kan emang sedeng."
"Kalo gue jatuh miskin dan nggak punya apa-apa, lo masih mau ngakuin gue, kan?"
"Astaga, lo ngeraguin rasa sayang gue ke lo?"
Seokmin menggeleng. Dia melanjutkan pertanyaannya lagi. "Kalo gue jadi sebatang kara, lo juga mau ngaku kalo lo seorang sahabat dari Handika Seokmin Aldino?"
"Iya, Seok. Mau gimana pun bentuk dan rupa lo, lo tetep sahabat Cipa, lo tetep sahabat gue."
Seokmin tersenyum kecil. Dadanya berdebar tidak karuan. Dia semakin siap untuk menanyakan hal ini pada Cipa. Dia bahkan bisa menjatuhkan air matanya sekarang juga. Dia tidak siap, tapi Cipa membuatnya lebih dari kata siap.
Cepat ataupun lambat, gadis itu pasti akan mengetahui perbedaannya. Dan lagi-lagi Seokmin meyakinkan diri sendiri, pasti Cipa menerima semua yang ada di dalam dirinya. Mengingat Cipa menjawab dengan cepat segala pertanyaan yang sudah ia ajukan tadi.
Seokmin menarik napas panjang. "Kalo gue seorang gay, lo masih mau sahabatan sama gue?"
"Ma- EH?"
Seokmin bisa menebak dengan jelas bagaimana ekspresi Cipa sekarang. Terkejut. Ya, dia terkejut. Tidak ada ekspresi lain yang ditunjukkan oleh gadis itu.
"Seok, lo-"
"Iya, gue gay. Gue sukanya sama cowok, bukan cewek."
-Ciao Seokmin-
HALOOOO