Part 2 - Putus asa

13 3 1
                                    

"And the dreams you left behind you didn't need them
Like every single wish we ever made
I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape"

Aku kembali ke kos dengan taksi online. Satu jam yang lalu aku baru saja membersihkan badan. Dan sekarang aku hanya berbaring mendengarkan musik yang ku putar berulang-ulang tanpa ada niat mengganti list lain. Di luar juga masih hujan. Dila tidak jadi membawakanku makanan. Sebenarnya aku tahu itu hanya bualan tapi aku berharap dia benar-benar membawakan makanan. Aku lapar.

Aku bisa saja memesan makanan atau pergi keluar sebentar untuk membeli camilan. Masalahnya aku sedang tidak ingin berurusan dengan orang yang menungguiku di luar sejak tadi. Ya, David mengikutiku sampai kos. Kini dia di luar bersama mobilnya yang kehujanan. Aku tidak terlalu peduli. Andai saja aku tinggal di Eropa mungkin aku sudah lapor polisi karena kehadirannya sungguh menggangguku.

Tok..tok..tok..
Aku membuka pintu dan menemui Mbak Tika tetangga kos ku menenteng plastik putih yang kuduga berisi makanan.
"Dek, ada yang nitipin ini." Plastik putih yang sedikit hangat itu berpindah ke tanganku. "Kenapa gak disuruh masuk aja, di luar hujan lho. Kasian dari tadi nungguin."
Aku belum sempat menjawab. "Apa aku suruh masuk aja."

"Mbak, jangan!" Cegahku. "Lagi pula ini udah malam."
Mbak Tika mengernyit dan melirikku dengan tatapan curiga.
"Gak baik Mbak malam-malam begini apalagi hujan pula. Ehm, suruh pulang aja Mbak."
"Kok jadi aku yang nyuruh pulang, nanti malah dikira ngusir lagi. Kamu aja sana, kan dia pacar kamu."

Aku mengibaskan tanganku. "Bukan!"
Ya memang bukan, setelah perbuatannya setengah tahun yang lalu. Jujur, aku tidak ingin berdebat dan membahas masalah ini lebih lanjut. Lebih baik aku menemuinya dan menyuruhnya pulang. Meskipun tak semudah yang ku bayangkan namun aku akan mencobanya.
"Yaudah Mbak, aku temuin dia. Sekalian mau bilang makasih."
Ekspresi Mbak Tika tidak terbaca, mungkin besok atau beberapa hari kemudian dia akan menanyakan hal ini lagi.

Di luar masih gerimis. Aku memutuskan keluar tanpa menggunakan payung. Aku mengetuk jendela mobil David yang sedikit basah. Dia menurunkan kaca jendela dan tersenyum tipis. Aku tahu dia topikal orang yang gak suka basa-basi. Bahkan sebelum aku sempat bicara dia sudah membuka pintu untuk penumpang.
"Masuk!" Perintahnya. Sikapnya masih sama. Aku hanya menyernyit dan tersenyum lembut.
"Sebaiknya kamu pulang. Aku cuma mau bilang makasih buat makanan tadi."
Air mukanya justru semakin dingin.
"Aku bilang masuk!" Aku bagai robot yang mengikuti perintah. Beberapa detik kemudian aku sudah duduk disampingnya.
Mobil melaju begitu saja tanpa ada sepatah kata. Dia adalah orang yang irit bicara. Misterius dan menyebalkan.
"Mau kemana?" Aku nekad bertanya meskipun tidak ada tanggapan. Aku menyesali keputusanku untuk menemuinya. Seharusnya tadi aku pura-pura tidur di bandingkan harus berhadapan dengannya. Entah apa yang kurasakan tapi jujur aku merindukan moment-moment seperti ini. Keberadaannya membuatku merasa nyaman sekaligus aman.

Ini merupakan kali pertama aku bertemu dengannya setelah enam bulan lalu. Dia memarkirkan mobilnya di pelataran kedai kopi yang cukup terkenal. Jujur, aku bukan tipikal orang yang suka kopi. Tapi dulu, dulu sekali aku sering menemaninya lembur di tempat ini kadang sampai aku tertidur disini.

Aku melepas seatbelt dan mengekorinya di belakang. Melihat siluet punggungnya yang tegap berjalan mendahuluiku dan kemudian membukakan pintu untukku adalah hal yang paling aku suka.

Dia masih ingat aku minum kopi dengan roti. Kami duduk di meja yang dibatasi dengan kaca transparan. Dari sini aku bisa melihat lalu lalang di malam hari ditambah dengan suasana gerimis. Sepuluh menit kita disibukan dengan pikiran masing-masing. Aku masih bertanya-tanya apa tujuan dia membawaku kesini. Hingga pelayan datang dengan pesanan kami.

Aku menatapnya sekilas sebelum memberanikan diri untuk bertanya.
"Gimana kabar Olin?" Aku mengulum bibir ketika melihat ekspresinya berubah dingin. Aku tau dia tidak ingin membahas masalah ini. Toh, sudah terlanjur. Aku nekad mendesaknya.
"Kok diam? Kamu lagi gak puasa bicara kan? Ngapain kamu ngajak aku kesini kalo cuma diem-dieman."
Dia mengambil cangkir kopi dan menyesapnya, sebelum akhirnya padangannya penuh ke arahku. Aku gak suka di tatap seperti ini. Aku memalingkan muka.

"Aku gak tau." Jawabnya singkat. "Kamu kenapa susah dihubungin?" Sontak aku menatapnya tajam. Ini out of the topic. Aku tau dia sedang mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa gak tau?" Aku kembali mengarahkan ke topik awal. David malah justru berdiri dan keluar dari kedai kopi. Beberapa menit kemudian dia membawa kantong plastik makanan yang tadi ku tinggal di mobil. Dengan santainya dia meletakan dihadapanku. "Ini, makan kamu pasti lapar." Oh God! Betapa lemahnya aku. Hanya dengan perlakuan seperti ini rasa kesalku menguap begitu saja.

"Apa tujuan kamu ngajak aku kesini?" Aku mulai gemas dengan segala tingkahnya yang tidak mau berterus terang. Dia menyilangkan tangan di depan dada. Menyandarkan punggungnya di sofa, sorot matanya sedikit lelah. Ada perasaan kecewa disana. "Jelas karena aku mau ketemu kamu!"
Bukan jawaban itu yang mau aku dengar. Seolah mendengar isi hatiku dia melanjutkan.
"Aku udah gak sama Olin. Dia penipu, dia udah hancurin hubungan kita, Ra. Kamu tau, dia pura-pura hamil." Lututku lemas seketika mendengarnya. Entah ini kabar baik atau buruk yang jelas rasanya sama sakitnya seperti delapan bulan lalu. Ketika Olin tiba-tiba datang padaku dengan keadaan menangis. Dia memintaku meninggalkan David. Olin mengaku David lah yang menghamilinya. Gak kebayang gimana sakitnya perasaanku saat itu. Sebagai sesama perempuan aku merasa empati terhadap Olin. Aku membiarkan mereka menikah begitu saja dengan perasaan terluka. Dan sekarang kebohongan apa lagi yang harus ku dengar?

David meraih jemariku dan digenggamnya. Bagaimana mungkin wajah innocent yang kutatap saat ini justru hal yang paling menyakitkan?
"Kamu juga penipu. Kamu selingkuh sama dia dibelakang aku!" Aku meraih tanganku dengan kasar.
"Aku gak pernah selingkuh, Ra."
Aku tertawa sinis. "Mana ada maling ngaku. Kalo kamu gak selingkuh gak mungkin kamu mau nikahin dia."

"Oh God! Kamu yang paksa aku buat nikahin perempuan itu."

"Jadi, kamu nyalahin aku atas perbuatan kamu?"

"Why you are getting so hard? Aku gak nyalahin kamu. Clara, aku gak mau kita ketemu dalam keadaan seperti ini." Nadanya terdengar putus asa.

"Terus keadaan seperti apa yang kamu mau? Seperti waktu kita pacaran, hah? You're so funny." Aku tertawa hambar sebelum kemudian melanjutkan. "Setelah apa yang kamu perbuat kamu bisa bicara seperti itu?"

"Maafin aku, aku akan berusaha memperbaiki semampuku."

"Gak semua yang rusak bisa diperbaiki. Termasuk hubungan kita."

Aku bahkan gak benar-benar serius dengan ucapanku. Semua mengalir begitu saja. Justru yang ingin ku lakukan adalah menghambur ke pelukannya, aku rindu. Tapi disisi lain ada sesuatu yang menusuk-nusuk perasaanku.

"Sebenarnya ada hal lain yang ingin ku katakan. Soal Papaku." Aku melihat nada putus asa disetiap ucapannya.

Aku benci mengakuinya, namun beberapa menit setelah dia menceritakan kondisi keluarga dan Papanya aku melebarkan bahu memberi sandaran disetiap keluh kesahnya. Seakan lupa bahwa beberapa jam lalu kita bagai orang asing yang terluka.

"Jika maafmu masih berat, kamu bisa pura-pura memaafkanku sampai kamu lupa bahwa itu hanya pura-pura"
David

Thanks buat readers yang masih setia nunggu cerita aku, jangan lupa voment 😊
Boleh juga yang mau kasih saran.
Happy reading

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang