14 - Terusirnya Guru Genit

201 112 1
                                    

"Zeen, bangun. Makan malam dulu." Aku mendengar suara Aziza, tetapi samar-samar.

"Ya ampun! Badan kamu panas banget Zeen. Mama!" Aziza berteriak. Sementara aku merasa lemas dan tidak bisa membuka kedua mataku.

Kedua mataku terbuka saat mendengar suara orang mengobrol. Aku membuka mata dan mendapati mama sedang mengobrol bersama seorang dokter. Mereka menyadari kesadaranku, dokter itu memeriksaku sambil mengecek sesuatu di tanganku.

"Aw sakit!"

Ternyata ada selang menempel di punggung tanganku. Terasa perih ketika aku menggerakkan tanganku. Aku sangat lemas dan tidak bertenaga.

"Kamu tadi malam pingsan sayang, badan kamu juga panas. Mama sama Aziza langsung bawa kamu ke rumah sakit." Mama mengusap keringat pada dahiku sembari tersenyum.

"Sekarang Azani sama Aziza ke mana? Papa juga ke mana Ma?"

"Kakak-kakak kamu kan kerja. Papa belum pulang dari luar kota, nanti malam papa pulang. Sekarang sama Mama dulu ya."

Aku menatap wajah mama, dia tersenyum. Malaikat tak bersayap itu selalu ada di sampingku, dalam keadaan apa pun. Aku yang rapuh ini menjadi kuat berkat hadirnya. Tiba-tiba air mataku menetes dan mengalir melalui pipi. Mama kaget melihat aku menangis.

"Sayang kamu kenapa? Jangan nangis, besok juga kamu boleh pulang kok."

"Maafin aku Ma," ucapku.

Mama seolah mengerti maksud permintaan maafku. Dia tersenyum sumir. Mengangguk dan mencium keningku.

"Kamu enggak salah apa-apa sayang. Mama juga percaya kamu enggak pernah melakukan hal-hal buruk sama Zefran, ucapan guru bernama Dodi itu enggak usah dipikirin."

"Mama kecewa sama Zefran?"

"Sayang, awalnya Mama emang kaget sama sikap Zefran waktu di ruang BK. Tapi pas dia udah cerita tentang itu, Mama sedih, kamu enggak pernah cerita sama Mama soal masalah ini." Mama mendongak, menahan air matanya supaya tidak jatuh.

Mama mengelus tanganku. "Mama merasa beruntung Zefran yang jadi pacar kamu. Dia berani mengungkap semua keburukan guru itu. Memang... cara dia salah, tapi kalau enggak cepat-cepat dibongkar, bisa-bisa guru itu makin seenaknya."

"Mama juga cerita sama papa soal masalah ini. Papa marah, dia juga mengumpat habis-habisan sampai mau laporin ini ke polisi, tapi pas Mama ceritain soal Zefran, papa jadi pengin ketemu Zefran katanya." Mama tersenyum dengan tatapan menggoda seakan sedang menghiburku.

"Nanti kalau papa pulang, Zefran suruh ke rumah ya?"

"Jangan Ma, Zefran belum siap ketemu papa katanya."

"Ya harus siap dong. Berani macarin anaknya masa enggak mau ketemu papanya?"

"Ih jangan dulu deh, Mama." Aku merengek kepada mama.

"Iya, iya, nanti kamu yang bilang sama papa ya?"

Aku mengangguk. Pandangan kami teralihkan saat pintu terbuka. Mendapati Zefran datang bersama Aziza. Mungkin mereka bertemu di luar, atau Zefran menanyakan kabarku kepada Aziza? Aku tidak tahu.

"Ini handphone lo."

Aziza memberikan ponselku. Dia memberi kode kepada mama mengisyaratkan agar meninggalkanku berdua bersama Zefran.

"Mama ke luar dulu ya."

"Tante."

"Iya Zefran?"

"Hmm, Zefran mau minta maaf soal kemarin di sekolah-"

Mama menepuk bahu Zefran sembari tersenyum. "Tante tau alasan kamu melakukan itu, jangan merasa bersalah, apalagi kalau sekarang kamu menang. Terima kasih ya, Zef."

Aku tidak mengerti dengan ucapan mama, namun Zefran tersenyum dan mengangguk. Mama dan Aziza melangkah keluar, membiarkan ruangan ini hanya diisi oleh dua insan yang merasa beruntung saling memiliki, aku dan Zefran.

"Kamu udah sehat?"

"Kalau aku udah sehat, enggak mungkin masih ada di sini."

Zefran tertawa. Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Lalu memberikannya kepadaku.

"Cokelat?"

"Bukan, tanda kasih sayang."

"Oh ini tanda kasih sayangnya?"

"Maunya apa dong?" Zefran melipirkan rambutku ke belakang telinga. "Cantiknya ketutup," ujarnya sambil tertawa.

"Eh iya aku punya kabar baik buat kamu!" serunya.

"Apa? Bercanda?"

"Ih serius, Pak Dodi dikeluarin dari sekolah," bisik Zefran.

"Jangan bercanda."

"Serius sayang, mau tau ceritanya?" Aku mengangguk.

"Pas kemarin kamu pulang, aku dan dia disuruh ke ruangan kepala sekolah. Di sana juga ada Rena, Faldi, Rendi, Tiwi, sama anak-anak dari kelas lain yang katanya pernah digodain sama guru genit itu. Pokoknya suasana panas banget, tegang, apalagi waktu guru genit itu melawan kepala sekolah, dia enggak terima karena dipecat, dan mereka hampir baku hantam di depan anak-anak dan guru lain."

Zefran tertawa di ujung ceritanya. Aku hanya tersenyum penuh syukur di hadapannya. Melihatku yang tidak tertawa mengikutinya, Zefran memandangku sembari membelai rambutku.

"Makasih ya Zef," ucapku pelan.

Zefran tersenyum kepadaku sambil menggenggam erat tanganku.

"Zeen, ketakutan kamu itu keresahan aku, keresahan itu harus diatasi. Kebahagiaan kamu itu adalah janji aku kepada diriku sendiri. Sementara kehadiran kamu, itu anugerah bagi aku. Aku harus selalu ada di samping kamu."

"Aku sayang sama kamu Zeen," ucapnya pelan. Dia mengeratkan genggamannya. Aku tersenyum banyak makna, salah satunya bahagia. Terima kasih Zefran, kau lebih dari sekadar yang kusayangi.

***

Terima kasih sudah membaca 😊
Semoga bertahan sampai part akhir dan enggak bosan baca By My Side ya! 😆 Lanjut ke part berikutnya yuk❤️

[Revisi : Februari 2021]

By My SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang