Scene 12: New Hope

178 22 1
                                    

Normal's POV

Rukia terpaku pada kaca jendela, melihat cahaya mentari siang masuk menghangatkan ruangan. Juga kulitnya yang pucat, Rukia perlahan bisa mengenal itu, apa yang namanya dilingkupi kehangatan. Jari-jari kakinya tidak lagi terasa dingin. Kakinya mulai bisa menapak pada lantai. Sedikit demi sedikit dia bisa menggerakkan ototnya—kemampuan untuk memulai kembali. Bertahan hidup.

Tiga bulan bukan waktu yang sebentar. Pemulihan Rukia berjalan bertahap, di sebuah rumah sakit New York, di mana dirinya perlahan menemukan kembali apa itu yang namanya hidup. Bernapas lebih baik. Merasakan detak jantung di bawah tulang dadanya. Gesekan dari jari-jari tangannya membangunkan sarafnya akan sentuhan. Kesadarannya berangsur pulih, walau bibirnya masih terkatup kelu.

Rukia tidak bicara satu kata pun. Pertama kali dia melihat sang perawat—gadis muda itu mengatakan bahwa namanya Momo—Rukia sama sekali tak memedulikannya. Momo melakukan apa yang dia bisa, berusaha membantu Rukia ketika rasanya mustahil untuk mengembalikan emosi gadis itu.

Rukia seperti tubuh yang kosong tanpa jiwa. Satu bulan pertama. Matanya hanya terpaku pada dinding kamar rumah sakit. Dia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Infus tak lepas dari tangannya yang ringkih.

Satu bulan berikutnya, Rukia mulai merespon. Perlahan, kata-kata Momo mulai bisa didengar baik oleh telinganya, ditangkap maksudnya. Kakinya berusaha digerakkan, berganti posisi semakin ke ujung ranjang. Sedikit perjuangan masih tersisa di sana—sedikit lagi lebih lama.

Bukan hal mudah untuk kembali dari kondisi terburuknya. Trauma dan depresi berat membuat Rukia seakan menutup diri dari dunia. Seperti boneka yang teronggok di sudut kamar hingga berdebu. Dengan sentuhan lembut dan perhatian dari seseorang—dokter dan perawat yang membantunya melewati masa terapi— dirinya mulai bisa mengenal apa yang namanya kehangatan.

Yang sekarang dirasakan jari-jarinya, menyentuh jendela kaca, direntangkan lebar. Rukia menatap ke mana langit biru membentang di atas kepalanya, dan hijaunya halaman belakang rumah sakit seperti sebuah harapan. Di dunia kecilnya, dia ingin mulai berlari dan memeluk angin.

Buku di tangan kirinya masih tergenggam erat. Sebuah pelarian kecilnya yang membantu Rukia menemukan jati dirinya. Satu demi satu buku yang diletakkan di meja samping tempat tidurnya—Rukia membaca itu seperti cerita kehidupannya yang berjilid.

Minggu demi minggu dihabiskannya dengan membaca, seperti adiktif akannya. Lebih dari empat buku sudah diselesaikannya tanpa keluhan. Dan sesekali Momo bertanya kepadanya, apa yang telah dibacanya hari itu. Rukia menunduk dengan bibir terkatup rapat. Suatu hari bisikan lembut seakan membangunkan dirinya. Hentakan yang cukup kuat—rasa antusias yang dirasakannya— ingin membagi sebagian apa yang sudah ditemukannya dari sebuah buku.

"If you've ever wondered where your dreams come from when you go to sleep at night, just look around. This is where they are made. "

"Apa?" tanya Momo, sedang melipat selimut putih yang baru digantinya.

"Hugo Cabret," bisik Rukia, menautkan jari-jarinya. "Buku yang kubaca."

Momo menepukkan tangannya antusias. Senyum tertarik lebar di wajahnya. "Kau sudah selesai membaca buku kelimamu. Kau menyukainya?"

Rukia mengangguk, matanya tidak melihat ke arah Momo. Masih terlalu ragu untuk memulai. "Sejauh ini iya."

Momo menyampirkan selimut di sofa dekat jendela. Dia melangkah ringan, terduduk di atas kasur tepat di sebelah Rukia. Matanya mengerjap, kakinya mengayun ke depan dan ke belakang.

"Kau sudah mengalami kemajuan pesat, Rukia. Tiga bulan. Aku masih bisa mengingat saat bertemu pertama kali denganmu."

Rukia membisu. Dia hanya menatap keluar jendela. Mencoba untuk membayangkan bagaimana rasanya berjalan-jalan di luar sana.

Black Hair Girl | BLEACH; IRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang