Episode 1

499 14 2
                                    



Matahari mulai bangkit dari tidurnya, cahayanya menyeruak dari ufuk timur langit kota Jakarta begitu hangat terasa di kulitku. Embun pagi bergulir di antara dedaunan pohon pinus yang terletak di depan sebuah rumah kecil. Rumah yang bahkan sudah lebih tua daripada umurku sendiri. Rumah yang sepi, tak hanya sepi orangnya tapi juga sepi akan kenangan setidaknya bagiku. Sudah bertahun lamanya aku dan ibuku tidak tinggal di rumah ini, sejak lahir hingga beranjak seperti ini aku tinggal di Semarang, rumah tanteku. Tapi karena Ibu tidak ingin merepotkan lebih banyak, ia memutuskan agar kami kembali ke Jakarta, rumah yang Ayahku tinggalkan untuk Ibu. Ini adalah rumah pertama Ayah dan Ibu setelah mereka menikah, yang aku dengar rumah ini dibeli Ayah saat dirinya akan meminang Ibu. Waktu itu Kakek tidak akan mengizinkan Ayah menikahi putri satu-satunya kalau Ayah tidak punya rumah sendiri. Alhasil, susah payah Ayah bekerja dan mencari pinjaman untuk membeli rumah dan terbelilah rumah kecil ini, rumah yang sangat kecil untuk keluarga kecil. Setidaknya ini tetaplah rumah, dan Kakek waktu itu langsung menikahkan putri yang sangat disayanginya itu. Pernikahan sederhana yang hanya di hadiri kerabat dekat dan tetangga rumah. Kebahagiaan menyelimuti ayah dan ibu, hari-hari penuh warna dan kemesraan yang bahkan membuat para tetangga iri. Hingga berita kehamilan ibu menjadi puncak kebahagiaan keluarga kecil kami.

Saat memasuki usia kehamilan lima bulan, sayangnya, ayah divonis menderita kanker. Awalnya ayah menyembunyikan penyakitnya dari ibu agar dia tidak stres, takut mengganggu kehamilannya itu. Namun, sehebat apapun ayah menyembunyikan, semakin lama kanker menggerogoti tubuhnya dan akhirnya ibu mengetahui rahasianya. Awalnya ibu sedikit syok dan khawatir tapi dia berhasil mengendalikan diri. Mereka memutuskan untuk kembali ke Semarang dan tinggal bersama Tante Mutia yang dengan sukarela mengajukan diri membantu merawat keluarga yang sedang dilanda kesusahan. Terbukti, Tante Mutia seakan seperti malaikat yang mengangkat sedikit beban, membiarkan kami bernafas lebih lega, ibu dengan kehamilannya, dan ayah dengan perjuangannya melawan kanker.

Sayang seribu sayang, beberapa minggu sebelum aku lahir ke dunia ini, ayah kalah dalam pertempurannya. Keluarga kami berduka, kehilangan sesosok ayah dan suami yang sangat dicintai. Kelahiranku di dunia menjadi sebuah cahaya kecil yang menerangi kegelapan, merubah duka menjadi tawa, membawa kembali cinta yang sempat pupus setelah badai. Begitulah kisah perjalanan aku dan ibu ku hingga akhirnya setelah enam belas tahun tinggal di Semarang kembali lagi ke Jakarta.

Bau khas rumah tua masih terasa kental di udara, kami baru sampai kemarin sore dan masih banyak bagian yang belum dibersihkan. Rasanya pulang sekolah nanti akan ku bersihkan lagi agar baunya mereda. Sebenarnya sih tidak begitu masalah, karena anehnya aku menyukai bau rumah tua, terasa antik. Ada begitu banyak perabot dan segala macamnya yang sudah berumur lebih tua daripada aku, mungkin ada beberapa yang bisa dibuang agar tidak terasa sumpek.

Aku melihat jam dinding, sudah hampir jam enam, sebaiknya aku cepat-cepat membuat sarapan kalau tidak aku bisa telat di hari pertama orientasi siswa. Sungguh, ku rasa tidak ada yang ingin terlambat apalagi di masa orientasi. Aku mendengar cerita orientasi sekolah di Jakarta itu cukup menyeramkan, seorang murid orientasi bisa disangka badut atau orang kurang waras hanya karena dandanannya yang cukup nyeleneh. Tapi pagi ini aku tidak diminta untuk menggunakan yang aneh-aneh, cukup kalung identitas yang kelewat besar dengan nama, umur, dan kelas tertulis tak kalah besar pula, hanya itu saja tapi aku sudah harus menggunakannya dalam jarak lima ratus meter dari sekolah. Bagaimana aku bisa menghitung jaraknya coba? Bagaimanapun juga ini lebih sederhana dari yang kubayangkan sebelumnya, atau ini hanyalah permulaan? Semoga saja tidak.

"Bu, sarapannya dimakan ya, udah Rama buat tadi. Rama berangkat dulu ya," aku mencium tangan ibu lalu buru-buru mengeluarkan sepeda dari ruang tamu.

Saat Kau Menemukan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang