Melawan Takut

46 6 1
                                    

Hari demi hari telah dilewati, sampai pada hari dimana perubahan kedaiku diresmikan. Tak seperti pada peresmian dulu yang dimana dihadiri oleh keluargaku, sekarang hanya ucapan lewat video call dari mereka. Itu tidak masalah bagiku, yang terpenting adalah do'a tulus mereka untuk masa depanku dan bisnisku. Tidak dihadiri keluarga bukan berarti tidak dihadiri sahabat dan teman-temanku, mereka semua hadir dalam peresmian ini termasuk juga teman-temannya Gilang.

Ucapan-ucapan selamat pun aku dapatkan dari mereka, selain daripada jabatan tangan juga pelukan-pelukan sahabat aku dapatkan.
Tidak ada harapan lain selain daripada kesuksesan bisnisku, semoga tidak ada lagi orang-orang iri yang merasa tersaingi oleh kedaiku. Karena akupun tidak pernah menganggap mereka saingan, aku selalu menganggap teman karena kita sama berbisnis.

Syukurlah setelah peresmian selesai, satu persatu pengunjung datang ke kedaiku. Sambutan baik dariku juga karyawanku, ya saat ini Kiki dan yang lain aku panggil karyawan karena sekarang memang konteksnya sedang dalam pekerjaan. Oh iya, ada tambahan satu karyawan baru mengingat waiters waktu itu hanya Kiki saja.

Dan mengenai konsep kedai baruku sekarang, Gilang banyak berperan disini. Dia membantu keinginan terpendamku dalam konsep kedai kopi. Kedai kopiku yang baru ini mengusung tema kedai kopi Sunda modern, karena aku ingin mempertahankan kesundaan itu. Dimana aku lebih banyak menggunakan kopi asli dari Jawa Barat, aku mencoba hal baru itu tujuannya untuk lebih mengenalkan kopi sendiri ketimbang dari luar Jawa Barat. Hanya satu jenis kopi yang dari luar Jawa Barat yaitu pasokan kopi dari pamannya Gilang kopi Jawa dari Jogja.

Hal ini banyak memiliki resiko, terlebih mengenai penyesuaian rasa yang kebanyakan dari orang-orang sudah terbiasa dengan rasa kopi dari luar Jawa Barat seperti Gayo dari aceh. Tetapi ini merupakan sebuah tantangan yang menyenangkan bagiku dimana kedai dulu itu aku lebih banyak menggunakan kopi luar Jawa Barat.

Sekarang ada enam jenis kopi yang aku gunakan. Enam jenis kopi itu adalah Kopi Gunung Puntang, Kopi Mekarwangi, Kopi Malabar Honey, Kopi Java Cibeber, Kopi West Java Pasundan Honey, dan Kopi Andungsari. Ke enam jenis kopi tersebut akan yang akan menjadi ciri khas dari kedaiku. Tujuan lainku adalah untuk membantu para petani lokal agar lebih semangat lagi dalam berkebun kopi. Membantu dalam meningkatkan perekonomian mereka.
Karena kopi Jawa Barat ini mempuanyai ciri khas yang unik menurutku.

Kali ini aku mengumpulkan semua teman sekaligus karyawanku.
"Teman-teman semuanya, aku berharap semoga kedai kita ini ramai oleh pengunjung ya optimis aja. Anggap aja kita tidak pernah seperti ini dulu anggap aja ini baru pertama kalinya kita memulai kembali. Kali ini apapun yang akan terjadi nanti kita harus bertahan."

"Kita optimis kok cit, tenang aja Insha Allah pelanggan kita yang dulu pasti balik lagi ke kita kok."

"Kita berdo'a aja, yang penting kita udah berusaha. Yakin aja, Allah selalu bersama kita kok."

Aku melihat wajah-wajah karyawanku ini, mereka semua terlihat senang. Aku bahagia, semoga keberuntungan selalu dipihakku.

"Cit kamu gak akan pulang, besok kamu kan sidang" tiba-tiba Aldy mengingatkan untuk pulang.
"Kamu pulang aja cit, kedai serahin ke kita aja"

"Iya teh Citra lebih baik pulang aja, kasihan cape udah dari tadi siang disini ngurisin kedai" timpal Ayu.

"Emm yaudah deh, aku pulang duluan ya gak apa-apa? Kalian semangat ya. Kita sampai jam 10 aja, kecuali kalo ramai, inget kalian juga dari siang"

"Santai cit kita kan udah biasa begini" jawab Aldy

"Ok deh aku pulang duluan ya, sukses buat kalian semua aku percaya kalian kok"

"Oh iya Gilang mana cit kamu pulang sama si Gilang aja" Kiki yang tiba-tiba mengingatkan pada sosok laki-laki itu, yang memang sejak dari tadi tidak bersamaku.

Kamu akan menyukai ini

          

"Ah iya Gilang kemana ya kok gak sama kita." aku yang sudah mulai mencari keberadaan Gilang.

"A Gilang lagi di depan Cit dia lagi ngobrol gitu sama temennya mungkin." timpal Ranty.

Tiba-tiba ada yang datang, dan ternyata sosok itulah yang sedang kami bicarakan.

"Gimana kalian semangat kan?" sapa Gilang.

"Semangat kang" jawab semua.

Setelah sedikit berbincang, akupun pulang yang diantar oleh Gilang dengan sepeda motornya.

Malam itu banyak yang aku dan Gilang bicarakan dalam perjalan mengantarku ke rumah, dan tak sengaja akupun memeluk Gilang entah karena apa jika dikata dingin memang udara malam selalu dingin. Entahlah karena ada rasa nyaman yang tiba-tiba menyeruak dalam hati, yang lebih anehnya kenapa Gilang tetap membiarkanku memeluknya. Apa diapun merasakan hal yang sama denganku atau apa?

Apa yang terjadi pada diriku saat ini, mengapa aku begitu terbuka padanya. Dengan mudah aku selalu menceritakan tentang hidupku padanya. Aku juga menjadi tidak canggung ketika dekat dengan laki-laki. Contohnya sekarang saja aku sudah berani memeluknya padahal dia bukan pacarku.
Tidak biasanya aku seperti ini. Mengingat dulu aku selalu menjaga jarak dengan setiap laki-laki yang berusaha dekat denganku. Bahkan jika harus mengingat lebih jauh, terakhir aku pacaran ketika SMA. Mati-matian aku berjaga jarak perasaan dengan laki-laki, bahkan dengan laki-laki yang selama ini aku taksirpun tam pernah sedekat dengan Gilang.

Desiran itu di dalam dada yang menyisir dalam kembali lagi
Apa aku sedang cinta?
Cinta pada cucu adam?
Aku belum menemukan jawabannya.

Sampai di depan rumah aku melepaskan pelukannya ketika turun aku sedikit malu karena sekarang aku harus melihat wajahnya.

"Makasih ya, makasih untuk semua bantuannya selama ini."

"Iya sama-sama aku seneng bantuin kamu. Aku suka lihat kamu bahagia, jangan sedih-sedih lagi ya sekarang kan udah punya kedai baru."

"Iya" jawabku senang dan malu.

"Yaudah masuk gih aku lihat dari ini, sukses sidangnya besok."

"Iya amin makasih"

"Sama-sama"

Aku tidak langsung masuk, aku malah tetap berdiri disana yang membuat Gilang bingung.

"Kok gak masuk?" sapanya yang bingung.

"Emmm, gil.. Maaf tadi aku meluk kamu"
Saat itu pipiku benar-benar terasa panas mungkin sekarang sudah memerah, daripada aku tambah malu lebih baik aku segera masuk saja. Berlari, ya aku berlari menuju rumah tanpa menunggu jawaban dari Gilang.

♥♥♥♥.....

Keesokan paginya dalam perasaan tidak tenang, gerogi karena hari ini aku akan mengahadapi sesuatu yang tidak biasa. Sidang skripsi, penentuan akhirku.
Berulang kali aku meneguk air minum dalam botol bekalku, sesekali aku berdo'a memohon kelancaran dan ketenangan. Berbincang dengan teman-temanku yang lain, yang merekapun memiliki perasaan yang sama denganku, deg-deggan, gerogi tidak tenang.

Dan sekarang giliranku untuk masuk ruangan Sidang, sebelumnya Ineu temanku sudah terlebih dahulu memasuki ruangan sidang. Setelah dia keluar ekspresinya terlihat muram, entah apa yang terjadi dia sama sekali tidak bicara. Aku jadi berpikiran macam-macam tentangnya. Antara ingin tahu hasilnya dan ingin tahu pertanyaan apa yang dilontarkan penguji.

Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di dalam ruangan panas nan menegangkan itu meskin berAce tapi aku lebih suka menyebutnya panas, aku sedikit bisa bernapas lega dan tak percaya. Apa ini mimpi?

Tadi itu apa? Ketika ditanya oleh penguji dan jawabanku, ya ampun apa yang aku lakukan. Itu benar-benar menegangkan.
Satu hal yang kuingat untuk mengurasi ketegengan dalam diriku adalah percaya diri dan percaya pada Tuhan.
Tenang, tenang bahwa penguji adalah manusia yang dulu mereka juga pernah mengalami masa-masa seperti ini. Optimis itulah satu kata dalam hatiku, sejauh ini aku sudah berusaha dengan keras. Sekalipun aku tidak lulus aku tidak apa-apa siap tidak siap aku harus ikhlas menerimanya.
Dan kenyataannya hari itu memang harinya aku. Aku dinyatakan Lulus Sidang Skripsi.
Oh.. Betapa bahagianya aku, perasaan gembira benar-benar menjalar semua tubuhku, air mataku pun mengalir karena bahagia dan tak percaya.

Aku ingat, aku ingin segera bertemu dengan Ineu sekarang. Aku ingin tahu bagaimana dia sebenarnya, tapi sayang aku tidak melihatnya. Kemana anak itu, disaat seperti ini malah menghilang.

Ketika aku sedang mencari keberadaan Ineu, ada seseorang yang menepuk pundakku. Ku pikir itu Ineu, tapi ternyata bukan.

"Jie.." sapaku saat melihatnya.

Iya dia adalah Adrian Akbar Jie. Keturunan Tionhghoa dan kata Jie dalam bahasa Tionghoa artinya bersih, bersih sesuai dengan kepribadiannya. Dia sering dipanggil Jie. Meskipun keturunan Tionghoa dia memeluk agama Islam sejak dua tahun lalu.
Anaknya baik, pintar, tinggi, putih dan termasuk laki-laki yang banyak penggemar perempuannya termasuk aku. Sudah sejak lama aku mengaguminya dari awal masuk kuliah, tetapi aku tidak berani mengungkapkannya. Aku malah lebih memperlihatkan sikap acuh padanya, aku tidak ingin Jie tahu bahwa akupun mengaguminya bahkan lebih dari sekedar kagum. Biarlah rasa ini terpedam lama, aku percaya jika berjodoh dia akan segera tahu perasaanku terhadapnya.

"Kamu lagi ngapain? Udah sidangnya?"

"Aku lagi cari Ineu, pengen tahu dia lulus apa nggak." ya aku benar-benar ingin tahu nasib Ineu, aku khawatir padanya.

"Sayang, aku gak lihat dia cit. Oh iya gimana hasil sidang kamu?"

"Aku" sambil menunjuk diriku sendiri. "Alhamdulillah Jie, oh iya selamat ya kamu juga udah lulus sidang jadi nanti bisa wisuda bareng"

"Syukurlah, makasih ya. Alhamdulillah dari awal masuk kuliah sampai mau wisuda kita barengan terus, semoga Allah juga nanti menyatukan kita lagi dalam nuansa yang berbeda."

Sebentar aku mencerna kata-kata Jie barusan. Apa maksudnya dia mengatakan itu? Apa Jie udah tahu perasaan aku terhadapnya.

Tak berapa lama Ineu datang menghampiriku lalu memeluku.

"Citraaa, selamat ya kamu lulus jadi nanti kita bisa wisuda bareng."

"Tunggu,,, tunggu kamu juga lulus neu? Bilang sama aku iya neu, terus tadi kenapa wajah kamu muram gitu?"

"Hahaaa iya aku juga lulus cit, tadi aku cuma sedang berakting."

"Berakting" sambil melepaskan pelukan Ineu.

"Iya hehee just kidding" menunjukan dua jarinya.

"Dasar ya kamu, syukuran yuk ajak yang lain ngopi-ngopi di kedai baru aku."

"Kedai kamu udah berjualan lagi cit." timpal Jie yang masih disana menyaksikan adegan persahabatan itu.

"Iya Jie, kamu juga ikut ya ngopi di kedai baru aku?"

"Iya Jie kamu ikut ya, biar sekalian nebeng pake mobil hahaaa" sahut Ineu yang dibalas ledekan olehku dan Jie.

Puncak pencapaian manusia adalah ketika bisa melewati gunung pendidikan tertinggi dalam hidupnya.

Rasa Asli KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang