satu // tak terbalas

4.3K 611 15
                                    

"Gila, ya, Git, baru berapa pertemuan, tugas kita udah numpuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gila, ya, Git, baru berapa pertemuan, tugas kita udah numpuk. Jangan-jangan guru-guru tuh memang janjian buat kasih tugas? Masuk akal, kan? Hampir semua pelajaran ada aja pe-ernya. Pusing gue."

Audri, teman sebangkuku di kelas tiada hentinya mengomel. Kami sedang berada di kios jus sekolah, menunggu pesanan datang. Jus mangga untuk Audri, alpukat tanpa susu cokelat untukku.

"Ya masa mau santai-santai terus, sih, Od," kataku sambil geleng-geleng. Omong-omong, Od adalah nama panggilannya, berasal dari Odri. Ia sendiri yang meminta aku—dan teman sekelas—memanggilnya seperti itu. Lebih imut, katanya. Ada-ada saja. Pertama kali berkenalan dengan Audri, pribadinya memang sangat supel dan banyak bicara, mengimbangiku yang lebih suka buka suara kalau ada perlunya. 

"Tapi, Git, tetap nggak manusiawi!" Bibirnya mencebik kesal. "SMA jadi nggak seindah bayangan gue waktu SMP, deh. Kecewa, kecewa, kecewa."

Aku terkekeh melihat tingkahnya. Jus buah kami pun datang. Audri segera menyedot jus mangga kesayangannya banyak-banyak sampai aku bertanya-tanya apakah ia belum minum sama sekali hari ini. 

"Ah, gila, seger banget." Audri memejamkan mata mendalami perkataannya. Ia kemudian melontarkan tanya sambil mengaduk-ngaduk jusnya, "Btw, lo ada rencana ikut bimbel, Git?"

Aku mengangkat bahu. "Belum tahu. Tergantung orangtua, sih. Kalau mau gue daftar, ya daftar aja, kenapa nggak."

"Duh, rajinnya teman gue satu ini." Audri membuat mimik wajah yang membuatku mengernyit, tapi mau tak mau aku tergelak. Tingkah Audri selalu dapat mencerahkan situasi.

"Lo gimana?" balasku bertanya.

"Nggak, ah. Masih kelas sepuluh, lagian. Nanti aja kalau udah mau kelas dua belas. Gue mau menikmati masa SMA dulu karena konon katanya masa SMA adalah masa-masa terbaik sepanjang hidup."

Aku menganggukkan kepala, mengiakan saja apa yang Audri percayai. Sejujurnya, aku tidak begitu mempermasalahkan hal semacam itu; yang aku tahu, kewajibanku hanya belajar dan memanfaatkan waktu di SMA-ku sebaik mungkin. Kata Ibu, aku harus bisa mengimbangi akademik dan non-akademik.

Ah, benar juga. Mungkin kau bertanya-tanya, apa kabar lelaki pahlawan di hari Senin itu? Memang seminggu telah berlalu dan aku tidak pernah lagi melihatnya meskipun kami satu sekolah. Lagi pula, Smagada merupakan sekolah yang sangat luas, menempati urutan kedua untuk sekolah terbesar di kota. Namun, rupanya, ia muncul lagi di tengah tawaku—akibat lelucon Audri—yang berangsur mereda begitu menangkap perawakannya menuju kios sebelah. Mata kami bertemu. Untuk beberapa saat, aku bingung harus melakukan apa. Namun, mengingat kebaikannya, sudut bibirku terangkat rendah.

Mengejutkannya, ia mengalihkan pandangan seolah tak melihat apa-apa, justru menimbrung candaan teman-temannya dan terbahak bersama.

———

crescent.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang