"Lis?"
"Kenapa telpon?"
"Ini lagi istirahat 'kan?"
"Hmm,"
"Lisa, aku takut,"
"Kenapa?"
"Aku abis mimpi buruk,"
"Sialan! Gue kira apa,"
"Tapi semua itu kayak nyata, eh, maksudku hampir,"
"Maksud lo?"
"Jadi, aku mimpi ditinggalin Ummi buat jemput Raffa yang tiba-tiba sakit, terus kejadian beneran,"
"Gitu doang?"
"Enggaklah. Terus, ada yang dateng. Dia bilang aku perebut kebahagiaanya, dijauhi sahabatnya gegara aku, intinya semua karena aku. Dia juga bilang, Regan mau donorin matanya ke aku,"
Bella menunggu balasan Lisa. Di sisi lain, Lisa sedang menghubungkan setiap ucapan Bella dan menebak siapa itu.
"Siapa dia?"
"Anna,"
"Gak mungkin,"
"Aku juga berpikir gitu,"
"Cuman mimpi, sante aja,"
"Iya, tapi ada yang lebih parah,"
"Apa?"
"Saat itu juga, Anna bunuh aku,"
"Tambah gaje 'kan,"
"Iya sih, tapi separuh mimpi itu udah kejadian. Aku takut separuhnya lagi bakal kejadian,"
"Kebanyakan sinetron lo,"
"Aku takut,"
"B aja kali,"
"Kamu enak ngomongnya,"
"Gue dipanggil bu Mprit,"
"Ya udah, bye,"
'Tit!'
Lisa memutuskan sambungan terlebih dahulu. Ia segera pergi dari rooftop untuk menuju kelas. Semenjak Bella masuk rumah sakit, Lisa semakin longgar untuk membolos.
Bahkan setiap pagi, dia hanya menaruh tas di bangku. Lalu saat jam pelajaran ia akan bersantai di rooftop, makan di kantin, pura-pura tertidur di perpus, atau pura-pura sakit di UKS.
Ia tak melihat Anna pagi ini. Apa memang Anna sedang sibuk olimpiade dan belajar di perpus?
Lisa pun masuk kelas. Mengedarkan pandangan, tak ada Anna. Ia membuka absensi tebal di meja guru. Anna sakit? Perasaan kemarin sehat-sehat saja saat bernyanyi di KVnya.
'Ada yang gak beres,' batin Lisa.
Lisa mengambil kunci motor di tasnya. Berniat akan menuju Bella. Tapi... penjagaan hari ini sangat ketat. Gara-gara kemarin ia kabur dari sekolah.
Apalagi, masih ada polisi yang lagi ngomong-ngomong sama kepsek di lapangan. Hari ini hari Senin. Yang jadi pembina upacara tadi pagi polisi. Gara-gara banyak anak SMA yang jadi pecandu narkoba, makanya polisi itu sekedar memberi ocehan buat takut-takutin lewat dampaknya narkoba.
Lisa menghela napas, mengedarkan pandangan ke seluruh sekolah. Berpikir celah mana yang bisa untuk kabur. Pandangan Lisa terhenti di kelas tetangganya. Ia teringat sesuatu.
'Lebih baik gue ngadem di rooftop lagi," batin Lisa.
***
Bella meletakkan ponselnya. Ia bingung harus melakukan apa. Bermain ponsel pun tak bisa. Telpon Lisa saja tadi, Umminya yang membantu sebelum keluar.
Radio.
Bella mengambil radio di nakasnya. Bella menekan tombol yang sudah dihapalnya.
'Klik,'
🎵Dan andaikan esok,
Tak lagi napasku temani dirimu,
Sesuatu yang teduhkan hat-🎵'Lagu itu!' Bella melebarkan matanya terkejut. Tubuhnya menegang. Sontak Bella menekan kembali tombol yang lain.
🎵Pun aku merasakan getaranmu,🎵
Bella menyenderkan badannya lega. Jantungnya berdegub kencang. Lagu yang pertama tadi persis seperti yang di mimpinya. Setidaknya lagu yang kedua ini terdengar lebih santai.
Bella sedang berusaha mencari cara agar tak seperti di mimpinya itu. Mungkin mengubah jalan di awal akan mengubah yang di akhir juga.
'Pisau!' batinnya. Mungkin itu bisa menjadi alat perlindungan diri. Pisau buah.
Bella segera meraba nakas di sampingnya. Obat, bulpen, notes. Mana keranjang buahnya?
Bella sedikit menggeser posisinya. Ia mematikan radionya dulu. Bella berusaha mencari.
Dapat!
Keranjang buah semakin didekatkan oleh Bella. Buah bulat, pisang, rambutan, mana pisaunya?
'Cklek!'
'Deg!'
'Gawat! Mana pisaunya? Apakah ajalku sudah dekat?' batin Bella sambil masih mengulurkan tangannya.
Akhirnya Bella bisa meraih pisaunya. Tubuhnya menegang. Ia menggenggam erat pisau bagian bawah.
"Siapa?"
Tak ada sahutan. Tiba-tiba ada yang merampas paksa pisaunya. Bella kalah. 'Sepertinya memang takdirku mati hari ini,'
[SKIP]
Mimpi itu begitu persis. Ucapan Anna pun begitu mirip. Seluruhnya. Perkataan Anna tak ada yang berbeda dari mimpi kemarin.
Anna memang menyukai Rey.
Anna rangkingnya turun karena Bella.
Anna bekerja keras karena Bella.
Semua itu karena Bella.
Dan, Bella tak menganggap lagi Anna temannya.
Hanya saja...
"Ini benda pembawa kebahagiaan. Kebahagiaan yang aba-,"
'Cklek,'
"Lo gila!" teriakan itu membuat pisau meleset dari target. Pisau itu tak mendarat di jantung Bella, tapi di lengan atasnya.
Jleb!
Tau hal itu, Regan langsung mengambil P3k di samping pintu. Gadis yang hampir membunuh Bella itu lari menabrak Regan. Regan mencekalnya.
Gadis itu melepas tangannya paksa. "Lepasin!" ucapnya. Regan terpaksa melepaskan agar bisa cepat-cepat mengobati Bella.
Bella melebarkan mata saat mendengar suara itu. 'Suara itu! Berarti Anna gak sendiri dari tadi,' batin Bella. Pikirannya sedang tak jernih. Lengan dan telapaknya sakit bukan main.
Regan hanya melempar tatapan tajam pada Anna. "Kenapa lo diem aja?" nada Regan tampak begitu tak terima dengan kelakuan Anna. Anna yang di seberang ranjang hanya diam.
Bella hanya diam menangis sesegukan. Ia tak tau apa maksud semua ini. Regan memencet tombol di atas ranjang Bella, untuk memanggil suster karena darurat.
Entahlah, Bella benar-benar tak bisa berpikir sekarang. Jantungnya sedang tak beres jika dekat dengan lelaki di dekatnya ini. Regan begitu dekat.
Begitu juga dengan Regan. Aliran darahnya berdesir lebih cepat saat menyentuh kulit Bella. Baru kali ini mereka saling bersentuhan. Dalam benak, Regan begitu khawatir pada Bella-nya.
Regan ingin menghapus air mata Bella di pipinya. Ia ingin merengkuh Bella agar hatinya lebih tenang. Ia ingin membuat Bella tak banyak berpikir. Cukup musibah yang diderita Bella-nya selama ini. Kecelakaan, tuli, buta, apalagi?!
"Mana kunci borgolnya?!" emosi Regan pada Anna.
"Di-di Ratu," balas Anna gemetaran.
Apakah Regan telah menjadi penghalang mautnya? Regan penyelamatnya. Regan melirik nakas dan melihat sebuah peniti, Regan pun membuka borgol tersebut dengan peniti.
Terbuka.
Pergelangan tangan Bella merah. Pasti karena ia berusaha ingin melepaskan diri.
Hening.
Bella hanya pasrah tangannya diobati Regan. Tak mungkin ia menolak hanya karena bukan muhrim, mengobati dirinya sendiri malah lebih terdengar konyol. Melihat saja tak bisa. Anna hanya diam menunduk dengan air matanya.
Lilitan perban terakhir di tangan Bella.
Regan mengambil segelas air putih, ia mendekatkan pada mulut Bella.
"Minum,"
Nada bicara Regan kali ini dingin. Begitu tak enak di telinga. Bella menurut. Merasa cukup dengan beberapa tegukan, Regan menarik gelasnya dan diletakkan kembali.
"Tidur, ga usah banyak gerak," ucap Regan berusaha dingin. Bella merosotkan tubuhnya. Regan menarik selimut hingga ke leher Bella. Agar gadis yang dicintainya hangat karena mendengar ucapan dinginnya.
"Luka di lengan lo biar suster yang urus, tahan dikit bisa 'kan?"
Bella mengangguk kecil.
Regan langsung melenggang pergi. Ia memberi tatapan pada Anna untuk keluar. Anna lebih dahulu.
'Cklek,'
"Makasih," ujar Bella sambil tersenyum.
Langkah Regan terhenti. Ia menoleh, senyum itu masih ada.
Jantung Regan kembali berguncang, Bella tersenyum padanya? Itu yang ia inginkan, senyum cantiknya. Tapi, Regan tak boleh terpikat pada senyum itu, jika iya harus dihentikan.
"Gue tolong lo karena manusiawi, bukan yang lain," ujar Regan agar Bella tak salah paham. Bella tak boleh tahu kalau Regan sedang mengkhawatirkannya. Meskipun hanya lewat nada bicaranya juga.
"Aku tahu maksudmu," balas Bella. Regan tak menimpali, ia segera keluar. Regan tak ingin percakapan mereka semakin panjang.
Regan menatap Anna kesal.
"Lo udah gila?"
"Eh, a-aku gak bermaksud," ujar Anna terbata-bata karena tangisnya. Regan berdencih.
"Bella udah baik ke lo tapi, lo mau biarin dia mati hah?!" bentak Regan.
"Kamu ngomong gitu soalnya gak tau perasaanku!" balas Anna mulai terpancing kesal.
"Perasaan apa hah? Mana otak cerdas lo? Ternyata ini siswi yang paling dibanggain sekolah, mau biarin sahabatnya mati di depannya. Percuma pinter kalo gak punya hati," sindir Regan pedas.
"Aku masih punya hati! Gak mungkin aku biarin Bella mati gitu aja,"
"Mana buktinya, hah!" bentak Regan sambil menendang tong sampah di dekatnya. Anna terkejut, beberapa orang di sekitarnya langsung menoleh. Regan tak peduli, ia juga tak peduli kata kasarnya pada Anna.
Anna semakin menunduk. Regan duduk kesal di kursi dekatnya, ia ngos-ngosan.
"Kalo andai tadi gue gak dateng, Bella pasti udah mati. Dan gue gak segan-segan buat masukin lo ke penjara sama Ratu. Repurtasi genius lo langsung kotor kar-"
"Cukup Regan! Aku ngelakuin semua itu terpaksa," kesal Anna menumpahkan air matanya.
"Lo tau 'kan pengobanan gue ke Bella kayak apa? Tapi lo malah mau hancurin pengorbanan gue gitu aja,"
"Aku tau kamu cinta banget sama Bella. Bahkan, semua orang bisa liat itu. Aku minta maaf, aku gak ada maksud buat celakain Bella sama sekali,"
"Jelasin,"
"Aku gak bisa jelasin di sini,"