"Gue nggak tau ini semacam berita baik atau malah berita buruk."
Entah kenapa ucapan Somi tadi siang kerap mengiang-ngiang dalam kepalaku.Berita baik atau berita buruk, ya?
Benar juga. Kenapa aku baru terpikir sekarang? Ke mana saja aku selama ini?
Untuk kesekiankalinya aku memandangi barang pemberian Heejin.
Kira-kira apa ya, isinya?
Selama ini, aku tidak pernah memikirkan tentang hal itu. Aku tidak pernah memikirkan siapa yang memberi apa dan siapa yang memberi siapa. Selama ini, selama hampir satu tahun ini, aku melakukan semuanya dengan sukarela. Toh, hanya tinggal memberikan benda-benda itu pada mereka. Apa susahnya? Peran tokoh pembantu kan, memang seperti itu.
Harusnya aku senang jika banyak yang memberikan barang. Itu artinya banyak orang yang menyukai mereka. Itu artinya banyak yang sayang pada mereka. Itu artinya mereka adalah orang-orang yang baik. Bukankah seperti itu? Harusnya seperti itu, kan?
Tapi sekarang, aku merasa seperti ada sesuatu yang berubah. Seperti, ada perasaan yang tidak mengenakkan di dalam sana. Tapi apa? Dan, kenapa?
"Lah? Buat gue?"
Aku tersentak begitu mendengar sebuah suara yang sangat familiar tepat di sebelahku. Kotak itu sampai terlepas dari genggamanku dan menggelinding menjauh. Untung saja tidak sampai jatuh ke tanah.
"Eh, sorry. Gue ngagetin ya, Jen?" Jaemin meringis. Ia mengambil tempat di sebelahku.
Aku refleks bergerak mengambil jarak, bergeser ke sebelah Renjun. Aku juga tidak tau sejak kapan mereka berempat datang. Intinya, mereka semua sudah bersamaku sekarang.
"Lo kok pindah? Kan gue nggak sengaja, Jen."
"Gue bilang juga apa. Jeni tuh alergi sama lo," celoteh Haechan.
"Eh? Nggak nggak! Bukan gitu. Em ... Ini. Cuma mau ambil ini." Aku mengambil barang pemberian Heejin. Untung posisinya memang lebih dekat ke Renjun.
"Terus kenapa nggak balik duduk sini lagi?"
"Lo kira Jeni kain pel bolak-balik mulu?"
"Lo sekarang jadi juru bicaranya Jeni apa gimana? Ngejawab mulu dari tadi."
"Hehe. Ampun, Ndoro."
"Siapa, Jen?" tanya Jeno.
"Nggak ada nama pengirimnya," jawab Renjun.
"Oh, gue tau. Dari lo, ya? Aih, malu-malu wae, Jen. Sampe dibungkus segala. Mana mana? Sini. Dengan senang hati gue ter—"
"Halu banget jadi orang." Haechan menoyor kepala Jaemin.
Jaemin membuang napas kasar. "Lo kalo ada masalah sama gue ngomong, Bray!"
"Wehey, santai santai. Nggak usah ngegas juga kali, Jaem. Kan Aing becanda."
Renjun berdiri dan menyampirkan tasnya. "Gue duluan."
Aku sempat melirik Jeno, tapi dia memberi isyarat untuk mengabaikan saja. Aku menurut.
"Jen, minta air."
"Minta minta mulu lo kek pengemis."
"Lo hari ini kayaknya emang lagi cari gara-gara banget ya, Chan?"
Haechan terkekeh. "Gue duluan, ah! Nggak seru banget lo pada. Kek cewek PMS, sensian!" Haechan bergidik lalu beranjak, meninggalkan kami bertiga di gazebo .
"Eh, itu jadi nggak dikasih ke gue?"
"Eh? Ah, iya. Jadi." Aku menyodorkan kotak kecil itu pada Jaemin.
"Dari—"
"Heejin. Dari Heejin."
Alis Jaemin terangkat sebelah. "Heejin siapa?"
"Eng ... Jeon Heejin?"
Jaemin menggeleng, seperti tidak ada gambaran tentang nama yang baru kusebutkan.
"Demi apa lo nggak tau Heejin, Jaem?"
"Ya so what gitu loh? Ada peraturan yang mewajibkan gue untuk tau Heejin itu siapa? Nggak ada, kan? Siapa, sih? Hah? Saha?"
"XII-5, anak cheers. Dih, yakin lo sekolah di sini?"
"Yeee! Mana gue tau. Gue kan anak futsal, bukan anak basket. Tapi kok bisa sama lo, Jen? Ketinggalan, ya? Jatoh ya pas gue bawa?"
"Ng ... I-iya. Ketinggalan tadi."
Sambil memutar-mutar kotak itu, Jaemin mengangguk pelan. "Okelah. Nggak ada lagi?"
Aku menggeleng.
"Ya udah. Gue cabut ya, Jen." Jaemin berdiri dan menepuk pundak Jeno. "Cabut, Masbro."
• Aoratos •
Malam itu aku sedang mengerjakan pr di kamar. Lalu Jeno masuk dan langsung duduk di atas tempat tidur.
"Kenapa? Pulpen lagi?" tanyaku.
"Nggak."
"Terus? PR? Nggak mau. Belajar sendiri."
"Su'udzon mulu sama sodara sendiri."
Aku tertawa pelan. "Ya terus kenapa?"
Jeno tampak berpikir sejenak. "Jen, lo nggak bosen dititip-titipin mulu tiap hari?"
"Kenapa emangnya?"
"Berhenti aja, deh! Gue yang dikasih aja bosen."
Aku meletakkan pulpenku lalu memutar tubuh menghadap Jeno. "Lo bisa bilang begitu karena sekarang lagi dekat sama Yena. Coba dulu, mana ada mau mikir nolak-nolak kayak gini?"
Jeno memutar bola matanya. "Nggak usah bawa-bawa Yena. Kita nggak lagi ngebicarain gue. Kita lagi ngebicarain lo. Gue nggak enak sama lo, Jen."
"Jangan kayak orang lain gitu, deh. Enakin aja. Sodara sendiri, kan?"
"Tapi lo jadinya nggak bebas. Orang-orang pada istirahat, eh lo cuma mendekam di kelas. Gue maunya lo main ke kantin, nggak diam mulu jaga kandang."
"Ya kalau itu nggak bisa. Kantin kan buat makan, bukan buat main."
Satu boneka Rilakkumaku melayang. "Jayus tau nggak!"
Aku terkekeh. "Udah, ah! Sana keluar. Ganggu! Tugas gue masih banyak."
Jeno menurut. Ia beranjak dari tempat tidurku dan melangkah menuju pintu. "Gue tau kok yang Heejin itu bukan ketinggalan, tapi emang dia ngasihnya belakangan. Kalo lo emang nggak mau, lo bisa nolak kok, Jen. Lumayan, ngurangin saingan." Seperti itu, Jeno menutup pintu kamarku.
Entah kenapa temperatur di sekitarku terasa naik beberapa derajat.
Yang terakhir tadi itu untuk apa?
Handphoneku bergetar. Secara kebetulan beberapa chat masuk bersamaan. Dua di antaranya berhasil mengalihkan fokusku dari tugas sekolah.
LINE
Heejin:
Jen, bisa minta tolong?Renjun:
"No" exists for some reasons
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoratos | Jaemin
FanfictionHanya sebuah cerita singkat yang menegaskan bahwa tidak semua rasa suka harus berakhir bersama Dan tidak semua tokoh utama punya cerita yang berakhir bahagia "Gak usah kepedean. Dia baik sama semua orang." ©2018