D u a p u l u h d u a

16.7K 2.1K 1K
                                    

Beberapa hari setelahnya, mereka semua tetap bersekolah seperti biasa. Sekolahpun seperti tidak ada bedanya. Burung-burung tetap berkicau dipagi hari. Semua guru sibuk menyiapkan jadwal untuk pelajaran intensif Ujian Nasional, dan semua murid masih sibuk dengan urusannya —menggosip, juga barangkali beberapa anak rajin berdiskusi soal betapa susahnya memecahkan permasalahan matematika, dam beberapa diantaranya mengeluhkan agar matematika dapat memecahkan masalahnya sendiri.

Bedanya, "biasanya" trending topic dalam dunia gosip-menggosip adalah tentang artis entah-siapa-itu yang putus hubungan dengan entah-siapa-itu yang lain, Atau membicarakan tentang betapa asinnya soto kantin dan betapa juteknya penjaga warung nasi rames yang setiapkali dipanggil "tante" akan menaikkan harga makanannya seribu-duaribu lebih mahal dibandingkan apabila anak-anak memanggilnya dengan sebutan "kakak", padahal semua orang yakin usianya telah lebih dari kepala tiga.

Berbeda dari biasanya, kali ini mereka semua sibuk membicarakan tentang kematian Tzuyu. Membuat berbagai spekulasi. Dan parahnya, membicarakannya keras-keras seakan hal itu adalah headline super seru di sekolah.

Tentunya hal itu membuat telinga sahabat-sahabat Tzuyu panas. Terutama Mark.

Beberapa kali Mark rasanya ingin menghajar mulut-mulut tidak tahu diri tersebut. Tapi selalu Lucas tahan, karena ia tidak mau sepupunya berakhir diskors atau dikeluarkan dari sekolah di hari-hari akhir menjelang Ujian Nasional.

Tapi sayangnya, seberapa sering Mark menegur mereka, mulut-mulut itu tidak mau berhenti, seakan "kematian Tzuyu" adalah sebuah teka-teki yang selalu menyenangkan utntuk dibahas dengan berbagai cerita tambahan yang dikarang-karang.

Di kantin yang biasanya damai dipenuhi candaan anak-anak yang kelaparan, kini hanya ada manusia-manusia penggosip yang membuat Mark semakin merasa seperti di neraka.

"Itutuh cuma lantai dua, tahu. Mana ada meninggal?"

"Iya, harusnya paling patah tulang doang, gak mungkin sampe meninggal."

"Katanya ada yang bilang dibunuh, loh."

"oh, didorong dari lantai dua terus pembunuhnya hilang mirip-mirip kasus di buku misterinya jk rowling?"

"Ah enggak, anak sebelah cerita katanya dia depresi gara-gara gak dapet beasiswa ke luar negri."

"Hii masa sih?"

"Katanya juga, dia depresi karena menanggung malu soal kakaknya yang bunuh diri beberapa tahun lalu itu. Tau ceritanya kan? Itu bukan gosip loh. Katanya beneran!"

"Oh, yang katanya hamil diluar nikah ya??"

"Iya! Katanya juga—"

...

...

...

Mark lelah memendam amarahnya. Sampai-sampai ditelinganya yang terdengar hanyalah suara dengingan yang menyakitkan. Kepalanya sakit, amarahnya begitu memuncak.

Mark tidak tahan lagi...



BRAK



Tiba-tiba Jihoon datang menggebrak meja di sebelahnya lalu berteriak dengan marah. alisnya berkedut dan mulutnya menyunggingkan senyum memuakkan. tangannya masih mengepal disana, urat-urat tangannya menyembul seakan siap merobek kulitnya untuk menjotos mulut-mulut biadab tadi.

Mark menoleh dengan kaget. Syaraf dan imajinasinaainya berkata kalau ia telah memukul meja tersebut. Tapi yang ia lihat malah Jihoon yang berdiri disana dengan muka merah penuh amarah. lambat laun Mark sadar, ia tidak cukup berdaya untuk mempelakukan mulut yang semena-mena itu dengan sesuka hati. ia terlalu terpukul dengan semua kejadian ini dan sampai sekarang Mark masih berharap semua ini adalah mimpi buruk belaka.

Kamu akan menyukai ini

          

"EH LO PADA SADAR GAK SIH YANG LO OMONGIN TEMEN KITA SENDIRI."

"NGOMONGNYA TUH DIJAGA, GAK USAH BERSPEKULASI ANEH-ANEH."

"KALIAN GAK SEDIH APA KITA HABIS DITINGGAL TEMEN KITA?"

"DIA ITU BUKAN RUBIK YANG BISA LO RUBAH-RUBAH BIAR JADI SEMPURNA. SEKALI LAGI GUE DENGER HAL KAYAK GINI, HABIS LO PADA!"

Setelah mengucapkan kalimat itu dengan urat-urat yang menonjol di leher, Jihoon langsung memberikan sinyal ke teman-temannya untuk segera pergi dari kantin.

Rasanya benar, ketika Jihoon akhirnya bisa membuat "ayam-ayam" itu berhenti "bercicit" karena telah membuat telinga mereka semua sakit. setidaknya untuk sementara ini.

Mereka semua berdiri dan satu-persatu pergi melewati sekelompok anak yang berada disamping mejanya dengan tatapan sinis.

"Tolong, ya. Lain kali kalau mau ngomongin orang dipikir." Ujar Doyeon kalem, namun dengan nada sarkasme. Kemudian berpaling dengan angkuh.

"Dan kalau ngegosip tuh gak usah keras-keras. Kita semua gak ada yang butuh spekulasi sampah lo semua." Lanjut Yeri tertahan dengan sedikit berapi-api.

"Dasar gak punya hati!" Celetuk Sohye lalu menggandeng tangan Yeri sambil meninggalkan tempat itu.

Terakhir, di paling belakang ada Mark dan Lucas yang berdiri sejajar. Mark hanya melewati kelompok itu tanpa berkata apapun. Pandangannya kosong hanya menatap depan dengan lurus. Seakan ia terlalu lemah untuk marah ataupun menangis.

Berbeda dengan orang disebelahnya—Lucas. Mata Lucas menyipit memandangi semua di orang dikelompok itu. Dan dengan suara rendahnya yang membuat semua orang bergidik, Lucas mendesis dengan suara baritonnya,

"Kalau masih mau hidup lebih lama, better Watch your language, dude." Kemudian Lucas melenggang begitusaja melewati meja itu.

Setelah benerapa detik terdiam dengan bulu kuduk mereka terasa meremang, salahsatu anak perempuan berkuncir dua mencibir mereka setelah mereka cukup pergi jauh.

"Ya terserah, dong! Orang punya mulut?!"



x x x




Debu bertebaran dimana-mana menyesakkan hidung Lucas, namun di ruangan yang sempit dan penuh barang tersebut Lucas hanya terdiam sambil berdiri di salahsatu sudut ruangan yang sangat berdebu. sinar remang-remang yang berasal dari ventilasi kecil diatas menyorot wajahnya. tangan kirinya dimasukkan ke dalam sakunya sedangkan tangan kanannya mengepalkan sesuatu. Wajah Tzuyu terus berputar dikepalanya.

"Really? Pil merah," ia terkekeh.

"DANGER SOS CODE: - EAT THE PILL, dan pake kode biner segala? Repot-repot banget sih." ia mendesis, agak kaget ketika mendengar suara orang-orang diluar seperti mendekat. namun ia mengindahkannya dan lebih serius untuk mendengarkan lawan bicaranya diseberang sana.

"..."

"Ya terus habis ini apa? Partner gue mati. Terus gue gimana? Udahan juga? Game over nih ini?"

"..."

Lucas terus mendengarkan dari ponsel yang ada ditelinga kirinya sambil beberapa kali mengangguk. wajahnya berkerut dan alisnya yang tebal hampir bertautan satu sama lain. tak ada raut jail yang biasanya ia pancarkan, kali ini wajahnya sangat serius bagaikan politikus yang terjerat kasus dan sedang berkelit dengan lawan yang mempunyai pengacara lebih mahal darinya.

"Oke-oke. Tapi, darimana gue bisa—" kalimatnya terputus, setengah panik sambil melirik-lirik ke arah pintu, dan setengah lagi kesal karena lawan bicaranya mengatakan sesuatu yang ia pikir sangat tidak masuk akal.

"..."

"What?! Jangan bilang, lo nyuruh gue buat pdkt sama anak-anak warnet yang kampung itu?"

"..."

"Oke, sekarang—"


BRAK


"Cas, lo ngapain disini?"

Spontan Lucas langsung menoleh kearah pintu gudang. Disana ada Sohye yang membawa beberapa bola tenis dan jaring berisi bola-bola voli di tangan kirinya. Lucas sedikit panik, jadi ini rasanya tertangkap basah? lalu ia langsung memasang wajah datar dengan sigap bagaikan suhu air yang berubah drastis.

"Oh? Iya mah, nanti Lucas telfon lagi. I love you"

TUT

Lucas mematikan sambungan dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Cengirannya yang jail kembali merekah. satu yang diharapkan Lucas, semoga cewek di depannya tidak mendengar apa-apa karena Lucas tidak mau ada yang terluka lagi disini.

"Eh, Hye? Sini gue bantu" Lucas menyeringai sambil mengulurkan tangannya, lalu membawa bola-bola itu ke rak yang berada di belakangnya.

"Telfon dari mama? Jauh-jauh amat ngangkatnya di gudang olahraga" cibir Sohye dengan nada mengejek. Tangannya disilangkan di dadanya sambil mengedikkan dagu ke arah ponsel Lucas.

"Ya gakpapa sih. Gue gak enak aja kalo ngangkat telfon pake bahasa inggris sambil didenger anak-anak. Nanti gue makin keliatan kayak alien lagi." jawab Lucas dengan nada sok-lesu, padahal dalam hatinya lebih baik ia dianggap sebagai alien ganteng daripada semua ini terungkap.

Sohye menghela nafas, "nihya, kalo lo mau tau, mendingan juga kita-kita denger lo ngoceh daripada belajar bahasa inggris sama native speaker yang gajelas dan pe-ka itu. "

Lucas terkekeh sambil membenarkan kerah bajunya, "Oh yajelas lah kualitas gue lebih mending daripada bule-bule gadungan yang ngajar di sekolah kita dengan modal kenal sama kepala sekolah doang"

"baru ye, gue bilang gitu. pala lo udah membesar barang empat-lima senti. tapi ya ngomong-ngomong kepala sekolah, masa setiap ada kejadian begini dia kabur gitu aja"

"kabur?" tanya Lucas heran,

"iya, kemaren waktu ada insiden di sekolah dia malah ada di Bangkok. dan sekarang waktu banyak wali murid - termasuk nyokap gue- mau ketemu dia, dia malah ke Beijing. ga ngerti deh gue, makan gaji buta kaliya." Ujar sohye berapi-api. tepat saat ia ingin melanjutkan kalimatnya yang tidak enak untuk didengar telinga anak-anak, pintu yang tidak ditutup dengan rapat tersebut terbuka lebar, dan seorang lelaki putih dan jangkung masuk ke ruangan itu.

"oh? dek toilet sebelah mana ya?"

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Jan 15, 2019 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

[1] Cursed : school -99 LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang