2

60 8 1
                                    

Alarm jam tanganku berbunyi pertanda bahwa jam kerja telah usai. Perasaan serta pikiranku cukup lapang, mengingat besok adalah akhir pekan. Bagaimana, ya? Tugas kuliah sudah aku kerjakan dan toko roti ini akan ditutup untuk beberapa hari ke depan. Menilik bahwa musim hujan membuat manusia bertandang untuk membeli roti hanya beberapa saja.

Aku mengambil pakaianku dan segera menuju ruang ganti. Tak membutuhkan waktu yang lama, setelah sepuluh menit, akupun telah mengenakan western-style shirt berwarna cokelat. Tidak terlalu formal, hanya saja, aku lebih menyukai pakaian ini daripada t-shirt.

Aku meraih ransel hitamku dan merogoh benda balok pipih yang sedari tadi berdering di dalam sana. Ah, itu, ada panggilan masuk. Tertera dua puluh satu panggilan tak terjawab dari pemilik nomor yang sama.

21 missed calls
Vinok

"Lah si Vino? Ngapain coba missedcall segala? Teriak aja kan bisa. Kenapa sih, Nok! Keterlaluan emang," ujarku menggelengkan kepala tidak menyangka.

Kesal? Pasti. Dia sudah selesai atas pekerjaannya setengah jam yang lalu dan keluar dari dapur menuju sofa pelanggan. Dia berbicara untuk menungguku sembari beristirahat di sana. Tapi kurasa, menunggu itu seharusnya panjang hati. Benar, bersabar. Lantas, jika tidak bisa, memanggilku ke dapur apa salahnya? Atau berteriak juga bisa, kan? Tanpa harus missed call seperti ini?

Benar kataku, jika Vino itu siput. Bukan karena lambat untuk berjalan, tapi bagaimana cara dia untuk bergerak itu memang lambat, sangat malas untuk bergerak. Jangankan untuk berteriak, berdehem saja rasanya mungkin seperti mengangkat berton-ton roti.

Hah!

"Eja! Buru kenapa, gue laper. Lama banget si lu. Ga ngerti mendung apa? Gercep dikit," teriak Vino dari tempatnya.

"Iya bentaran!" sahutku.

Aku memeriksa ke setiap sudut, agar tidak ada yang tertinggal. Cukup dengan langkah lebar aku berhasil mengelilingi dapur, akhirnya aku hanya tinggal mematikan lampu. Hingga benar-benar beres, akhirnya aku keluar dan mengunci pintu dapur. Setelahnya, aku berjalan menuju tempat Vino saat ini. Ku lihat, dirinya tengah tiduran dan memejamkan matanya tenang di ruang tunggu. Kedua tangannya bertumpu silang di dadanya. Aku menepuk pipi kirinya untuk membangunkannya, "Vin? Yaelah malah tidur. Ayo dah, katanya lu laper,"

"Lama lu! Jadi males makan gue. Ga mood," masih dengan posisinya, aku hanya terkekeh pelan. Aku mengedarkan pandanganku ke arah luar DC. Tampak titik air sudah memenuhi benda transparan yang mengarah pada jalan raya besar.

"Eh, hujan?"

"Engga! Kebakaran!" sewot Vino.

"Lu jadi cewek aja deh, Vin! Cantiknya dapet, bawelnya juga dapet. Idaman," ucapku sambil mengacungkan kedua jempol.

Aku berjalan mendekat ke arah kaca. Pengelihatanku mengedar ke luar sana. Banyak orang yang bersepeda motor lalu merasa harus cepat-cepat memakai mantol di pinggir jalan, bahkan di bawah pohon untuk berteduh. Ah, aku jadi ingat perempuan itu lagi. Tidak sengaja bisa berteduh di bawah gedung yang sama. Tapi, jarak antara ia dan aku terpaut cukup jauh. Terhalang oleh orang-orang di kanan kiriku. Saat itu, aku sempat memberanikan diri untuk mendekatinya dan menegur sapa. Namun, ia terburu-buru untuk beranjak dengan payung yang dibawanya.

Saat dimana aku tengah memikirkannya, Vino datang merangkul bahuku, bukan, lengan atasku. Mana mungkin Vino bisa meraih bahuku jika tingginya hanya sampai daun telingaku. Aku tidak mengejeknya, tapi menyampaikan fakta, dan itu memang realita, bukan ekspetasi, -maaf Nok.

DélabréTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang