"Semua memang terdengar tak asing. Tidak semua sih, ada yang masih belum ditemukan"
—NEPTUNUS, 2018—
Akhir-akhir ini Venn jadi lebih rajin—memang dia sudah rajin dari lahir, sih. Buku selalu ada digenggamannya. Bahkan, dikantin pun ia tetap membawa buku. Pasti, ini untuk KIR. Setelah hampir satu minggu berunding bersama Angkasa tentang tema materi, akhirnya diputuskan untuk membuat dengan tema pisang. Bagaimana mereka bisa menghasilkan berbagai macam barang dari pisang.
"Venn, emangnya lo nggak capek baca buku terus?" Putri yang hampir selesai menghabiskan sotonya bertanya. Ia sudah merasa heran dari tadi.
Venn hanya menggeleng.
"Nggak bosen?"
Ia menggeleng lagi.
"Ntar lama-lama bukunya yang bosen sama lu,". Timpal Putri sekenanya. Venn meliriknya tajam.
"Aduh..., atu atut..,"
Venn kembali pada bukunya. Ia tidak makan. Hanya ingin menuruti sahabatnya yang banyak maunya ini. Ia dipesankan Putri satu bungkus gado-gado.
"Hai, Venn." suara mengganggu lagi. Kapan ia akan belajar dengan penuh ketenangan.
Venn tak bergeming. Seseorang mendekatinya. Dan duduk disebelahnya. Putri yang mendeteksi bahwa orang itu adalah sasaran cogan berikutnya, ia tersenyum.
"Eh, kak Aska." sambil merapikan rambutnya. Aska mengangkat alis, membuat Putri semakin gemas dengan cowok itu.
"Ini temen lu lagi kesambet apa, Put?"
"Oh..., Venn. Kan dia ikut KIR.." Putri mendorong pundak Venn. Venn sangat kesal dibuatnya.
"Oh, ikutan KIR. Sampai pipinya kurusan gitu." Aska mencolek pipi Venn.
"Modus, orang pipi masih kayak bakpo gini dibilang kurusan." sahut Venn sebal.
Venn terus memandangi isi buku tebal itu. Aska yang penasaran, ikut mengintip.
"Bagusnya apa sih, baca buku? Nggak bosen?"
Venn tak menjawab.
"Daripada lo mati gegara kebosenan, weekend ke kafe ruang imaji yuk,"
Venn ternganga. Bukunya ia hempaskan saja ke meja.
"Gue ikutan!" Putri menyahut, mengangkat tangannya. "Ayolah, Venn... Plis—"
Ingin rasanya Venn meremas wajah sok imut Putri dan wajah sok tampan Aska. Tapi, daripada malah timbul keributan, ia mencoba meriflekskan dirinya. Putri masih tegar dengan permohonannya.
Venn mendesah berat. "Iya, iya. Tuan Putri...."
"Nah, gitu dong baru Venn yang seru..."
Putri beranjak dan duduk disebelah Venn. Pun merangkulnya. Memang tiada hal yang indah selain persahabatan.
🔭
Kring—kring—
Telepon kabel dikamar Venn berdering kencang. Venn yang tengah membacah novel fiksi menoleh. Ia mengangkat telepon yang berada diatas nakasnya.
"Halo? Ini siapa?"
"Halo, Venn. Ini Angkasa"
Venn lupa jika lima hari yang lalu Angkasa meminta nomor teleponnya. "Oh, i- iya kak Angkasa ada apa?"
"Hm, nanti malem lu ada acara nggak?"
"Nanti malam? E-emang mau ada apa, kak?"
"Gue mau ngomong soal KIR."
"Oh, s-sorry, kak. Kalo nanti malam nggak bisa. Gue ada ac—"
Tut—tut—tut—
Sambungan terputus. "Sialan,".
🔭
Seperti biasa, kafe ruang imaji nampak ramai dikala malam minggu. Dan mayoritas anak muda. Remang lampunya pas seperti biasa. Venn dan Putri terduduk manis disalah satu bangku. Memesan makanan yang mereka pesan biasanya. Aska, laki-laki itu belum kelihatan. Padahal Venn dan Putri sudah menunggu hampir setengah jam.
Venn mengutak-atik handphone-nya. Ia tampak resah. Putri mencoba menyelidiki.
" Venn kenapa?"
Venn mengulaskan senyuman agar sahabatnya ini tidak khawatir. "Nggak kenapa-napa kok, Put."
"Mulut sih bilang nggak apa-apa. Wajah lo bilang kenapa-napa. Cerita, dong."
Venn mematikan handphone-nya, menaruhnya diatas meja. "Sebenarnya, gue mau ada acara sama kak Angkasa,"
"Soal KIR?". Putri menyedot minumannya.
"Iya, tapi kan gue udah janji buat kesini. Soal KIR besok nggak apa-apa lah."
Putri tersenyum lega. Begitu juga Venn.
Hampir empat puluh menit mereka menunggu. Makanan Putri juga mulai habis. Dan Aska belum juga menampakkan diri.
"Selamat malam para pengunjung,"
Suara microphone yang memantul jelas itu berasal dari panggung utama. Otomatis seluruh pengunjung menoleh. Dan dua pengunjung kaget. Karena yang diatas panggung adalah orang yang mereka tunggu—Aska.
"Seperti biasa, gue mau nyanyi disini. Tapi, khusus buat malam ini ada seseorang yang bakal nemenin gue,"
Venn dan Putri saling tatap. Dia nggak maksud, kan.
"Itu, yang pake baju putih. Di pojok kanan depan."
Dugaan mereka benar. Aska memang orang yang menyebalkan. Ada maksud lain mengajak Venn dan Putri kemari. Mempermalukan saja.
Venn memasang raut geram kepada Putri. Putri hanya mengedikkan bahu. Ia tak bisa menolong sahabatnya kali ini. Dengan berat hati—karena para pelanggan sudah banyak menunggu dan daripada membuat kesal lalu diusir—Venn berdiri. Berjalan sok mantap menuju panggung. Bergidik jijik menatap wajah mengesalkan Aska yang mulai dekat. Pun duduk disebelah Aska. Dan seluruh pelanggan bertepuk tangan.
"Tahu 'the sound of silence'? Punyanya Simon&Granfunkel?"
Venn seakan mengingat lagu itu. Lagu itu tampak sangat ramah diingatannya. Padahal, kalau ia pikir-pikir, ia jarang mendengar lagunya.
"Lumayan," tukasnya.
"Ok, silakan menikmati santapan malam kalian. Selamat menikmati."
Gitar mulai dipetik. Microphone mulai mendenging. Dan Venn mulai menghirup banyak oksigen.
Hello darkness my old friend
I've come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while i was sleeping
And the vision that was planted in my brainLirik itu melantun indah. Kepala belakang Venn entah kenapa berdenyut. Dipikirannya hanya satu, jangan sampai kejadian itu terulang lagi.
🔭
Seseorang berpakaian sangat rapi terduduk disalah satu bangku kafe. Ada dua laki-laki lagi yang ada bersamanya. Namun yang satu ini tampak dingin sekali. Sorot matanya menajam pada panggung utama.
And touch the sound of Silence
And in the naked light I saw
Ten thousand people maybe more
People talking without speaking
People hearing without listening
People writing songs that voices never sharesLagu itu tampak bermakna baginya. Ia seakan bermain kedalam masa lalu. Ia teringat seseorang. Nara. Bukankah lagu ini kesukaannya. Kata Nara, lagu ini bermakna unik. Suara kesunyian.
And tenement halls
And whispered in the sound of SilenceLagu itu selesai sudah. Laki-laki berwajah dingin itu tersenyum.
Diatas panggung. Tepat setelah laki-laki bergitar itu memetik senar untuk yang terakhir. Perempuan disampingnya nampak sedikit terhuyung. Ia memegangi kepala bagian belakangnya. Betul, sebentar lagi apa yang ia takutkan akan terjadi. Ia mencoba berdiri. Berjalan menuruni panggung. Laki-laki bergitar itu segera melepas gitarnya dan ikut turun.
Perempuan itu sampai pada tempat duduknya. Ia seakan menahan sakit yang teramat sangat. Laki-laki disudut yang berwajah datar ini juga ikut mengernyitkan dahi. Ia ingin membantu. Tapi tidak, ini bukan waktu yang tepat untuk itu. Biar laki-laki bergitar itu yang mengurusnya.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Perempuan itu benar-benar terhuyung. Pegangan dikepala belakangnya melayu. Dan kepalanya terhempas diatas meja.
Dan semua tampak gelap baginya.
TBC
Hai semua. In Syaa a Allah bab selanjutnya bakal cepet publish. Kayak bab yang ini. Greget pengen ngelanjutin terus. Oh iya, bantu Author promote cerita ini ya...
Jangan lupa VOTE n KOMEN.
See ya the next part yang lebih seru....Salam hangat,
Tertanda,Athr. K
Tuban, 28 Juni 2018