SMA Xanadu memiliki peraturan yang cukup ketat untuk kerapihan rambut siswa-siswanya. Setiap satu semester, sekolah akan mengadakan razia dadakan di setiap kelas. Siswa yang rambutnya sudah melewati kerah, menutupi mata, atau dinilai berantakan akan dikumpulkan di koridor persustakaan dan Pak Eli, selaku guru BP, akan memotong rambut mereka satu persatu. Berpikir kalau rambutku masih cukup pendek, aku cukup kaget saat Pak Eli menepuk pundakku dan memberi perintah untuk berkumpul di koridor perpustakaan. Sebenarnya aku ingin protes, namun melihat kumis besar dan kepalanya yang bersinar terang membuatku malas bicara.
Tiba di koridor perpustakaan, aku langsung dihadapkan dengan barisan siswa berambut gondrong yang sedang berjongkok merapat ke dinding. Dengan ragu, aku ikut berjongkok di barisan paling akhir.
Mengetahui Pak Eli masih mengumpulkan siswa dari kelas lain, dan belum akan kembali untuk sementara waktu, beberapa siswa berani menyuarakan keluhan hatinya.
"Kampret banget Si Eli! Rambut gue kan kagak kena kerah," keluh seorang siswa dengan rambut berdiri tinggi seperti Paul Phoenix dari game Tekken.
Tapi rambut lo kena atap, komentarku dalam hati.
"Kampret emang! Gue juga belom kena kerah," timpal seorang siswa dengan rambut harajuku.
Tapi udah nutupin kuping.
"Emang kampret die!" maki seorang lagi dengan rambut yang mengingatkanku akan Dora The Explorer.
... Aku tak memiliki komentar untuknya.
Setelah beberapa menit menunggu, Pak Eli kembali membawa siswa terakhir. Dan dimulai lah sesi pemotongan rambut.
Melanie pernah mengatakan, kalau Pak Eli punya cara khusus dalam memotong rambut siswanya. Ia akan memotong rambut siswanya sedemikian rupa hingga si siswa malu dan mencukur habis rambutnya di rumah––dan ternyata benar.
Rambut siswa yang menyerupai Paul Phoenix tadi, hanya dipotong bagian kiri dan kanannya, hingga menyerupai jambul Ultraman. Kemudian untuk siswa dengan rambut harajuku sebelumnya, Pak Eli mencukur habis seluruh rambutnya dan hanya menyisahkan sedikit bagian depannya, membuatnya terlihat seperti anak kecil dalam film-film kung-fu. Lalu untuk siswa dengan rambut Dora, hanya bagian depan dan atasnya saja yang dipotong. Lagi, aku tak memiliki komentar untuknya.
Siswa yang sudah dipangkas bergegas lari menuju toilet, menyisahkan sebelas siswa yang masih berbaris menunggu giliran. Enam orang di satu sisi dan empat orang di sisi lainnya. Dan melihat hanya tiga orang yang memisahkanku dengan Pak Eli, lantas membuatku berpikir kalau sudah tidak ada harapan untukku. Namun kemudian—
"Tenang, kita nggak bakal kena," Siswa di sampingku bicara.
Merasa mendapat harapan, kutolehkan wajahku padanya. Berjongkok di sampingku adalah seorang siswa berkulit kuning-kecokelatan. Rambutnya yang jelas gondrong dan berantakan, sedikit menutupi mata sipitnya yang berwarna hitam kelam. Terlepas dari situasi kami saat itu, bibir tipisnya tetap tersenyum santai seolah mengatakan kalau memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Setelah memberiku anggukan sekilas, ia kemudian beralih pada Pak Eli sambil mengeluarkan sebuah pulpen dari saku celananya. Dan melihat hal ini, aku langsung teringat kalau aku pernah melihatnya saat menuju latar parkir sekolah dengan Melanie.
Seakan menunggu sesuatu, matanya tak pernah lepas dari Pak Eli. Ia terus memperhatikan tiap gerak-gerik guru berkumis besar itu—dan saat Pak Eli manggaruk hidungnya dengan tangan yang juga memegang gunting, dengan cepat ia lemparkan pulpen yang sejak tadi ia genggam ke pilar di belakang Pak Eli. memantulkannya, menuju belakang kepala Sang Guru.
"Aduh!" pekik Pak Eli, menjatuhkan guntingnya karena terkejut dan geggaman yang mengendur saat menggaruk hidung. Berbalik mencari yang menyakitinya kemudian, ia abaikan gunting di bawah kakinya. "Apa itu tadi?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunday [Completed]
Teen FictionSetelah semua yang ia lewati, Lucca Ruswandi mulai menikmati kehidupan SMA-nya. Ia mulai bertemu orang-orang yang bisa ia anggap teman dan keseharian yang sebelumnya hanya belajar menunggu pulang, perlahan berubah menjadi pengalaman-pengalaman menye...