"Jadi, Saka marah-marah nggak jelas dan nyuruh lo buat berhenti jadi atlet?" Belva mendelik dengan emosi yang mulai memuncak. Setelah Anya menceritakan semua hal yang terjadi setengah jam yang lalu, Belva marah besar dan jika disuruh untuk menghajar Saka, Belva adalah orang pertama yang akan menghajarnya habis-habisan. Akan tetapi, karena Belva dilahirkan menjadi seorang cewek, jadi tidak mungkin ia melakukan hal tersebut.
Anya hanya membalas ucapan Belva dengan mengangguk kecil. Ia masih terisak.
Belva cepat-cepat mengambil telepon genggam Anya yang terletak di atas tempat tidur di samping tubuh Anya. Segera ia mencari kontak bernama 'Saka' dan segera ia memencet tombol bergambar telepon.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara halo dari seseorang di seberang telepon sana. Belva cepat-cepat menarik napas panjang-panjang dan siap menghajar Saka dengan kalimat-kalimat menohoknya.
"Eh lo udah nggak waras ya. Lo orang atau apa sih jahat banget sama cewek. Bisa-bisanya ceweknya sakit malah dimarahin nggak jelas kaya gitu. Seharusnya lo tuh dukung Anya jadi atlet, dapet juara terus, dan bisa mengharumkan nama Taruna. Emang lo ya, gak pernah ngerasain gimana bisa jadi juara kaya Anya. Dia tuh seneng banget bisa membanggakan orang tuanya. Emang lo nggak mau Anya seneng kaya gitu?" Belva menghela napas di akhir kalimatnya. Ia menunggu jawaban Saka di seberang telepon.
Beberapa detik, Saka belum membalas perkataan Belva sebelumnya. "Sebenernya lo tuh sayang nggak sih, sama Anya?"
Belva semakin kesal karena Saka tidak menjawab kalimat Belva satu kata pun. Anya kini masih terisak. Belva menenangkannya dengan mengelus pundak Anya.
Lewat dari empat puluh detik, sambungan telepon tersebut putus. Saka mematikan sambungan tersebut. Belva yang melihat layar telepon genggam Anya menampilkan bahwa Saka telah memutuskan sambungan, langsung mendelik dan mencak-mencak tak keruan disambung dengan umpatan-umpatan yang ditujukan pada Saka.
Belva menoleh kepada Anya yang kini membuang muka. "Nya, lo betah banget ya sama cowok kaya gini?"
Anya menoleh sekilas, kemudian membuang muka kembali. "Gue sayang sama dia. Gimana pun sikap dia ke gue, gue harus terima itu semua. Karena gue cinta ke dia bukan karena apa. Gue cinta ke dia itu tulus." Anya terisak kembali, dan tangisannya kali ini semakin banjir.
Belva meraih Anya dan memeluknya supaya cewek itu tenang. Ia mengelus-elus punggung Anya dan menenangkannya. "Udah, Nya jangan nangis lagi. Gue jadi ikut sedih liat lo kaya gini. Udah diem jangan nangis." Kalimat terakhirnya tersebut diikuti oleh tangisan Anya yang berhenti.
"Lo udah makan, Nya?" Tanya Belva seraya melepaskan pelukannya.
Pertanyaan itu hanya dibalas gelengan kecil oleh Anya.
"Ya udah, gue ambilin makanan dulu ya." Cewek dengan rambut dikuncir kuda itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu utama kamar Anya.
"Bel--" merasa dipanggil namanya oleh Anya, Belva berhenti dan membalikkan badannya. "Gue minta, bunda jangan sampe tau ya kalo gue kaya gini."
Belva tersenyum manis, dan menganggukkan kepalanya. "Pasti, Nya. Bentar ya tungguin dulu."
Belva berjalan menuju dapur rumah Anya yang berada di lantai bawah. Terlihat wanita berumur empat puluhan sedang mengaduk-aduk adonan kue di atas mixer.
"Hai, Tante--" sapa Belva dengan senyuman manis khasnya.
Rina menoleh ke arah sumber suara. Senyumnya sumringah ketika melihat Belva. Cepat-cepat ia mematikan mixer-nya dan berjalan menuju tempat Belva berdiri. "Eh, Belva. Tante kok nggak tau sih kamu ada di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Qevanya
Teen FictionAfsheen Qevanya Fredella. Lebih singkatnya, Anya. Cewek enam belas tahun dengan tubuh tinggi kurus dan rambut sepanjang pinggang. Merupakan atlet lari SMA Taruna. Penggemar gado-gado tersebut jatuh cinta kepada kapten basket, Devan. Cowok dengan paw...