5
Hendra menyeduh 3 kopi sachet dan menyajikannya di atas meja persegi bertatakan kaca yang diapit empat kursi sofa berwarna merah marun yang disusun huruf u menghadap sebuah TV besar yang merekat di dinding berselimut wallpaper bermotif oriental. TV itu tidak dinyalakan, Jani menghormati Laras yang memintanya tetap demikian, agar tak perlu menyaksikan berita bencana di Bolivia. Kaca besar di sebelah kanan mereka menampakan wajah Chengdu malam hari yang mempesona, andai saja tak ada Laras di sini, pasti setiap orang menikmatinya.
"hmm enak juga Hendra, kopi apa ini?" Jani menikmati panas dari cangkir yang melenyapkan dingin AC di ruangan.
"Saya tadi beli di bandara Mam, enggak tahu kopi apa, sepertinya robusta" Hendra memeriksa seksama kemasan yang kini kosong.
"Ayo Laras diminum"
"Terima Kasih" Laras menerima cangkir yang disodorkan Hendra.
"Jadi Laras ....perjalanan kita adalah untuk menemui Penelah Pertama" Jani langsung pada pokok masalah.
"Oh ya? Kalian sudah menemukannya?
"Dengan bantuanmu kami menemukannya?"
Laras hampir saja tersedak kopi panas "Hah? Bagaimana? ---".
"Tahukah kamu, setiap penelah punya kelebihan, kekurangan dan tugas masing-masing?"
Laras menggelengkan kepala.
"Penelah ketujuh sepertimu mempunyai kelebihan menemukan titik di mana bencana akan terjadi----"
"Dimanfaatkan untuk menemukan lokasi!" Laras memotong.
"Ya ... ya aku mengerti. Yang aku maksud, di antara penelah yang lain dirimu adalah pembawa peta. Dan secara tak sadar, kamu sebetulnya bisa menunjukkan juga di mana para penelah yang lain".
"Sungguh?, bagaimana?-----"
"Kamu mungkin tak pernah menyadarinya" Jani kali ini menjadi sangat serius. "Coba diingat-ingat, ada beberapa orang yang sama yang beberapa kali hadir dalam mimpi-mimpimu".
"Ya mungkin saja, aku kurang bisa mengingatnya" Laras menerawang memandangi langit-langit yang kosong, berusaha menarik memori yang sudah menguap. "Ya kadang aku melihat seorang lelaki memakai jubah yang sama, pernah juga seorang perempuan kurus berambut kriwil bermata hijau, seorang anak laki-laki dengan rambut belah dua ... selebihnya aku tak ingat".
"Dan mereka ada di tempat yang sama, atau setidaknya hampir sama bukan? Jani menggali memori di pikiran Laras.
"Hmm, sepertinya begitu, tapi aku tak ingat"
"Ya memang demikian dan itu menunjukkan di daerah mana mereka tinggal"
"Terus bagaimana caranya kalian bisa mendapatkan lokasi penelah pertama, padahal aku saja tidak ingat?" Laras tak dapat menduga.
Jani tertawa kecil "Pakai teknologi!. Hendra ini sebetulnya seorang ilmuwan muda yang gagal". Yang dibicarakan hanya bisa tersenyum kecut. "Hendra punya alat yang dapat memindai memori yang tersimpan di otak kamu, menganalisanya dan menyimpulkan lokasi yang kami perlukan. Belum 100% sempurna, tapi setidaknya sudah mendekati"
"Betulkah? Wow, luar biasa Mas Hendra" Laras memuji.
"Pada intinya, alatku ini adalah pengembangan dari Electroencephalogram, fungsinya memilah Precognitive Dream kamu dengan cara melihat emosi kamu yang paling stabil. Emosi itu dibentuk oleh reaksi kimia yang dibuat enzim di otak kamu. Deretan emosi yang berbeda-beda itu menghasilkan frekuensi yang berbeda. Dan ruangan memori otak kamu menyisakan jejak frekuensi tersebut. Emosi yang paling stabil itu, menunjukkan sesuatu yang paling akurat dan frekuensi tertentu menunjukkan mimpi yang paling jujur dan alami. Mimpi-mimpi itulah yang selama ini menjadi data untuk Overseer" Hendra menjelaskan seolah dua orang dihadapannya mengerti.
Laras terkagum melihat kecerdasan lelaki itu, "aku harus lebih sering mengurangi meremehkan orang lain". "Dan saat aku tertidur karena chloroform kemarinlah kalian melakukan pemindaian?" Laras menebak. Jani mengedipkan sebelah mata mengiyakan.
"Penelah ketujuh sebelum dirimu, meninggal dua tahun yang lalu karena komplikasi sakit ginjal dan pencernaan, beliau seorang kakek berumur 82 tahun bernama Tino Rukka tinggal di Tanah Toraja. Beliau sudah pernah kami pindai dengan alat yang jauh dari sempurna. Informasi yang kita dapat tentang penelah pertama hanya namanya yaitu Sirsa dan tinggal di wilayah pegunungan yang tinggi. Dan dari dirimulah pengetahuan itu lebih pasti, Sirsa tinggal di kota Lhasa, Tibet – tempat yang akan kita kunjungi besok". Jani menjelaskan.
"Tibet?, kita akan menuju negara tertinggi di Dunia?"
"Bukan negara, mereka sudah diklaim oleh China" Jani mengkoreksi.
"Oh begitukah? Baiklah" Laras menjadi antusias. Pikirannya langsung tertuju pada puncak bersalju menusuk langit.
"Hendra sudah menyiapkan segala kebutuhan kita selama perjalanan dan selama di sana, udaranya akan sangat dingin buat kita yang terbiasa cuaca panas".
"Kita akan menggunakan apa ke sana?"
"Kereta!"
"Kereta?" Kening Laras berkerut.
"Ya, perjalanan akan sekitar 44 jam".
"Empat ... puluh .... empat jam?, kamu pasti becanda" Laras membayangkan kebosanan yang akan menemaninya, terlebih dia sudah pasti tak akan bisa tidur selama perjalanan.
Jani mengangguk pelan "ya 44 jam, hampir dua hari penuh"
"Hmm boleh kan aku mendapatkan chloroform dalam perjalanan?"
"Heh, tak ada lagi chloroform!"
"Ayolah please ...., atau malam ini saja, aku bisa mati kekurangan tidur beberapa hari lagi kalau tidak".
Jani menatap perempuan di depannya dengan sangat iba, matanya menembus hati yang kini sedang pedih terluka dan frustasi. Ketakutan akan mimpi menghantui setiap kedipan mata Laras, membuat dirinya membayangkan jika menjadi seperti itu, akankah dia kuat menerima kenyataan itu?.
"Baiklah, hanya malam ini saja, besok tak ada lagi chloroform"
"Terima Kasih Jani"
Dan malam itu Laras tertidur pulas tanpa mimpi.
6
Seorang lelaki sibuk menghembus kepul asap yang timbul dari gulungan mie di sumpit bambu sebelum melahapnya. Sedangkan uap panas dari kuah dalam cup Styrofoam itu sengaja dia hirup untuk menambah selera, aroma yang tiada dua. Dia duduk di kursi besi panjang yang menebar dingin ketika menyentuh kulit, membuat penunggu di stasiun kereta ini mengeluh pasrah di saat musim dingin. Sesekali pergelangan tangan kanannya diputar untuk melihat jam tangan buatan Jepang berwarna loreng yang dia beli saat berkunjung ke Kyoto. Dia mungkin seorang nasionalis sejati, tapi khusus penunjuk waktu, produk negeri matahari terbit itu lebih dia percaya. Dia begitu bersemangat menuju dataran tinggi yang sudah hampir 4 bulan belum dikunjungi, banyak kenangan cinta bersemayam di tiupan angin salju di sana. Tas ransel warna biru cerah terisi penuh perlengkapan penahan dingin dan makanan hangat. Mata sipit yang sangat gelap itu berkilauan bergerak liar mencari teman lama yang tak kunjung berjumpa. Mata yang sangat gelap, kontras dengan kulit putih memerah.
Sudah lima hari ini dia bertukar pesan dengan Anjani, seorang polisi wanita asal Indonesia yang ditugaskan dalam jaringan Interpol untuk mengusut kelompok pemeras terbesar dalam sejarah dunia, kelompok yang sangat tertutup dan sangat rahasia. Mereka pernah bertugas bersama dalam gugus tugas yang cukup lama tak membuahkan hasil tersebut. Tapi kini saat pensiun, titik terang justru mulai datang. Jani adalah pribadi yang menarik, cerdas dan gigih, gadis yang lebih pantas jadi anaknya itu mengajarkan banyak hal tentang semangat. Gugus tugas pembongkar komplotan ini sudah sangat tua, mungkin hampir seumur Interpol itu sendiri, yang dibentuk tahun 1928. Sudah hampir beberapa kali hendak dibubarkan karena tak juga kunjung membuat kemajuan berarti. Menurut legenda, seorang komisioner polisi dari Kanada pernah menemukan bukti-bukti menarik keterlibatan anggota parlemen beberapa negara yang disinyalir berafiliasi dengan kelompok tersebut, sebelum akhirnya ditemukan tewas dalam bencana tanah longsor di Kolombia bulan Desember 1970.