Another Matahari Story - Part 3 - Ari Version

823 18 1
                                    

"Ck. Ari males ma. Ngapain sih bikin acara acara ribet begitu. Ari sibuk kuliah nih. Lagian kan biasanya gak pake Ari juga bisa. Ada Ata, ma. Ata aja, ya. Mbak Zizi suruh balik juga biar rame. Jakarta yogya jauh kali, ma..."

"Astaga masalah itu lagi. Ari gak mau ah!"

"Ari gak peduli papa marah apa gimana. Hidup Ari bukan dia yang ngatur."

"Ck. Liat ntar deh. Ari gak janji. Dah ma."

Ari menutup teleponnya dengan kesal. Ia tak jadi menuju motornya diparkiran, malah nyebrang ke warung di pinggir jalan.

"Bu dhe rokok."

"Mas Ari lagi ada acara ya dikampusnya. Rame begitu.."

"Iya. Penyambutan mahasiswa baru, bu dhe."

Bu Dhe mangut mangut. Disodorkannya korek mancis untuk Ari menyulut rokoknya.

"Ari ke belakang Bu Dhe."

"Iya mas. Monggo."

Ari menuju belakang warung yang adalah taman kecil. Biasanya taman ini cukup ramai kalau hari libur. Tapi karena ini senin, sepinya udah pasti kayak di kuburan. Ari menuju salah satu pohon besar hendak berteduh. Ia butuh menenangkan emosinya sekarang.

Sambil terus memikirkan masalah baru yang dimunculkan mamanya barusan, mata Ari mendadak tertuju pada sesuatu di pinggir kolam. Cewek. Bukan putri duyung pasti. Orang kakinya utuh begitu. Pakai rok item sebatas lutut dan kaos kerah berwarna biru laut. Ari menghampirinya.

"Ini gak ada ikannya. Cuma kolam mati." sapanya.

"Gue enggak lagi nyari ikan."

"Terus?" Ari penasaran.

"Lo gak liat gue lagi cedukin ini botol. Ngisi air."

Ari berusaha melirik tangan cewek itu melihat pekerjaannya. Emang lagi ngisiin botol. Ari penasaran mukanya yang sejak tadi belum kelihatan.

"Buat apa?"

"Buat nyiremin tanaman di situ." ia menunjuk pada beberapa pot berisi tanaman tanaman yang nyaris mati dipanggang matahari.

"Oh."

Cewek itu berdiri dengan kaki yang dihentak hentak. Kebas sepertinya. Ia melintas begitu saja langsung menuju pot pot itu. Disiraminya dengan tekun. Sesekali tangannya mengaduk aduk tanah di dalam pot, supaya gembur lagi. Setidaknya tidak kering begitu. Ari terus mengikuti aktivitas langka itu dengan matanya. Sesaat kemudian ia mendekati cewek itu.

"Udah berapa botol lo abisin buat nyiramin segini banyak pot?"

Cewek itu terus bergerak.

"Tujuh."

"Oh." Lagi lagi cuma itu yang bisa diucapkannya. Antara kagum dan takjub dengan pemandangan ini. Gimana enggak, seorang cewek rela banget datang ke taman itu cuma buat nyiramin tanaman tanaman ini, yang semua orang juga tau sebentar lagi mati.

Cewek itu tersenyum. Ari sempat menangkap senyumnya yang tulus itu. Cewek itu melempar botolnya ke tempat sampah terdekat. Masuk dengan mulus. Ia balik badan dan terkejut mendapati Ari di depannya.

"Eh... ah... eh... elo??"

Ari sama kagetnya. Ternyata dia. Tapi Ari dengan mudah menghilangkan wajah kagetnya itu.

"Udah?" tanya Ari.

"So... sorry banget soal tadi, ehm... kak. Gue pikir lo maba kayak gue. Sorry..." Arinna terbata. "Lagian salah lo... eh kakak sendiri kenapa gak pakai badge atau almamater kayak kakak kakak yang lain. Gue kan jadi gak tau. Maap banget yaak..." Arinna menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Ari tersenyum. Senang. Menang.

"Gue kakak tingkat lo. Bukan kayak di SMA, cuma kakak kelas. Harusnya jangan pake lo gue. Tapi aku kamu."

Arinna tersentak. Wueeek!! Hampir saja dia muntah mendengar itu. Seolah olah kata aku kamu bukan dari planet ini. Wajar sih. Dia udah dari lahir di ibukota. Bahasa lo guenya gak bisa ilang. Bahkan dia jago banget sama bahasa gaul begitu. Bahasa Indonesia nya kacau. Paling bener juga bahasa Inggris. Dan sekarang disuruh pake bahasa aku kamu. Mana bisa dia!

"Eh gue. eh.. tapi gue.."

"Gue udah ingatin lo ya... Yang sopan." potong Ari.

"Gue.... gak bisa kak."

Ari terbelalak. "Kenapa? Gengsi. Ingat gue senior. Dan ini perintah, bukan permintaan." Ari menekankan.

Ditungguinya cewek itu hingga bicara.

"Gue gak bisa!! Kan udah gue bilang gue gak bisa!!! Gue gak biasa, ngerti!! Gue gak peduli lo senior atau apa! Kalo gak bisa ya gak bisa." Arinna kontan meluap. Ia emosi.

"Kenapa?"

"Gue terbiasanya begitu. Gak biasa dimanis manisin. Emang mulut gue begini. Lo gak maapin juga terserah. Pokoknya gue udah minta maaf." Arinna selesai. Kalimatnya yang melunak tadi pertanda obrolan berakhir.

Arinna merapikan bajunya dan hendak berlalu. Namun tangannya dicekal lagi.

"Gue belum selesai. Oke gue terima bahasa angkuh lo. Tapi enggak sikap lo. Minta maaf yang bener." perintah Ari. Kontan. Tandas.

Arinna memicingkan matanya. Bingung. Geram. Apa apaan nih, batinnya.

Dihempasnya cekalan itu, tapi Ari mencekal terlalu kuat.

"Apaan sih lo. Awas gak!?"

Ari tak berkutik.

"Gue bisa nunggu sampe sore buat maaf lo itu."

"Ihhhhhh!!! Sebel banget gue sama lo!!" protes Arinna keras. Ia mulai takut ancaman tadi benar. Masakan cuma karena bahasanya jadi disandera seharian begini.

"Maaf."

"Gue gak denger."

"Maaf." kali ini lebih jelas tapi lebih halus. Arinna merenggangkan tangannya.

Ari menatap lurus mata cewek itu. Tajam. Dicarinya maaf tulus dari kedua maniknya. Ari menemukannya.

"Accepted. Siapa nama lo?"

Arinna menghela napas lega. Tapi kesalnya meradang lagi.

"Buat apa? Mau diperpanjang sampai kampus. Biar lo gampang nyari gue buat dipaksa paksa begini lagi. Iya??"

"Iya." langsung. Ari butuh sedikit kekuatan untuk menghancurkan tembok keangkuhan cewek satu ini. Entah mengapa, ia berbeda. Ada sesuatu yang unik di dalam diri gadis ini. Ari bisa melihat jelas.

Arinna merengut. Bingung. Kesal. Sedih. Wajahnya memerah.

"Gue Ari."

Ari terbelalak. Kaget.

"Lo?"

"Kan nyebelin. Gue males banget basa basi begini kalo cuma buat permasalahin nama gue. Gue tau itu nama cowok. Tapi kan gak selalu. Buktinya gue punya nama itu. Itu nama pemberian bokap gue. Jangan salahin gue dong. Emang bisa apa gue request gitu, pa minta nama  yang bagusan, yang girly gitu ya. Gak bisa kan gue. Dikasih nama Ari ya gue terima. Lagian kan ada panjangannya. Gue Arinna. Tapi kan belibet orang orang manggil selengkap itu."

Ari bengong. Asli. Diam seribu bahasa. Ni cewek ngomongnya banyak banget. Lengkap. Gak ada basa basinya. Sumpah Ari masih bengong. Hingga si cewek itu menendang tulang kering kaki sebelah kirinya dengan geram.

"Gue benci sama lo!"

Arinna pergi. Tak dapat dicegat Ari karena ia masih mengurusi kakinya yang ditendang gak kira kira. Baru setelah ia sadar, Arinna sudah pergi, ia tersenyum. Cukup lama. Arinna itu lucu, manis, unik. Dan dia punya nick name yang sama. Ari mulai mengira ngira itu jodohnya. Dan ia bertekad, akan dikejarnya gadis satu ini. Harus. Paling cuma butuh  satu dua bulan buat dapetin dia. Kayak cewek cewek lainnya. Pasti. Ari tersenyum lagi.

Another Matahari StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang