CHAPTER 4 : JUNG HOSEOK

1.1K 249 24
                                    

ㅡpanggilan keempat.

+++++++

Mungkin seminggu, atau lebih, Jeongguk sudah mendapatkan sekitar puluhan sapaan bernada khawatir. Jika dilihat dari belakang, mungkin tidak ada yang terjadi. Namun apabila diamati dengan seksama dan detail, gurat kelelahan terlihat jelas memerangkap sosok Jeongguk. Entah tidak bisa tidur, entah masalah personal, entah konflik darimana, entah internal ataupun eksternal. Tiap kali ditanya, Jeongguk hanya mengedikkan bahu, enggan berbagi lebih jauh. Tipikal Jeon Jeongguk sekali, terlalu mengedepankan profesionalisme hingga melupakan kewarasannya yang mungkin terkikis.

Satu-satunya yang membuat Jeongguk tetap waras, mungkin adalah sugesti untuk tidak berpikir lebih jauh atas apapun yang terjadi setelah panggilan yang diterimanya. Walaupun saat jeda istirahat sejenak, pikirannya mengawang, jatuh pada potongan memori dimana ia bisa mendengar suara Kim Taehyung, Park Jimin, dan Kim Seokjin.

"Mau gantian saja malam ini? Kau seperti mau tumbang. Kau benar-benar perlu tidur malam ini, sobat." Dokyeon menepuk pundak Jeongguk. "Nanti kau gantikan aku minggu depan."

"Tidak usah," tolak Jeongguk, menyunggingkan senyum tipis yang sama sekali tidak meyakinkan. "Cuma duduk saja, menerima panggilan, dan menenangkan orang. Bukan berkejaran memburu kriminal."

"Jangan terlalu dipikirkan," Dokyeom berdecak, menghirup kopinya dengan lirikan mata masih terpancang begitu khawatir pada sobatnya itu, "kau tahu, apapun yang terjadi setelah sambungan terputus, itu bukan salahmu. Kau sudah menyampaikan permohonan mereka dan melaksanakan kewajibanmu."

Jeongguk hanya membalas dengan gumaman pelan kalimat penyemangat dari Dokyeon tersebut. Kopi yang diminumnya terasa semakin pahit, menggigit lidah dan membakat tenggorokannya secara tidak menyenangkan. Ia hanya mengangguk sekilas kala Dokyeom berlalu, tidak terlalu ingin membahas lebih lanjut, kemudian tentu saja, kembali menolak tawaran untuk bertukar giliran jaga.

Jangan terlalu dipikirkan, eh?

Jeongguk mendengus, tiba-tiba merasa geli atas kalimat yang sebenarnya penuh penghiburan dan perhatian tersebut. Juga tiba-tiba merasa miris. Setelah apa yang terjadi, setelah semua terjadi, setelah entah ratusan panggilan yang telah ia terima, rupanya reaksi tiap orang sama saja.

Empati sejenak, kemudian tidak peduli dan membiarkan begitu saja dengan kedok profesionalisme. Terlalu gampang ditebak. Kepedulian yang begitu dangkal, terinjak. Seolah satu nyawa tidak begitu berarti dan semua hal terjadi akibat takdir.

Jeongguk meletakkan gelas kopinya, tatapannya kini sendu kala menggeser kursor dan membuat monitor yang peka terhadap rangsang kini menyala terang dengan binar biru. Pemuda yang mencapai pertengahan duapuluhan itu menarik kursi dan duduk, sedikit memijit pelipis yang nyeri akibat matanya penat. Terlalu sering menghujamkan pandangan pada monitor, agaknya sebentar lagi Jeongguk harus membeli kacamata.

Sebelum merasa lebih baik, lampu di mesin penerima berkedip cepat. Merah dan tergesa. Buru-buru Jeongguk mengenakan headphone dan melaksanakan prosedur penerimaan yang sudah dihapal mati oleh kepalanya.

"Dengan 112 disini, ada yang bisa kami bantu?"

Jeongguk memulai, sebab kala terhubung, ia tidak mendengar respon apapun kecuali gemerisik yang nihil arti. Sedikit memindah kursor, mengeklik beberapa tempat kemudian dilanjutkan dengan menekan tombol kombinasi. Ia sudah mendapatkan lokasi sang penghubung dan tinggal menunggu konfirmasi dari tim terdekat yang akan langsung melesat kesana.

          

Kemudian, terdengar isakan. Begitu pilu dan penuh ketakutan. "Ha-halo...?" napasnya tersendat, ritme yang terdeteksi begitu kacau. Ia bisa mendengar napas berantakan yang terdengar tajam, yang terasa begitu dekat, seolah seseorang entah siapa di seberang sana sedang bersembunyi.

Biarpun sudah tahu lokasi, Jeongguk tetap memilih untuk bertanya. Setidaknya untuk mengulur waktu. Ia melirik ke sudut, warna hijau berkedip begitu jernih. Tim sudah terkonfirmasi untuk berangkat ke lokasi tujua , yang perlu Jeongguk lakukan setelahnya adalah mengulur waktu sebisa mungkin, memancing untuk bercerita apa yang terjadi, kemudian memberikan kalimat-kalimat penenang agar tidak melakukan sesuatu yang bodoh.

Layaknya yang sebelumnya ia lakukan, walau tidak berhasil seratus persen, namun juga tidak gagal seratus persen. Setidaknya ada peluang dan itu patut untuk dicoba.

"Ya, dengan 112 disini. Boleh kami tahu nama, usia, dan lokasi anda sekarang?"

"Jung-Jung Hoseok, duapuluh tujuh ta-tahun," suaranya terbata, isakannya masih begitu kentara entah kenapa terasa mencekam da. mendebarkan dada di telinga Jeongguk, "sa-saya ada di perumahan Ilcheon-do, Nomor 22-4."

Jeongguk mencatatnya di notes, kemudian kembali bicara. Ia merasa telapak tangannya kemudian agak basah. Mungkin keringat dingin, sebab tiba-tiba udara terasa lembab untuk toleransi Jeongguk. "Beritahu kami apa yang terjadi, Jung Hoseok-ssi."

"I-ini mungkin semua salah saya, pak. Salah saya. Seharusnya saya tidak melawannya saat ia sedang dalam kondisi tersebutㅡpak, tolong, saya mohon kirimkan orang-orang kalian kemari. Tolong, secepatnya." Suara Jung Hoseok terdengar begitu bergetar, kentar sekali terdengar begitu ketakutan. "Saya... saya tidak tahuㅡsa-saya tidak bisa terus menerus bersembunyi dan saya tidak tahu kemana harus... harus melarikan diri..."

"Pelan-pelan, Hoseok-ssi. Anda akan baik-baik saja. Kenapa anda bilang semua salah anda?"

Terdengan tarikan napas pelan, bagaimana suara di seberang sana kemudian kembali berderak dan terdengar gesekan yang begitu samar. Agaknya Hoseok ini tengah bersembunyi di tempat yang sempit. Suaranya semakin pelan dan kini ia berbisik.

"Saya ada di rumah teman saya, ia mengidap bipolar dan menolak meminum obatnya. Kemudian ia terlihat kacau dan tiba-tiba marah tanpa sebab yang jelas, lalu tanpa disangka ternyata kemarahannya terarah pada saya. Ia menuduh saya menganggapnya gila padahal saya hanya memintanya untuk minum obat agar ia lebih tenang. Ia memang harus minum obat secara berkala, pak. Bipolarnya memang parah sekali." Jeda sejenak, Jeongguk bersumpah ia mendengar suara langkah samar-samar. "Namun saya juga dalam keadaan kacau saat itu sehingga saya malah membalasnya, bukannya menjelaskan malah saya kembali menyiram minyak ke bara api. Ia makin tidak stabil dan... dan sekarang... dan sekarang dia sudah mengunci semua pintu dan jendela. Ia kalap dan dalam keadaan tidak sadar. Di-dia...."

"Dia apa, Hoseok-ssi?"

"Dia membawa pisau, dan saya yakin dalam keadaan ini, dalam keadaan yang bukan dirinya sendiri, ia penuh delusi untuk membunuh saya. Tujuannya untuk melenyapkan saya. Ia bahkan sudah melukai lengan saya namun saya berhasil kabur dan sembunyi di lemari gudang belakang. Sekarang apapun yang saya katakan, dia tidak mau mendengarnya lagi," suara Hoseok seolah terguncang dan ia terdengar semakin panik, napasnya tersengal. "Berapa lama kalian akan sampai? Saya tidak yakin bisa bertahan lama. Ia pasti dengan cepat menemukan saya."

"Tim kami sudah bergerak, Hoseok-ssi." Jeongguk menegakkan punggungnya kala duduk. Sama seperti panggilan-panggilan sebelumnya, kini ia diwarnai kengerian. Apalagi suara seseorang bernama Jung Hoseok di seberang sana tidak pernah lebih tinggi dari bisikan. Barangkali jarak bibirnya dekat dengan ponsel. "Tetap tenang dan mohon tunggu sebentar."

"Saya tidak bisa menunggu, pak! Cepat atau lambat diaㅡhmp,"

Jeongguk tertegun sejenak, mencoba mempelajari situasi. Kemudian ia mendengar suara mengendap, seolah tengah bergerak sepelan mungkin. Ia juga mendengar derit napas Hoseok, tadi suaranya yang meninggi seolah tertahan. Kemudian Jeongguk mendengar lagi suara pintu yang menggelayut, entah terbuka atau tertutup.

"Dapat."

Jeongguk hanya dapat mendengar suara jatuh, bersama dengan suara ribut jatuhnya benda yang berdebum ke lantai. Gemerisiknya berantakan dan kacau, lidah Jeongguk kelu, tidak mampu merespon apa-apa. Bersamaan dengan suara perlawanan di balik sambungan telpon, Jeongguk tahu telapak tangannya yang dingin kita berkeringat.

"Namjoon-ah! Sadar! Ini bukan dirimu! Kau tidak seperti ini!"

Suara itu terdengar bergaung, suara Hoseok yang masih berusaha bertahan dan Jeongguk mengutuk dirinya sendiri yang hanya bisa duduk mematung tanpa melakukan apa-apa untuk menolong. Kemudian suara jatuh itu kembali terdengar dan suara Hoseok kembali samar dan tidak jelas.

"Namjoon! Kumoㅡhon. . ."

Seolah tusukan pedang mengarah langsung ke dadanya, Jeongguk menyadari pantulan wajahnya di kaca. Rasa nyeri menyesakkan itu tiba-tiba, kemudian menyebar dengan begitu dingin tanpa peringatan. Pupilnya melebar penuh teror dan ia menelan ludah gelisah. Tangannya yang agak gemetar ia cengkeram kuat, kemudian pelan-pelan sembari mengumpulkan kewarasan yang agaknya telah rontok satu persatu, Jeongguk mencoba bicara lagi.

"Hoseok-ssi? Anda masih disana? Hoseok-ssi?"

Tentu saja adalah pertanyaan bodoh, sebab nyatanya setelah sunyi panjang mencekam, terdengar suara pecah yang kentara dan setelahnya diakhiri suara dengung panjang, kemudian sambungan terputus begitu saja.

Jeongguk menundukkan kepala dengan mata terpejam. Walaupun tahu itu di luar kuasanya, apapun yang terjadi, namun ia tidak bisa mencegah dirinya untuk berhenti terpikirkan tentang itu.

Ia gagal lagi.

.
.
.

「 Episode #4 - killed 」
-TAMAT-

Emergency Call 112Donde viven las historias. Descúbrelo ahora