"Terimakasih" aku turun dari mobil Elen dengan rasa lega. Akhirnya aku bebas dari mahluk seperti dia. Menyebalkan dan membosankan, tapi harus ku akui ada saatnya dia baik. Sulit di tebak!
"Sama-sama" timpalnya dan langsung memacu mobilnya, menghilang di ujung tikungan jalan. Tanpa menunggu lebih lama Aku masuk kedalam rumah.
Entah apa yang tiba-tiba merubah angin malam, terasa berbeda! Seperti ada sebuah salam dalam tiap hembusnya yang membelai rambutku, menusuk ujung hatiku. Rindu lama seakan mempermainkan hatiku kembali. Iya, cinta itu masih hidup belum mati!! Bahkan impian janur kunin itu tetap ada dan bersanding dengan luka menghasilkan suatu kegengsian yang menyiksa.
"Maafkan aku" ucap lelaki berjas biru itu. "Hatiku haus akan dirimu, mataku menjerit jika tidak memandangmu! Aku mencintaimu" lanjutnya, hatiku makin tersayat rasanya ingin aku tampar wajahnya.
"Sudah selesai celotehmu dan puisi bodohmu itu? Kamu, aku maafkan tapi maaf aku tidak mencintaimu!" jawabku singkat sembari melangkah melewatinya.
"Zi"
"Aku lelah, aku ingin istirahat" aku menuju pintu dan ku tutup dengan keras, hingga dentumannya masih mengerak di telingaku.
Asraf Mahendra, sebenarnya hatimu itu dari apa? Dengan indahnya kamu berkata kamu mencintaiku? Setelah surat undangan kamu lemparkan dan menggores hatiku! Apa kamu gila Asraf? Hatiku bukan sungai yang bisa kau pancing sesuka hatimu dan semaumu! Tubuhku terasa lemas bola api seakan keluar dari mataku. Panas! Asraf aku mencintaimu pula tapi luka yang kau ciptakan tak semudah itu larut dengan kata manismu. Aku bukan anak kecil lagi yang akan berhenti menangis dengan sebuah permen manis yang berujung pada sakit gigi. Membawa penderitaan kembali.
"Zi.. Maafkan aku" suara Asraf dari balik pintu, begitu nyaring mengiris hati.
"PERGIIIII" aku berteriak di sisa suara dan isakku.
***
Sepertinya alam mengerti dengan keadanku pagi ini. Wajah langit sedari tadi mendung dengan angin yang hilir mudik dengan bebasnya membelai rambut kuncir kudaku. Mataku masih fokus menatap dasar jurang, jurang kenangan yang mengerikan, 7 tahun yang lalu. Faza maafkan kakakmu ini yang dengan senggang begitu lama baru mencari jejakmu. Semuanya seakan mengaduk hatiku luka yang meliku-liku menonjok menjadi satu melahirkan kerinduan yang semu. Faza kakak rindu, dan kamu yang melangkah jauh kebelakang dengan ribuan luka aku juga merindukanmu Asraf Mahendra. Ku seka butiran bening di pipihku, berusaha berdamai dengan semua.
"Permisi" seorang wanita parubaya dengan mengenakan kebaya tahun 90-an telah tiba di depanku, "sudah lama nak" sambungnya sembari aku mencium tanganya.
"Endak bu, saya baru sampai" timpalku tanpa lupa melempar senyum.
"Kalau begitu mari kita ke warung saya, saya rasa lebih enak kalo ngobrol di sana" aku mengangguk dan mengekor di belakang wanita itu, aku dengar namanya Ningsih. Di merupakan sesepuh di desa ini, jangan heran melihat wajahnya yang masih seperti wanita berusia 50-an, ibu Ningsih memang terkenal awat mudanya, katanya rahasianya adalah jamu warisan keluarganya yang turun remurun. Ah, sudahlah kenapa aku jadi membahas tentang ibu Ningsih.
Kami duduk di teras warung pecel milik bu Ningsih yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan jurang tragedi itu.
"Jadi apa yang hendak kamu ketahui nak?" tanya bu Ningsih tanpa berbasa-basi.
"Apa ibu mengerti tentang kejadian kecelakaan di jurang itu? Sekitar 7 tahun yang lalu!" aku mulai menyodorkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku.
"Aku mengetahuinya" saut ibu ningsih, sambil memebetulkan tempat duduknya, lalu melanjutkan lagi ucapannya "aku kasihan kepada anak mereka yang masih hidup, dia pasti hidup sebatang kara sekarang dan seluruh keluarganya tiada" aku menelan luda dengan apa yang di ucapkan ibu Ningsih, karena itu memang faktanya.
"Ibu yakin?"
***
Fakta yang menurutku bukan termasuk fakta. Aku yakin adikku masih hidup! Jenazanya pun tak ditemukan masih ada peluang dia hidup. Aku yakin.
malam sunyi ku impikanmu
ku lukiskan kita bersama
namun selalu aku bertanya
adakah aku di mimpimuDering ponselku berbunyi. Siapa juga yang menelefonku, apakah Naya? Tapi Naya semalam sudah ku WA untuk mengizinkanku absen hari ini, tanpa menunggu lagi aku raih ponselku dalam tasku.
Calling Gilang
Mataku membulat sebulat bulatnya seperti bolan pompong, bagaimana tidak! Gilang kakaknya Asraf tiba-tiba menelefonku. Tak biasanya seperti ini.
"Hallo"
"......."
"Aku gak ngapa-ngapain?"
"........"
"Bukan urusanku, dan maaf jadwalku padat"
"......."
"Aku gak mau!"
Kuakhiri pembicaraanku dan Gilang karena yang hanya dia bicarakan hanyalah soal adiknya yang tengah amat manja dekarang, siapa lagi kalu bukan Asraf Mahendra. Tapi lupakan, yang terpenting saat ini adalah soal bukti jejak Faza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu
RandomJika kamu yang aku perjuangkan hanyalah menjadi duri beracun maka buat apa aku harus memperjuangkan kamu? Dan Kenapa juga di situasi yang sembelit masalalu harus hadir membuka sebuah lembar yang terlupa. Mengungkap rindu yang tersayat dan menerjemak...