Tiara POV
Aku merasa ada yang aneh dengan kak Aaro. Dia tak seperti biasanya yang selalu fokus kalau mendengarku bercerita. Seperti saat ini. Kak Aaro tengah asyik sendiri dengan apa yang ada di pikirannya.
Bukan hanya sekali. Kemarin, minggu lalu bahkan minggu sebelumnya. Entah apa yang ada di pikiran kak Aaro. Semenjak pulang dari kafe di suatu sore, ia mulai berubah. Seperti orang lain. Meski aku juga bukan siapa-siapa baginya untuk saat ini. Tapi ia bukan seperti kak Aaro yang kukenal.
Sore ini aku mengajaknya pergi. Memaksanya menemaniku menonton film ke bioskop. Awalnya ia enggan, namun aku terus membujuknya untuk pergi dan akhirnya ia pun mau.
Dengan 1 cup besar pop corn di tanganku dan 2 gelas soft drink di tangan kak Aaro, kami duduk di bangku menunggu pintu studio dibuka. Sambil menunggu, aku memandang pemuda yang membuatku jatuh cinta ini. Tak pernah bosan meski hampir setiap hari aku memandangnya. Meneliti tiap inci wajahnya. Dan tak pernah ada satu bagian pun yang membuatku urung menyukainya.
“Makasih ya, Kak, udah mau nemenin aku,” kataku masih tak melepaskan pandangan darinya.
“Hmmm.” Ia hanya bergumam namun menatapku dengan kedua mata coklatnya. Cukup untuk membuatku tahu kalau ia masih menghargaiku.
Aku kembali tersenyum melihatnya. Tapi kemudian kaget melihat gerakan tangannya yang tiba-tiba mengacak rambut.
“Kenapa, Kak?” tanyaku heran sekaligus khawatir.
“Ah, gak apa-apa,” jawabnya tenang. Setidaknya bisa mengikis kekhawatiranku yang tadi sempat muncul.
Namun tak lama sampai kak Aaro dengan agak panik berkata, “Ra, aku ke toilet dulu ya. Kamu masuk aja duluan, nanti aku nyusul.”
“Kak Aaro!” Aku memanggilnya berkali-kali namunia sama sekali tak menghiraukanku. Hanya berlari meninggalkanku yang duduk sendirian.
Kulirik jam mungil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Tinggal 5 menit sampai filmnya dimulai. Kalau kak Aaro belum kembali sampai pintu studio dibuka, artinya aku mesti masuk duluan. Kak Aaro memang mengantongi tiketnya, tapi ada sesuatu dalam diriku yang meragukan kata-katanya.
Dan akhirnya kak Aaro tak muncul saat pintu studio tempat film diputar, dibuka. Dengan langkah gontai aku masuk sendiri, membawa pop corn juga soft drink yang sebelumnya kami beli. Menuruti dan mencoba meyakinkan diriku sendiri untuk mempercayai kak Aaro. Aku tinggal duduk menunggu sambil menikmati film untuk beberapa menit saja. Lalu kak Aaro akan menyusulku.
=====
Setengah jam sudah berlalu, namun tak ada tanda-tanda kak Aaro datang. Rasa khawatir mulai merambati hatiku. Ke mana ia sampai selama ini? Bahkan teleponku sama sekali tak diangkatnya. Sms dan chat-ku pun tak ada yang dibalasnya. Kalau seperti ini aku tak bisa fokus melakukan apa pun, apalagi menonton.
Setelah menimbang beberapa saat, kuputuskan untuk mengabaikan keinginan menonton film, memilih keluar dari sini dan mencari kak Aaro.
Mencarinya di sebuah mall yang besar dan ramai seperti ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi aku tak ada ide ke mana ia pergi setelah dari toilet. Karena tak mungkin ia hanya berada di tempat itu selama 30 menit. Tapi ke mana?
Kucoba lagi menghubunginya. Tersambung. Tapi lagi-lagi ia tak mengangkatnya. Sungguh, ia membuatku khawatir setengah mati. Ya Tuhan, dia ke mana, sih? Aku harus mencarinya ke mana?
Aku sudah tak tahu lagi harus ke mana. Toilet, toko buku, toko dvd, semuanya nihil. Ia tak ada di mana pun. Sekarang yang kulakukan hanya membiarkan kedua kakiku melangkah sesukanya. Mungkin saja bisa membawaku pada kak Aaro.
Hingga akhirnya aku bisa melihat pemuda yang kucari tengah duduk terdiam di depan seorang gadis dalam sebuah kafe. Aku merasa pernah melihatnya. Tapi di mana? Ah, gadis tomboi yang minggu lalu menabrakku di toko buku. Ya, itu dia.
Rasa ngilu menyelinap dalam diam ke dalam hatiku. Apa karena dia kak Aaro tak kunjung kembali? Apa karena gadis itu aku tak bisa bersama kak Aaro sekarang? Tapi kenapa? Kenapa harus dia?
Kulihat pandangan kak Aaro hanya terfokus pada gadis itu. Begitu pun gadis itu. Seolah ada sesuatu yang tak terlihat menyatukan titik pandang mereka. Yang tak kumengerti, kedua kakiku seakan tak mempunyai kekuatan untuk bergerak sama sekali. Aku ingin menghampiri kak Aaro atau setidaknya pergi dari sini untuk menyingkirkan rasa sakit yang mendera. Namun tak bisa.
Tak ada sesuatu berarti yang mereka lakukan, tapi dengan seperti itu malah membuatku makin sakit. Kak Aaro tak pernah menatapku seperti itu. Seakan makhluk di depannya akan menghilang jika dia berkedip sebentar saja, jika ia menoleh ke arah lain sedikit saja.
Kuambil kembali ponselku dan menekan nomor kak Aaro. Untuk ke sekian kalinya tersambung. Untuk kesekian kalinya pula, ponsel yang tergeletak di atas meja itu dibiarkan begitu saja. Apa gadis itu lebih penting dari apa pun untuknya?
Teringat satu hal yang pada saat itu kutanyakan padanya. Apa ia mengenal gadis itu? Dan ia menjawab tidak sama sekali. Tapi kenapa sekarang kak Aaro tak mengacuhkanku demi dia yang hanya orang asing itu?
Bulir-bulir air mata, yang tanpa kusadari, mengalir di kedua pipiku. Apa begitu tak berartinya diriku hingga hanya demi gadis itu, kak Aaro meninggalkanku sendiri di tempat tadi?
Kakiku bergerak. Berbalik mencari pintu keluar dari bangunan ini alih-alih menghampiri kak Aaro dan gadis itu. Rasanya hatiku tak sanggup menahan sakit kalau menghampirinya sekarang. Kuhapus air mataku, menghindar dari tatapan aneh orang-orang yang berpapasan denganku di tengah jalan. Aku hanya ingin pulang.
=====
Kuhempaskan tubuh ke atas kasur di kamar. Membenamkan kepala di atas bantal, menangis di sana. Mengabaikan ketukan-ketukan di pintu juga suara khawatir mama. Mungkin mama khawatir melihat anak gadis satu-satunya pulang dengan menangis.
Tapi aku tak peduli. Saat ini aku hanya ingin sendiri. Menumpahkan semua rasa sedihku. Atau meratapi nasibku yang kurang beruntung? Yang pasti semua hanya karenanya. kak Aaro.
Satu sisi aku merasa sangat kekanakan. Mungkin hal yang membuat kak Aaro tak memedulikanku. Tapi apa arti perhatiannya padaku selama ini? Bukankah ia yang selalu menasehatiku saat aku salah? Ia juga yang selalu ada saat aku sedih.
Hatiku patah dan kepingannya berserakan. Aku tahu kak Aaro begitu penting di hidupku belakangan ini. Tak ada sedetik pun waktu yang terlewatkan untukku memikirkannya. Di setiap hal yang kulakukan, ada dia yang terpikir.
Aku hanya menunggunya. Menunggu ia menyadari perasaanku juga perasaannya. Perhatian-perhatiannya membuatku yakin kalau ia pun memiliki perasaan yang sama denganku. Sampai lupa kalau aku tak seharusnya melambung sebelum ia benar-benar menyatakan perasaannya.
Kuhapus air mata di pipi yang tak berhenti dari tadi. Aku tak boleh lemah seperti ini. Dari awal kak Aaro milikku. Memang belum, tapi akan. Gadis asing yang baru datang di kehidupannya itu tak berhak atas kak Aaro. Dia tak bisa datang dan merebutnya seperti ini dariku. Apa pun akan kulakukan untuk mendapatkannya.
Kuambil ponsel yang tergeletak begitu saja di atas kasur. Kuketikkan beberapa kata untuk kak Aaro. Ia harus tahu kalau aku menginginkannya lebih dari apa pun sekarang.
‘Aku sayang sama kamu, Kak.’
=Tiara=
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
RomanceTakdirmu sudah ditentukan. Bahkan sebelum kau lahir. Dan ketika takdir itu datang, kau tak akan bisa mengelak.